Thursday, May 31, 2012

REFLEKSI ATAS BEBERAPA ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN

REFLEKSI ATAS
BEBERAPA ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Makmuri Sukarno*



Abstrak

Pemerintahan SBY-JK selama ini telah mengisi tuntutan pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar secara lebih konkrit, namun pelibatan otonomi sekolah/madrasah untuk menggali in-put berupa dana masyarakat terutama pada tingkat lanjutan kurang disertai akuntabilitas dan partisipasi publik dan memunculkan kecenderungan melebarnya kesenjangan sosial pada pendidikan. Sehingga isu kualitas out-put dan akuntabilitas serta menyempitnya kesempatan pendidikan bagi mereka yang kekurangan biaya merupakan tantangan yang nyata ke depan. Oleh karena itu upaya pemerintah pada peningkatan mutu, partisipasi publik dan kebijakan afirmatif kepada kelompok miskin perlu mendapat dukungan sistemik yang memadai. 


 


Although SBY-JK’s government has been sharpern in responding to the demand for basic education, nevertherless, the utilization of  school/madrasah’s autonomy for accummating money from the community as an in-put, mostly in secondary level,  was lacking in accountability and public political participation and tending to excarcerbate social gap in education. Therefore, issues on out-put, public accountability and widening the chance of those who have not enough financial supports are becoming great challanges in the future. Accordingly, government’s policy on these issues need to be delivered through an eduquate system.



Pendahuluan

Di negara-negara berkembang, upaya menuju masyarakat sejahtera dan demokratis mengambil pilihan prioritas kebijakan yang berbeda-beda, sebagai upaya menebak mana  (lebih dulu) telor atau ayamnya pada realitas kemiskinan, pendidikan dan demokrasi. Di samping melalui politik pendidikan, sebagian negara mengambil jalan dengan menghidupkan pendidikan politik melalui kehidupan multi-partai dan penegakan hukum. Namun demikian sebagian besar yang lain mengkombinasikannya dengan upaya utamanya yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi, bahkan menjadikan pendidikan dan kebijakan yang lain sebagai alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar upaya model terakhir ini gagal karena pemerintah  terjebak menjadi rezim ’developmentalis’ dan masyarakat kehilangan kontrol dan aksesnya  terhadap negara dan hasil-hasil pembangunannya.  Bagi Indonesia, keruntuhan ekonominya menyibakkan realitas hutang dan kemiskinan, sistem-sistem (termasuk sistem pendidikan) yang ketinggalan dan kegagapan pengetahuan dan prilaku demokrasi. Di samping itu, politik kependudukan yang anti natalis (mengurangi angka kelahiran) selama dua dekade  sebelumnya, mewariskan struktur penduduk yang didominasi usia 15-64 tahun dua dekade ke depan. Untuk menata kembali ekonomi, menghadapi globalisasi dan tuntutan demokratisasi, maka generasi baru ini membutuhkan  pendidikan yang tepat, lapangan kerja  dan tatanan sosial politik ekonomi yang memadai.
Sistem pendidikan, menurut hemat kami merupakan bangunan sekaligus ihktiar yang sangat strategis untuk itu, oleh karena   sistem pendidikan mengandaikan adanya pembagian kewenangan antara negara dan masyarakat dan  tata-kelolanya yang meliputi pemeliharaan, kontrol, kreasi, adopsi dan distribusi nilai, pengetahuan, ketrampilan maupun tata-hubungan kuasa. Oleh karena itu kebijakan pendidikan yang tepat pada umumnya harus secara struktural dapat memadukan daya masyarakat, negara dan dunia usaha secara tepat dan secara individual memicu mobilitas kultural,  vertikal dan horisontal individu  yang ketiganya pada gilirannya mengembangkan produktifitas budaya, sosial dan ekonomi sekaligus menuntut pengembangan habitat yang demokratis. Namun demikian, bila kebijakan yang diambil salah, upaya pendidikan dapat jatuh menjadi sekedar upaya mereproduksi tatanan dan struktur  sosial, ekonomi dan politik  lama dan memberikan  bahan ajar-materi didik, sistem pengelolaan dan akses pendidikan maupun peluang kerja yang tidak memadai dan tidak berkeadilan. Ketertinggalan struktural (tata hubungan kuasa) dan budaya (nilai, ilmu, teknologi dan tata-nilai hubungan kuasa),  akan lebih mempersulit bagi upaya transisi menuju demokrasi dan upaya memenangkan kompetisi dari globalisasi. 
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengamati arah  dinamika pendidikan kita sepanjang tahun 2005 ini dengan kewaspadaan seperti di atas, melalui isu-isu kebijakan yang berkembang di beberapa daerah maupun yang dimuat di media massa. 
                        

Tantangan Kebijakan Bagi Pendidikan Kita

Krisis multidimensi mengandaikan  merosotnya kepercayaan terhadap  sistem  budaya, sosial, politik, ekonomi  serta sistem pendidikan yang lama karena sistem-sistem itu  dianggap tidak mampu lagi mencerna masalah-masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual yang baru. Secara umum sistem yang demokratis (aspiratif) dan kompetitif (mampu menjawab tuntutan kontekstual yang baru)  adalah sistem yang harus dilahirkan melalui upaya pembaharuan. Upaya pembaharuan sistem pendidikan menghadapi tantangan kebijakan yang mendasar, yaitu  pertama, masalah yang dihadapi sistem makronya yaitu  isu yang lebih bersifat sosial-politik, berupa masalah pluralisme dan demokratisasi, desentralisasi, penguatan civil society dan tuntutan akan hak pendidikan warga negara dan pengembangan  partisipasi masyarakat. Kedua, isu-isu yang boleh dikatakan sebagai masalah ekonomi-demografis yaitu  hutang luar negeri yang besar, ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan tantangan ’lost generation’ akibat krisis,  globalisasi dan pasar bebas.  Kegagalan (dan keberhasilan) kebijakan Orde Baru dengan lebih memprioritaskan (beberapa) masalah yang kedua (ekonomi-demografis), agaknya memberikan pelajaran berharga bahwa kedua masalah baik ekonomi-demografis maupun sosial-politik) itu perlu ditangani secara seimbang dalam kebijakan pendidikan ke depan.
Di samping itu pemerintah juga menghadapi masalah-masalah lama yang masih belum terpecahkan adalah kuantitas cakupan yang relatif rendah pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, sentralisme dan korupsi di jajaran birokrasi pendidikan,  kualitas literacy,  relevansi kinerja pendidikan yang rendah di depan tuntutan pasar dan tuntutan pembelajaran yang cerdas dan demokratis, serta kesenjangan pelayanan pendidikan baik dalam perspektif kelembagaan (negeri vs swasta, sekolah vs madrasah), maupun geografis.   
Oleh karena itu ikhtiar reformasi pendidikan Indonesia menghadapi tantangan kebijakan yang berdimensi luas dan mendasar,  memerlukan perubahan atau perbaikan orientasi, penataan kembali  sistem dan institusi governance serta tata kelola, bahan ajar/materi didik, model pembelajaran dan ketersediaan sarana-perasarana maupun pendidiknya.  


Reorientasi Kebijakan Pendidikan dan Penyesuaian Struktural

   Secara normatif,  reorientasi kebijakan (pendidikan) telah diambil, terlihat  pada tekad baru yang termuat pada dasar-dasar kebijakan pendidikan pasca krisis. UUD (amandemen) pasal 31, misalnya,   menempatkan  pendidikan sebagai hak warga negara sekaligus kewajiban bagi  warga usia sekolah (wajib belajar) untuk mengikuti wajib belajar dan kewajiban bagi pemerintah untuk  menyelenggarakannya. Undang-undang No.20/2003 pasal  6,  11 dan 34  mengulangi tekad baru tersebut. Kewajiban juga dituntut kepada orangtua untuk memberikan pendidikan dasar dan masyarakat untuk mendukung sumberdayanya (pasal 7 dan 9). Tekad yang sangat populer adalah bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan (UUD 45 pasal 31 (4) dan UU Sisdiknas pasal 49 (1)). Kata-kata yang mewajibkan keempat pihak serta besaran anggaran untuk mendukung kewajiban itu belum pernah  terlihat pada paket kebijakan pendidikan sebelumnya. Tekad baru juga terlihat pada upaya  untuk menempatkan kembali demokratisasi sebagai salah satu tujuan pendidikan.  Selama lima belas tahun tujuan seperti itu hilang dari teks undang-undang, digantikan dengan menekankan tujuan agar peserta didik ’bertanggungjawab’[2]. Bagian yang menempatkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan secara demokratis adalah munculnya di satu pihak hak masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (pasal 8) dan di lain pihak hak pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan (pasal 9).  Orientasi-orientasi dan tekad di atas menempatkan pendidikan sebagai ikhtiar penting bangsa dan mengandaikan perlunya reposisi peran masyarakat dan pemerintah dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan nasional. 
Kendati demikian, orientasi dan tekad baru yang indah itu  harus berhadapan dan dengan demikian harus disesuaikan dengan ketiga  tantangan yang telah disebutkan sebelumnya (yaitu makro ekonomi-demografi, sosial-politik terutama desentralisasi-otonomi, dan tantangan ’carry-over’ yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya). Semasa kampanye, program bidang pendidikan SBY-JK sendiri, (Permatasari & Wisudo, Kompas, 23-11-2004) ada enam:
1.      Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan akses yang lebih besar kelompok yang ’tertinggal’,
2.      Meningkatkan pendidikan ketrampilan dan kewirausahaan/non-formal yang bermutu,
3.      Meningkat penyediaan dan pemerataan sarana-prasrana dan tenaga pendidik,
4.      Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, 
5.      Menyempurnakan manajemen dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu, dan
6.      Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya untuk  membentuk watak dan kecakapan hidup. 
Sepuluh RPP Sisdiknas selesai disusun. RPP usia dini, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan non-formal dan informal, jarak jauh, pendidikan kedinasan, tenaga kependidikan, standar nasional, pendidikan kejuruan, vokational dan profesi, dan RPP peran serta masyarakat. Hampir diselesaikan RPP pendidikan agama dan badan hukum pendidikan (Media Indonesia, 14-1-2005). RPP yang mendesak di tahun 2005 untuk diterbitkan menjadi PP adalah RPP Wajib Belajar 9 Tahun, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah dan RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan (Kompas, 23-02-2005).
Namun demikian, setelah lebih dari setahun pemerintahan SBY-JK,  artikulasi kebijakan Depdiknas[3]  setidak-tidaknya yang termanifestasikan permukaannya di media dan terrasakan di beberapa lokasi penelitian  terlihat melanjutkan supaya pemerintahan sebelumnya, yang menghubungkan empat hal sekaligus: orientasi pendidikan yang baru, tata pemerintahan dan manajemen (pendidikan) baru yang bergerak ke arah desentralisasi, keterbatasan  keuangan negara akibat kurang-lebih sepertiga APBN untuk melunasi hutang (Baswir, Kompas 10-5-2005), di samping merealisasikan secara bertahap tuntutan Konstitusi yaitu alokasi APBN/D 20 persen (tahun 2009) untuk sektor pendidikan terutama untuk program wajib belajar 9 tahun.
Secara praktis, manifestasi artikulasi kebijakan itu berbentuk rajutan politik (political crafting) atas peluang dan kendala  orientasi, konstitusi, sistem makro, anggaran, dan perhitungan atas  resiko yang diantisipasi dari resistensi birokrasi, legislatif dan publik yang dapat muncul. Dengan kata lain pemerintah mencoba merajut kebijakan yang layak (etis) menurut orientasi (filsafat dan konstitusi) pendidikannya dan penyelenggaraannya laik secara tehnokratis birokrasi dan politik publik.  Bentuknya yang paling jelas adalah   (kesibukan) meneruskan penataan ulang kelembagaan yang bersifat governance, yang pada gilirannya menuntut perubahan manajemen serta restrukturisasi anggaran maupun sumber-sumbernya. Secara ringkas kesibukan itu lebih difokuskan pada upaya membangun  governance dan manajemen pendidikan,  di atas fondasi tata-pemerintahan yang desentralistik yang sedang dibangun dan orientasi dan tuntutan pendanaan yang ’baru’ untuk pendidikan, terutama untuk Wajib Belajar 9 Tahun.  Dengan kata lain pemerintah selama setahun  sibuk dengan penataan sistem,  in-put terutama anggaran dan –sebagaian--  proses, (kelembagaan governance, sistem manajemen dan anggaran). Masalah in-put lain  yang sangat penting, seperti bagaimana kurikulum, pola pikir guru dan metode pembelajaran harus berubah sesuai dengan tuntutan struktural dan kultural yang baru (agar lebih demokratis dan mencerdaskan), belum banyak disentuh. Alih-alih masalah out-put dan efisiensi eksternal (seperti seberapa relevan peningkatan cakupan dan kualitas pendidikan dengan pengembangan demokrasi dan ekonomi), seakan-akan menjadi hilang dari perhatian. Dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih tersita perhatiannya untuk perbaikan konteks pembelajaran dan (agak?) melupakan teks (isi) yang harus diajarkan.  Bila masalah isi ini terlalu lama dilupakan maka akan  menjadi ’bom waktu’ di kemudian hari. 
Kebijakan yang menonjol pada tahun pertama ini adalah menata ulang lembaga Depdiknas (misalnya dengan memecah Dirjen Dikdasmen menjadi dua) dan mengefektifkan lembaga-lembaga di bawahnya, (termasuk lembaga governance-nya yang berada di masyarakat) agar memungkinkan pengembangan --bukan projek, melainkan terutama—program-program yang bersifat transisional dari sentralisme ke desentralisasi,  re-strukturasi anggaran dengan cara mencoba memobilisasi dana dari bawah (masyarakat) dengan  memanfaatkan polical leverage yang tersedia. Enam agenda 100 Hari Mendiknas, juga berada dalam koridor itu[4]. Boleh dikatakan, kebijakan yang harus dan telah diambil adalah ’structural adjustment’. Pilihan structural adjustment ini dibayangi oleh resistensi  tiga pihak: pihak yang merasa orientasi pendidikannya tidak diakomodasi, pihak yang terkurangi ruang sosial-ekonomi dan politiknya akibat desentralisasi-otonomisasi, dan pihak yang secara manajerial (terutama akibat re-strukturasi sumber dan penyaluran anggaran yang menyertainya) merasa dirugikan.


Orientasi Pendidikan Sebagai Palagan Politik

Kendati kebijakan pendidikan selama setahun terakhir lebih banyak ditandai oleh upaya penyesuaian struktural, namun demikian bentuk penyesuaian struktural yang diambil sering dianggap bersumber pada pilihan aliran (-aliran) politik pendidikan dan pilihan tehnokratis yang mungkin. Agaknya hal itu juga nampak pada orientasi pendidikan yang secara verbal diutarakan dan bentuk kebijakan yang diambil oleh antara lain Mendiknas.
Orientasi pendidikan yang dipilih secara formal adalah seperti yang termaktub dalam UUD ’mencerdaskan bangsa’ dan mengembangkan potensi manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya (UU 20/2003 Sisdiknas). Namun demikian, sebagian terjemahan oleh Mendiknas secara rethorik dan kebijakan Depdiknas atas orientasi itu nampaknya menekankan politik eklektis (antara neo-konservatisme dan progresif humanistik dan sedikit orientasi radical education), kendati mencoba menghapus kenangan ’sekolah pembangunan’ yang pernah dimunculkan di jaman Orde Baru. Mendiknas agaknya mencoba  mengakomodasi pertentangan orientasi politik pendidikan sehingga lebih bersifat eklektis-politis, mengambil elemen-lemen yang layak dan laik untuk dipilih secara politis.
Nada humanistisnya terlihat pada kutipan di bawah ini: “Mendiknas akan membawa paradigma pendidikan kita tidak sekedar menempatkan manusia sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Ia tidak ingin terjebak pada teori ekonomi neo-klasik, teori yang menempatkn manusia sebagai alat produksi, dimana penguasaan iptek bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya” (kompas 22/10).

“Saya ingin ke depan secar` bertahap antara pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu bisa dibangun bersama, sehingga masalah buta huruf dan putus sekolah bisa dikurangi, sementara di sisi lain kita bisa menghasilkan SDM berkualitas yang mampu bersaing di dunia global”.  Menurutnya orientasi pendidikan selama ini salah kaprah. Pendidikan saat ini lebih mengarah ke sains, hal ini sebagai hasil dari teori neo-ekonomi yang menjadikan SDM sebagai bagian dari proses produksi. … Ia berjanji agar pendidikan nantinya akan menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, beretika, berestetika dan berkepribadian’ (Media Indonesia, 22-10-04).
Nada humanistik yang dilontarkan itu menggembirakan kelompok humanistik, tetapi mereka  menagih operasionalisasi dari kebijakan tersebut.  Salah satu eksponennya adalah Waras Kamdi (Kompas, 26-10-04) yang menyebutkan bahwa :
”Jika paradigma baru Mendiknas menjadi prioritas kebijakan, ini akan berimplikasi pada perubahan mendasar: visi kurikulum dari visi kurikulum dengan visi efisiensi social ke visi  kurikulum fleksibel dan egaliter, dari industrialis kapitalis ke demokratis”. 
Secara umum hal yang ditagih kelompok humanistik – demokratis dapat dikatakan masih belum menjadi prioritas pemerintah.

Nada  neo-konservatif kebijakan Depdiknas terlihat bukan terutama pada rethorik ”menghasilkan SDM berkualitas yang mampu bersaing di dunia global”  di atas, melainkan juga pada manajemen pendidikan yaitu pengembangan pembiayaan, bukan  oleh negara seperti yang sudah-sudah, melainkan dengan menggali lebih banyak dari masyarakat. Pengenalan Manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS) yang kemudian diubah menjadi  manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) adalah untuk tujuan tersebut. Menurut Aronowitz & Giroux (1987:163-183), ”Neo-conservatisme pada dasarnya  prihatin akan kemampuan siswa untuk menghadapi persaingan ekonomi global, international division of labour (pasar bebas):  Krisis ekonomi sebagian diakibatkan oleh lemahnya pekerja karena tidak efektifnya sekolah, terutama kerena pendidikan sangat berpusat kepada murid (humanistik), bukan kepada tantangan yang dihadapi di depan. Maka perlu sekolah utk penyiapan human capital. Yang diperlukan adalah meningkatkan sekolah melalui perombakan kurikulum dan manajemen pendidikan yang memberikan tanggungjawab kepada masyarakat bukan pengembangan pembiayaan oleh negara”
Nada politik pemerintah, yang dalam istilah Aronowitz dan Giroux adalah Neo-konservatisme inilah yang menjadi ajang paling sengit bagi kelompok yang menuduh pemerintah menerapkan politik neo-liberal dan bagi kelompok populis, yang resonansinya berbunyi ”orang miskin dilarang sekolah’. Ini semacam jeritan para populis karena menyaksikan beban biaya yang besar bakal menimpa rakyat.
Sedangkan nada radical education dari pemerintah, adalah carrot yang terlihat terutama pada Undang-undang Sisdiknas yang menempatkan pendidikan sebagai arena politik publik, yaitu: hak masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (pasal 8) dan di lain pihak hak pemerintah dan pemerintah daerah untuk (hanya) mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan (pasal 9). Kedua, partisipasi publik disalurkan secara resmi melalui lembaga yang merepresentasikan publik yaitu Dewan Pendidikan/Komite Sekolah.
Radikal education, menekankan bahwa tanpa komitmen pada upaya pembebasan, maka sekolah akan menjadi instrumen dominasi oleh kelompok dominan. Untuk menghindarinya,maka perlu pendidikan diletakkan dalam ruang publik dimana diperlukan struggle dan keterlibatan yang lebih luas bagi murid, orangtua dan komunitas dalam perencanaan dan pembelajaran, agar melalui keterlibatan dan debat publik masalah politik menjadi lebih pedagogikal (Aronowitz & Giroux (1987:209-19).
Implikasi pedagogis yang dituntut oleh kelompok radical education adalah apa yang diutarakan Gramsci:  Keinginan Gramsci, mengembangkan kemampuan murid dari sub-altern untuk mendapatkan pengetahuan sama dengan anak kelas atas, dan mampu secara kritis melihat sejarah ketertindasannya sendiri. Ia menekankan perlunya satu atap sekolah yang tidak membedakan vocational dan academic education (ibid.)  Tuntutan kelompok ini, terutama agar pendidikan benar-benar ditaruh di altar publik, atau ’mimbar oemoem’ sebagai hal yang dicita-citakan Dewantara (1945 [1963]: 166) masih jauh sekali realisasinya, terbukti al. dari kriminalisasi oleh Mendiknas bila seseorang ’mengumumkan’ draft Renstranya.
Menghadapi tututan-tuntutan orientasi pendidikan yang berbeda-beda di atas, kendati Mendiknas telah mengungkapkan pandangannya yang bernada seperti humanistik-demokratik, namun  belum menguraikan dan menderivasikannya menjadi program nyata. Bahkan tanggapan pemerintah terhadap isu di atas masih sangat kurang. Bahkan muncul pertanyaan mengapa civic education  tidak (belum) dimasukkan sebagai butir Ujian Nasional, padahal penting untuk  demokratisasi.  Demikian pula upaya pemerintah untuk menempatkan pendidikan pada ruang (politik) publik (yang bernada radical education) belum terlihat nyata. Hal yang telah kuat terasa justru nada neo-konservatif-nya, yaitu biaya pendidikanlah yang diberikan ke ruang publik.
Dilihat dari tantangan besar yang terbentang di atas, nampaknya Depdiknas masih terlalu disibukkan kepada pemecahan masalah yang berhubungan dengan ’structural adjustment  sehingga seakan-akan belum sempat mempersiapkan kerangka pendidikan yang tepat dan mempersiapkan gurunya  secara baik untuk menyongsong masalah di atas, yaitu mengembangkan pembelajaran yang humanis-demokratis serta membangun lembaga partisipasi publik.


Model Pemerintahan  dan Manajemen

Orientasi  dan tekad baru berada dalam kondisi dana yang terbatas. Itulah tantangan yang nyata dihadapi pemerintah. Orientasi baru yang lebih demokratis dan kewajiban merestrukturasi lembaga agar sesuai dengan tuntutan desentralisasi  kemudian ditata oleh pemerintah (Depdiknas) dengan cara sebagai berikut.
Pertama, dengan cara membangun model governance yang memungkinkan  pemerintah membagi kewenangan –dengan demikian juga beban pembiayaan dan hak serta tanggungjawab—dengan pemerintahan di daerah dan masyarakat.  Pembentukan lembaga seperti Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Kepmendiknas 044/2002) adalah antara lain untuk tujuan itu, diteruskan oleh pemerintah yang sekarang. Di tengah anggaran Negara yang cekak karena hutang,  agaknya pemerintah sekarang melihat bahwa sumbangan masyarakat masih sangat rendah, rata-rata hanya sepertiga dari anggaran sekolah (di luar gaji) (McMahon & Suwaryani, 2002). Pemerintah agaknya mengadopsi pandangan bahwa mereka yang membayar (sekolah) akan lebih menghargai pendidikan daripada mereka yang tidak membayar. Di samping itu berdasarkan hasil-hasil studi, terbaca bahwa semakin besar kontribusi masyarakat akan lebih efisien pula  sekolah dalam mengelola sumberdana (Bray, 1997, Jimenez & Paqueo, 1993, james, King & Suryadi, 1996, dikutip dari Draft Indonesia Education Sector Review, 2004, Chapter II, 2-7 s/d 2-8). Oleh karena itu, bagi pemerintah, kontribusi masyarakat perlu ditingkatkan. 
Kedua, model manajemen yang memungkinkan pemerintah (Depdiknas) membagi beban tata-kelola kepada lini manajemen  yang lebih rendah (provinsi dan terutama kabupaten/kota, serta sekolah).  Setelah diluncurkan otonomi Perguruan Tinggi (berupa BHMN dengan Majelis Wali Amanahnya),  realitas otonomi daerah yang memberikan otonomi kepada daerah kabupaten/kota, ditindaklanjuti dengan UU Sisdiknas,  Depdiknas mengoperasionalkannya sampai ke bawah  dengan memberikan otonomi kepada sekolah (dengan Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah), RPP badan hukum pendidikan dan bahkan otonomi guru (dalam metode dan evaluasi) pembelajaran dengan orientasi KBK, dan RUU Guru) dan memberikan ruang bagi partisipasi publik (DP dan KS) dan partisipasi swasta. Ini adalah sharing tanggungjawab.   Pemberian kewenangan (otonomi) ”ke bawah” tersebut dimodali pembiayaan dari pusat dan disertai kewenangan untuk mengembangkan kreatifitas program dan kemampuan keuangannya sendiri, antara lain dengan berhubungan langsung mencari dana ke masyarakat. Kendati demikian, Pusat memberikan rambu-rambu berupa Standardisasi (Standard Pelayanan Minimum) dan evaluasi (UN) dan BSNP.
Secara garis besar, regulasi-regulasi di bidang pendidikan bertujuan untuk membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan bertolak  menuju pendidikan di daerah yang lebih otonom. Lembaga-lembaga pendidikan di daerah kemampuannya bervariasi dan berada di antara empat tahap yaitu: pra-formal, formal, transisional dan otonom. Menuju pendidikan di daerah yang lebih otonom inilah yang sedang diupayakan melalui kebijakan-kebijakan di atas. Skenario besarnya nampaknya adalah bahwa pemerintah Pusat-Daerah, sekolah dan masyarakat perlu berbagi hak dan tanggungjawab secara lebih seimbang,  dengan cara meningkatkan otonomi dan peran bagi pihak –pihak yang dekat dengan masyarakat yang dilayani. Tujuannya adalah agar dengan otonomi sekolah, standard-standar pelayanan oleh sekolah dan ‘bantuan’ yang diberikan pemerintah, lembaga pendidikan lebih berhasil meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan, efisiensi, transparansi dan demokratisasi. Bila otonomi tercapai di beberapa sekolah, maka pemerintah akan lebih terfokus untuk mendorong lembaga pendidikan, siswa maupun anak usia sekolah yang masih tertinggal. Inilah peran sebagai agen ‘keadilan dan pemerataan’ yang nampaknya akan dimainkan oleh pemerintah.
   Kedua rajutan politik itu secara konsepsional pemerintah menginginkan adanya otonomi penyelenggaraan pendidikan dengan mengalihkan fungsi pemerintah sebagai operator menjadi fasilitator. Di lain pihak menjamin lahirnya pendidikan yang dikelola secara nirlaba. Ini mau tak mau menimbulkan palagan politik baru bagi para pemangku kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Artinya terdapat pihak-pihak stakeholders yang kemudian tergeser dan pihak-pihak lain yang diuntungkan dan keduanya mencoba bergulat memperebutkan ruang politik ekonomi pendidikan yang berubah.

Masalah yang dikhawatirkan muncul adalah:

Pertama, akibat desentralisasi adalah melemahnya kemampuan pemerintah pusat sebagai kekuatan untuk mengurangi gap antara (daerah) yg kaya dan (daerah) yang miskin. Namun demikian pengurangan ataupun pelebaran gap itu juga tergantung bagaimana daerah sendiri mengalokasikan dananya, khususnya kepada kelompok miskin di masing-masing daerah tersebut. Dengan kata lain dari segi pembiayaan akan tergantung bagaimana APBN dan APBD itu diterapkan. Kemampuan Pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan tergantung pada bagaimana kebijakan DAU, perimbangan dan DAKnya. Hasil penelitian  (World Bank, 2004) memperlihatkan bahwa politik DAU oleh Pusat relatif berhasil mengurangi kesenjangan antara daerah dibandingkan politik APBD di daerah yang terlihat belum berhasil mengurangi kesenjangan di dalam daerah. Diharapkan dampak  DAK dapat memeratakan, dan dana imbal-swadaya kendati berhasil memobilisasi dana masyarakat. Namun demikian pengelolaan keduanya masih rentan terhadap suap-projek (Ade Irawan (ICW)-diskusi) dan korupsi,  karena al. belum banyak melibatkan akuntan publik dan konsultan konstruksi (Imam Prasojo,  dikutip Kompas, 1-5-04).  Di samping itu pemberian block grant juga belum banyak dikaitkan –padahal perlu—dengan upaya capacity building, terutama  untuk memperkuat lembaga partisipasi publik.
Kedua, apakah upaya mengalihkan tanggungjawab pembiayaan ke masyarakat oleh pemerintah tidak dijadikan preseden,   terlihat pada RPP Wajib Belajar, pemerintah seperti mengelak dari kewajibannya mendanai wajib belajar sembilan tahun (yang telah ditentukan Konstitusi dan UU Sisdiknas[5], (Kompas, 12-5-05). (Upaya untuk mengelak dari alokasi 20 % APBN yang telah ’disalahkan’ Mahkamah Konstitusi ini (Kompas, 25-10-2005),  juga terlihat dari skenario lima menteri jaman Megawati yang ternyata diikuti pemerintah sekarang (Kompas, 23-02-2005). Demikian pula dengan dibentuknya lembaga pendidikan sebagai BHP maka tanggungjawab pendidikan pada akhirnya dilimpahkan kepada masyarakat, pemerintah dan orangtua.
Ketiga, apakah kebijakan pemerintah tidak memperlebar kesenjangan dan diskriminatif dalam memberikan ruang politik dan fasilitas baik secara regional,  negara-swasta, sekolah/keluarga kaya dan miskin, mayoritas-minoritas dll. Kekhawatiran akan diskriminasi muncul al karena pada RPP Wajib Belajar misalnya, terdapat ayat yang menyebutkan : ”pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menjamin pendanaan penyelenggaraan wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah”. Ini akan melestarikan diskriminasi pada sekolah swasta.  Demikian pula, seperti kata Utomo Dananjaya, RPP Standar Nasional Pendidikan dengan pembagian dua jalur pendidikan menyiratkan diskriminasi dan upaya pemerintah melepaskan tanggungjawab dari jalur pendidikan yang telah dianggapnya kuat (Kompas, 25-05-2005), kendati bagi pemerintah dua jalur itu untuk pemetaan (Kompas, 27-05-2005). “Bagi penyelenggara pendidikan swasta yang mempunyai sekolah-sekolah, keharusan tiap sekolah mempunyai badan hukum sendiri bisa dipandang menciptakan semacam “Negara dalam Negara” dan merepotkan kordinasi dan hierarkhi lembaga swasta (Kompas 6-3-04). Di samping itu pilihan model otonomi daerah di daerah terutama di daerah yang kaya PAD cenderung lebih menekankan peran (rowing) pemerintah (sekolah negeri) sehingga menimbulkan ekses antara lain mematikan lembaga pendidikan swasta yang telah berhasil melibatkan partisipasi masyarakat dini. Kekhawatiran akan terjadinya pelebaran kesenjangan juga dipicu kenyataan bahwa sekolah dengan basis sosial ekonomi yang lemah biasanya juga mempunyai Komite Sekolah, proposal pengembangan  dan network (politik dan ekonomi) termasuk alumni  yang lebih lemah dibandingkan sekolah yang berbasis sosial ekonomi kuat. Sehingga keberadaan komite-komite sekolah secara natural cenderung berdampak pada pelebaran kesenjangan.
   Keempat, apakah reformasi sistem governance dan managerial itu akan menjamin efektifitas dan efisiensi terutama secara eksternal, yaitu mampu menyiapkan anak didik/lulusan yang demokratis dan secara sosial-ekonomi relevan dan kompetitif.   Kekhawatiran tentang ini cukup besar, oleh karena baik pemerintah, penyelenggara dan pelaksana (guru) pendidikan lebih tertarik pada isu in-put (finansial), proses pembelajaran dan manajemen daripada out-put  pendidikan/pembelajaran. Di samping itu pasang naik politik guru (apalagi kelak dengan disyahkannya UU Guru & Dosen) agaknya akan mampu secara politik untuk mengesampingkan isu ini, karena kekuatan publik (civil society) yang dapat memperjuangkan masalah ini juga sangat lemah. Sejalan dengan ini,  isu-isu evaluasi hasil pendidikan juga hanya menjadi wacana yang diperebutkan oleh pemerintah dan guru[6], sedangkan publik (dan juga dunia industri pengguna lulusan sekolah) yang seharusnya diwakili oleh lembaga evaluasi yang independen belum juga mampu membuat lembaga tersebut sehingga terpinggirkan dalam perebutan wacana.
Dari kondisi di atas (butir keempat)  maka harapan masyarakat terhadap transparansi dan  efektifitas–efisiensi ekternal  hanyalah disandarkan kepada iktikad baik  terutama pemerintah daerah dan sekolah/ guru. Namun demikian apakah terdapat sistem manajerial yang akan menjamin harapan tersebut?
Agaknya harapan itu akan kandas karena transparansi dan efektifitas-efisiensi eksternal pendhdikan itu tidak juga diberikan secara memadai kepada masyarakat oleh sistem manajemen pendidikan kita sekarang. Hal ini karena disebabkan oleh dinamika lini manajemen dan lini governance yang belum kondusif;

1.      Pada lini manajemen adalah:

Pertama, sistem akuntabilitas-transparansi lebih bersifat vertikal, yaitu ke jenjang birokrasi di atasnya, kurang diimbangi akuntabilitas ke samping (yaitu ke masyarakat atau lembaga yang mewakilinya) dan transparansi  atasan ke samping dan ke bawah (lihat PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah). PP ini mewajibkan jenjang pemerintah sub-nasional untuk memberikan informasi khusus kepada Depdiknas dan Depag). Sebaiknya sekolah juga mendapatkan informasi itu. Lemahnya transparansi oleh jenjang pemerintahan yang lebih tinggi ke samping (ke masyarakat melalui Dewan Pendidikan misalnya) dan ke bawah (sampai ke sekolah) juga menyulitkan perencanaan keuangan oleh sekolah. Belum lagi sekolah juga dihadapkan pada perbedaan antara kalender anggaran dan kalender tahun ajaran yang menyulitkan pembuatan rencana anggaran.  Akibatnya, sekolah bersama Komite Sekolah mengalami ketidakpastian menyangkut berapa dana non-rutin yang akan diberikan sehingga sekolah mengambil tindakan antisipatif dengan menetapkan garis aman anggaran yang diusahakan Komite Sekolah dari masyarakat.  Lemahnya transparansi top-down pada lini manajemen pemerintah ini juga mengakibatkan lemahnya transparansi horisontal oleh sekolah/Komite Sekolah ke masyarakat.
Kedua, Standard Pelayanan Minimum yang ada (indikatornya mencapai 197 butir) lebih banyak mengacu pada kondisi input di suatu lembaga pendidikan (seperti angka partisipasi kasar (APK), kualifikasi guru yang mengajar,  rasio-guru-murid, transisi lulusan, rasio perkapita bangunan dst). Akibatnya, desakan untuk meningkatkan peringkat (standard) oleh sekolah mendorong  pencarian lebih besar in-put, terutama dana. Padahal yang sebenarnya lebih dibutuhkan para orang tua sejak akan mendaftar untuk anaknya adalah out-put yang telah  dan kira-kira akan dihasilkan sekolah itu.  Tetapi sejauh ini Badan Akreditasi Nasional Pendidikan (BAN) dengan  indikator yang in-put oriented itu pun belum (sepenuhnya) mengklasifikasi semua sekolah. Terdapat gejala umum resistensi pihak penyelenggara dan pelaku pendidikan terhadap klasifikasi, terutama bila evaluasi out-put ini diterapkan.
Resistensi terhadap Ujian Akhir Nasional-UAN 2004 dan 2005 beserta ambang kelulusannya yang diutarakan para guru dan penyelenggara pendidikan, adalah cermin kecil keengganan  untuk mempertanggung-jawabkan out-put itu. Ungkapan ”UN akan mengecilkan peran sekolah menjadi lembaga bimbingan test’, ’UN mengecilkan makna proses dari pendidikan’ atau ’UN melucuti hak (evaluatif) yang dimiliki guru’ sering diungkapkan oleh unsur guru. ’Beri kami (sekolah) realisasi anggaran 20 persen (APBN/D) itu dulu dan ratakan fasilitas baru silahkan evaluasi’  dan yang terakhir ”syahkan dulu Undang-undang Guru & Dosen” disuarakan elemen guru.  Sikap  enggan mempertanggungjawabkan out-put nampaknya juga diidap pemerintah Pusat, karena   ’sifat independen’ yang dituntut UU Sisdiknas pada  Badan Standard Nasional Pendidikan (BSNP) hilang dari PP nya (PP 19/2005 pasal 73 (3)). Di samping itu sampai sekarang pemerintah belum juga berusaha memfasilitasi lahirnya lembaga evaluasi pendidikan yang  independen yang  mewakili kepentingan (evaluasi oleh) masyarakat seperti diamanatkan undang-undang itu. Dengan demikian, alur akuntabilitas-transparansi yang mekanismenya bergerak lebih vertikal ke atas daripada horizontal (ke masyarakat atau yang mewakilinya) dan standard pelayanan minimum yang indikatornya lebih in-put oriented daripada out-put oriented,  maka boleh dikatakan, kendati mulai terdengar frasa ’anggaran berbasis kinerja’,   manajemen pelayanan pendidikan kita masih didorong untuk berorientasi kepada birokrasi dan penyelenggara tetapi kurang berorientasi pada hasil  dan kepuasan pengguna (masyarakat). Kondisi ini, di samping kurang mendorong efektifitas-efisiensi, juga  mencerminkan adanya gap yang besar antara bentuk kebutuhan masyarakat sebagai konsumen dengan sistem  manajemen pendidikan kita.
   Kondisi di atas juga mencerminkan  terjadinya ’pergulatan atas ruang politik dan sumberdaya’, terutama diantara fasilitator dan pelaksana pada lini manajemen, tetapi  ruang partisipasi publik (masih) kurang termanfaatkan untuk kepentingan masyarakat pengguna.  Dengan kata lain, ruang politik yang terbuka akibat reposisi pemerintah (pusat) lebih banyak membuka ruang negosiasi bagi pasang naik politik guru/sekolah dan penyelenggara pendidikan untuk mengakumulasi ruang politik, namun kurang diisi upaya pertahanan apalagi partisipasi pro-aktif oleh (kepentingan) masyarakat melalui partisipasi publik yang efektif.
Sangat kuat semangat pemerintah daerah dan sekolah untuk mengkonversi kewenangannya yang baru menjadi dana segar, termasuk dengan cara menggunakan  lembaga seperti Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk melegitimasi usulan, pencairan dan pembelanjaan bantuan dari atas atau dari masyarakat. Bertolak dari UU 22/1999 kemudian UU 32/2004 dan UU 20 Sisdiknas 2003,  daerah dan sekolah serta guru, dengan ’otonomi’  sebagai kewenangan  barunya, kompetisi sebagai wataknya serta ’peningkatan mutu’ sebagai janjinya  bergerak sedemikian  rupa mencari sumberdaya. Sekolah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama –terutama pada masa-masa penerimaan siswa baru—, dengan berbagai tampilan seperti kartel mendiktekan ’harga pembukaan’ dari layanan jasanya ke masyarakat. Dengan jumlah sekolah dan bangku yang relatif tetap (fixed supply) di suatu wilayah yang biaya transport-logistiknya meningkat tajam untuk memilih sekolah yang lain,  terutama di perdesaan, tokh masyarakat  tidak punya alternatif pilihan selain menerima harga sekolah yang ’disepakati’ Komite Sekolah. Lebih dari itu,  tebaran janji peningkatan mutu yang disertai pungutan-pungutan dadakan di tengah jalan tetapi kurang disertai akuntabilitas kinerja dan transparansi,  telah mencitrakan politik otonomi sekolah sebagai kebijakan yang melampaui daya dukung sebagian besar  masyarakat menengah ke bawah.  

2.      Pada lini pemerintahan adalah:

Dalam perjalanan waktu kemudian menjadi jelas bahwa model governance yang mencoba memberikan akses politik pendidikan bagi masyarakat melalui lembaga yang mewakilinya (Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan) tidak mampu melaksanakan fungsi check and balances terhadap lini manajemen pemerintah (baca eksekutif, dari Pusat sampai ke sekolah dan guru). Hal ini  karena berbeda dengan lini manajemen pemerintah yang ’diberdayakan’ oleh paket kebijakan otonomi-desentralisasi, lembaga governance yang merepresentasikan kepentingan (kewenangan) masyarakat  lebih bersifat (menampung) reaksi atas beban masyarakat daripada membuat antisipasi atau mengajukan tuntutan  pertanggungjawaban publik kepada lembaga pemerintah, sehingga kurang berkembang. Dari hasil penelitian di beberapa lokasi terlihat bahwa KS dan DP (karena unsur-unsur anggota dan pengurusnya lebih didominasi PNS dan pensiunan PNS) lebih mampu berperan sebagai lini manajerial yang membantu  penyelenggara pendidikan daripada berperan sebagai lembaga yang memperjuangkan kepentingan publik pengguna pendidikan, sehingga partisipasi publik itu lebih menjadi ’pengabdian publik’ kepada negara dan swasta. Jabarannya adalah antara lain karena lemahnya organisasi civil society, lemahnya design lembaga governance untuk partisipasi publik (misalnya DP dan KS) dan lemahnya komitmen dana pemerintah (pada semua tingkatannya) untuk mengembangkannya. Lebih dari itu, bahkan kemudian terlihat bahwa  design, proses pembentukan dan unsur anggota  Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan yang semula dimaksudkan sebagai lembaga (governance oleh) masyarakat, itu lebih berpotensi sebagai lembaga manajemen yang berfungsi instrumental terhadap eksekutif dan sekolah. Fungsi untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat untuk melakukan tawar menawar tidak berjalan baik.
Akibat dinamika yang tidak seimbang antara lini manajemen dan lini governance itu, maka, di tengah hantaman beberapa krisis, akumulasi sumberdana yang tinggi dari masyarakat  tanpa disertai peluang partisipasi politik masyarakat yang cukup menimbulkan kesan di masyarakat bahwa pemerintah save the best shoot the rest, neo-liberalistik dan membiarkan berlangsungnya  survival of the fittest: yang tidak mampu minggir dan yang mampu dapat terus. Oleh karena itu untuk memperbaiki citranya, pemerintah tidaklah cukup dengan  menerapkan anggaran  (pendidikan) 20 persen APBN. Hal ini karena, kendati pemerintah mencoba membatasi kutipan kepada masyarakat menyusul diturunkannya BOS (Oktober 2005) ke sekolah-sekolah, otonomi yang diberikan kepada sekolah (oleh Undang-undang) tetap memberikan ruang bagi sekolah melalui komite sekolah untuk terus mengakumulasi sumberdana tambahan dari masyarakat.  Diperlukan pengembangan  sistem governance untuk mengembangkan check and balances dan perbaikan tata manajemen (akuntabilitas-transparansi) agar lebih mampu ’berkomunikasi’ secara efektif dengan masyarakat.


Problem Ekonomi-Demografis, Kebijakan dan Prioritas Program

Isu ekonomi-demografis antara lain kewajiban untuk mengangsur hutang luar negeri yang besar (hampir spertiga APBN untuk membayar utang),  rendahnya kualitas dan partisipasi pendidikan terutama di tingkat menengah /atas,  ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan tantangan’ lost generation’ seperti drop-out akibat krisis,  globalisasi dan pasar bebas.
Secara garis besar, regulasi-regulasi di bidang pendidikan adalah untuk membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan beranjak  menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih otonom di daerah. Berbeda dengan jaman pemerintahan sebelumnya (Orde Baru) yang menempatkan pemerintah sebagai perancang dan aktor pembangunan pendidikan (rowing),  maka dengan dana terbatas, tuntutan demokratisasi serta pasar bebas (globalisasi), pemerintah sekarang lebih menekankan perannya sebagai fasilitator & regulator. 
 Manifestasi kebijakannya terlihat pada upaya untuk menjamin (pemerataan) pelayanan pendidikan dasar serta pengembangan pendidikan lanjutannya dan untuk memberikan ruang (otonomi) bagi sekolah, Daerah dan perguruan tinggi bersama masyarakatnya, untuk berkompetisi menyelenggarakan pelayanan plus (di atas standar) dan spesifik sesuai dengan kebutuhan masyarakat/pasar. Secara umum, rasionalitasnya adalah bahwa pertama, di tengah dana yang terbatas (krisis), sasaran harus lebih difokuskan, terutama untuk kelompok yang paling rentan, kedua,   tuntutan demokratisasi mendorong pemerintah memberikan hak-hak pendidikan masyarakat dan memberikan ruang partisipasi (politik pendidikan dan dana) masyarakat, dan ketiga,  pasar bebas yang mengecilkan relevansi perencanaan terpusat mendorong pemerintah untuk memberikan kesempatan Daerah dan sekolah untuk menanggapi ’pasarnya’ yang khas.
Dengan kebijakan tersebut terdapat prioritas program terhadap isu ekonomi-demografis utama yang hendak dibidik adalah: penanganan trade-off antara peningkatan mutu dan pemerataan, terjaminnya mutu (standardized) pelayanan pendidikan (nasional) kepada masyarakat sampai ke daerah-daerah, penggalian dana/inisiatif masyarakat (untuk menambah anggaran dan peningkatan mutu), otonomi (sekolah/PT bersama-sama Daerah) agar lebih kreatif dalam mendekati tuntutan kebutuhan spesifik masyarakat dan dunia usaha (relevansi, flexible). 
Program-programnya antara lain penekanan pada Wajar 9 tahun, otonomi sekolah-perguruan tinggi (menjadikan lembaga pendidikan sebagai badan hukum), peranserta  (pembiayaan dan inisiatif) oleh masyarakat melalui DP dan KS dan standardisasi dan akredetisasi (melalui SPM, BSNP, BAN).  Khususnya meningkatkan relevansi dengan tuntutan pengembangan ekonomi adalah dengan penekanan Broad based education untuk menjamin flesibilitas tenaga kerja dan life skill yang berdasarkan inisiatif lembaga pendidikan untuk mengembangkan program sendiri yang relevan dengan (prospek) kebutuhan tenaga kerja spesifik daerah. 
Dengan wajar 9 tahun yang ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah, dan  bantuan khusus yang diberikan kepada lembaga pendidikan/daerah yang tertinggal maka  diharapkan terjadi pemerataan akses pelayanan, sesuai kemampuan pemerintah sekarang adalah pendidikan dasar, bagi semua kelompok masyarakat. Sedangkan  dengan standardisasi dan akreditasi diharapkan diperoleh, di samping kualitas pelayanan pendidikan yang kurang lebih sama sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, dan memberikan jaminan peluang mobilitas horisontal ke sekolah/daerah lain (integrasi nasional), juga adanya pembedaan peringkat sekolah-sekolah diharapkan memberikan peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (untuk peningkatan daya saing nasional).
Dukungan pendanaannya (utamanya DAU-Bos, DAK,-block-grant-imbal-swadaya, dan  prioritas APBD (di daerah) serta terakhir, BTL untuk menahan laju penurunan daya beli masyarakat. Namun demikian, anggaran pendidikan sekitar 4 persen (13.8 triliun ) masih jauh dari tuntutan Konstitusi (20 %, atau 80 triliun dari) APBN (Kompas, 29-08-2004).
Kendati dalam design kebijakan di atas nampak bagus, namun demikian muncul beberapa kekhawatiran.

1.      Kekhawatiran yang menonjol menyangkut pemerataan adalah:

Paket kebijakan yang menkombinasikan pemberian dana  BOS dengan tidak lagi membeda-bedakan antara sekolah/madrasah negri dan swasta untuk Wajar 9 tahun, dan peluncuran dana DAK, block-grant, serta dana ”imbal-swadaya” guna memberikan kepada sekolah/madrasah/daerah yang ’lemah’ adalah kebijakan yang sangat maju dibanding sebelumnya. Namun demikian, manfaat paket kebijakan bagi mereka yang tidak mampu bersekolah, pada umumnya kelompok miskin masih belum jelas. Padahal jumlah mereka yanmg tidak bersekolah, jika tingkat APK, dan drop-out terutama di SD dan SMK tidak diredam, akan meningkat (Kompas, 13-05-2005). Peningkatan itu sejalan dengan proporsi penduduk usia 15 – 64 tahun, terutama pada kohort yang lebih muda yang juga akan meningkat pesat[7]. Hal yang menghawatirkan adalah jikaa kelompok yang tidak bersekolah kurang mendapat pelatihan, maka para pencari kerja pemula ini akan memicu peningkatan juvenile deliquency.
Paket kebijakan yang mengkombinasikan beberapa program di atas juga kurang mampu memberdayakan lembaga pendidikan yang lemah. Hal ini karena, di luar dana BOS pada umumnya diraih melalui pengajuan proposal. Sekolah/madrasah yang lemah,  apalagi kebanyakan pesantren (dipadati kelompok miskin, terutama berasal dari  perdesaan/pertanian) pada umumnya lemah pula informasi, proposal,  dana pendamping,  maupun lobi politiknya, sehingga dana-dana di luar BOS itu cenderung tidak dimenangkan oleh sekolah/madrasah/pesantren yang lemah tersebut. Sekolah/madrasah yang lemah biasanya juga tidak mampu melaksanakan subsidi silang. Lebih dari itu, kebijakan daerah, di samping pada umumnya rendah  anggaran pembangunannya untuk pendidikan, juga cenderung mengalokasikan anggaran ke daerah ”aman”, yaitu ke sekolah - sekolah negeri (biasanya siswa berasal dari keluarga yang relatif mapan) dan menghindari tuduhan ”partisan” (membantu sekolah madrasah swasta yang biasanya dikelola lembaga keagamaan tertentu, dan biasanya lebih memberikan kesempatan kepada kelompok miskin.  Padahal sejak jaman reformasi, dukungan partisipasi masyarakat terhadap sekolah/madrasah swasta melemah. Pada jaman orde baru, partisipasi terhadap lembaga pendidikan swasta itu tinggi, antara lain karena organisasi untuk mewadahi partisipasi (politik)  warga sangat terbatas.  Pada masa asekarang ketika partisipasi publik lebih terbuka, sekolah/madrasah swasta harus bersaing memperebutan partisipasi warga dengan pesaing beratnya yaitu sekolah/madrasah negeri yang dilengkapi komite sekolah yang ”disuruh” pemerintah merebut ”dana/daya” milik masyarakat.
  Kesenjangan di daerah akan lebih lengkap manakala Undang-undang guru & dosen yang disyahkan berdampak pada marginalisasi guru ’di bawah standard sertifikasi’, kebanyakan guru swasta. Dengan kata  lain, di tengah kebijakan pemerintah ’memeratakan’, kenyataan di daerah adalah ’persaingan tidak seimbang’ untuk memperebutkan kue pemerataan dan  berdampak kesenjangan. Secara umum kenyataan di atas juga mempertanyakan model yang ideal bagi kemitraan antara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. 

2.  Kekhawatiran yang menonjol menyangkut peningkatan mutu

Kekhawatiran menonjol yang berkaitan dengan upya peningkatan mutu antara lain menyangkut lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran (yang masih tradisional, khususnya untuk tujuan  demokratisasi), dan lemahnya sistem evaluasi dan orientasi efisiensi eksternal, khususnya relevansinya dengan kebutuhan demokratisasi masyarakat dan pengembangan dunia usaha. Rencana perbaikan kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan dan akreditasi lembaga pendidikan adalah langkah maju. Namun belum diketahui apakah ketiga rencana ini akan lebih membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang lemah, terutama swasta, di samping apakah akan lebih mendesakkan tolok ukur lingkungan sekolah yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan kesetaraan, toleransi dan terutama solidaritas melalui proses belajar. Pertanyaan ini penting, terutama karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bias kelas ekonomi dan kurang pluralistis.
Demikian pula, kendati otonomi Daerah/sekolah telah  memunculkan inisiatif untuk mengembangkan program pendidikan atau ekstra kurikuler (misalnya life skill),   inisiatif itu nampaknya lebih didorong oleh ketersediaan guru/pelatihnya atau bahkan semata-mata keinginan sekolah /daerah untuk mendapatkan in-put tambahan, daripada didasari oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yang matang (efisiensi eksternal). Di pihak lain, khususnya pada sekolah-sekolah kejuruan dan pendidikan luar sekolah, on-the job training dan standardisasi organisasi profesi serta sertifikasi pelatihannya belumlah tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan keyakinan tentang tingkat kualitas lulusannya bagi calon penggunanya.    Di tengah peningkatan angka pengangguran (600 ribu dalam setahun (April 2004-2005), kedua kebijakan seperti itu meningkatkan resiko terhadap nilai balik investasinya yang mahal. Siapa yang harus bertanggungjawab bila harapan masyarakat yang begitu tinggi terhadap nilai balik investasi (return on investment) tidak terujud kelak?
Dengan membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dengan kendala  (kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas menjadi jelas bahwa penanganan trade-off antara keduanya adalah masalah yang krusial.  Kendati dalam design pemerintah keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan meningkat mutunya), namun secara umum terdapat prognosa bahwa mengingat kemampuan pendanaan untuk pemerataan-peningkatan mutu dan manajement oleh pemerintah  yang masih lemah, maka realitas politik Daerah dan persaingan antar (otonomi) sekolah/madrasah memperebutkan akses politik dan  daya masyarakatnya itulah yang  akan lebih menentukan pemerataan vis a vis peningkatan mutu pendidikan kita.  Dinamika yang sekarang terlihat adalah begitu pemerintah sedikit saja melepas bagian tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, maka oleh (otonomi) sekolah  yang lebih kuat bagian  itu direbut dan dijadikan komoditi yang syah bagi yang mampu. Kesenjangan agaknya akan melebar, pendidikan ’bermutu’ akan lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali pemerintah meningkat kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk meredam hal tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen pada saat sekarang adalah dua ’telor’ yang  mendesak untuk dibuat.
Namun  demikian, pertanyaannya saat ini adalah: pertama, Bila  sekarang negara belum mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society (lembaga sosial kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara yang terkesan  kurang menekankan partnership seperti di atas, masih dapat berperan emansipatorik, atau malahan telah ikut menjadi penjual komoditi pendidikan untuk mempertahankan hidupnya? Kedua, apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah terreduksi menjadi alat legitimasi pemilah klas sosial (sorting mechanism) dan alat reproduksi tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka? Bila jawabnya ’ya’, maka di tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok yang lemah, diperlukan  peran partisipasi /solidaritas publik (dan civil society) melalui lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.


Penutup

Pemerintahan SBY-JK,  di samping secara umum menindaklanjuti dan memperkuat kebijakan desentralisasi /otonomi daerah/sekolah dari pemerintah sebelumnya, juga mengisi lebih konkrit sebagian tuntutan pemenuhan pendidikan dasar sebagai babak baru. Namun demikian penanganan pemerataan-peningkatan mutu di daerah dan pelibatan otonomi sekolah/madrasah untuk menggali dana lebih tinggi dari masyarakat nampak diikuti oleh kecenderungan pelebaran kesenjangan, ketidakpastian mutu, dan lemahnya akuntabilitas dan partisipasi  publik.  Di tengah merebaknya kolusi eksekutif-legislatif, upaya untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan efektif melayani publik membutuhkan partisipasi (non-finansial) yang kuat dari  publik. Tetapi ini belum ada, sehingga citra ’strong government’ yang menempatkan masyarakat sebagai mitra--, masih  lemah. Slogan ‘Bersama, Kita Bisa’ dalam konteks state and society relation itulah yang dalam setahun ini baru terdengar seperti ’Bersama Kami, Bisa.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan oleh pemerintahan SBY-JK empat tahun ke depan,  tiga agenda di bawah ini mungkin perlu dipikirkan.
1.      Pelaksanaan desentralisasi politik pendanaan sampai ke tingkat sekolah yang telah meningkatkan partisipasi finansial masyarakat sudah waktunya diimbangi pelaksanaan desentralisasi politik pendidikan sampai ke tingkat masyarakat sesuai UU Sisdiknas (pasal 9), melalui komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. 
2.      Kebijakan yang selama ini lebih menekankan in-put sudah saatnya diimbangi secara bertahap dengan kebijakan yang menekankan juga out-put dan efisiensi eksternal melalui upaya perbaikan kurikulum, mutu guru dan pembentukan sistem evaluasi dengan melibatkan lembaga independen yang mewakili publik (sesuai pasal 11) yang mendesak untuk segera dibentuk.
3.      Kesenjangan aksesibilitas pendidikan terutama bagi kelompok miskin agaknya tidak melemah setelah diterapkannya paket kebijakan pendanaan sekarang. Sehingga sudah waktunya dirancang kebijakan affirmatif yang mencakup kelompok yang berada di luar sekolah/madrasah, dan kebijakan kemitraan pemerintah dan pendidikan swasta yang lebih baik, sejalan dengan peningkatan alokasi APBN untuk pendidikan ke depan.


Daftar Pustaka

Aronowitz, Stanley and Henry A .Giroux, 1990. Post-Modern Education: Politics, Culture dan Social Criticism. Oxford: University of Minessota Press. 
Aronowitz, Stanley & Henry Giroux, 1987. Education Under Siege: The
Consevative, Liberal, and Radical Debate Over Schooling. London & Hanley: Routledge & Kegan Paul.
Dewantara, Ki Hadjar, 1945 [1963]. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama: Pendidikan. Yogjakarta: Taman Siswa.
Gardono, Iwan. “Wacana “Civil Society “ di Indonesia” dalam Burhanuddin (ed.), 2003. Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia. T.t. INCIS-CSSP-USAID, hal.40-56.
Giroux, Henry A., 1981. Ideology, Culture and the Process of Schooling.  Falmer Press, Washington DC.
Gouldner, Alvin W., 1979. The Future of Intellectuals and the Rise of the New Class. London: The Macmillan.
Hinchliffe, J.K., 1987. ‘Education and Labor Market’, in George Psacharopoulos (ed.), Economics of Education: Research and Studies. Pergamon Press, Washington DC: 141-5.
Permatasari, Indira & Bambang Wisudo, 2004. ”Pendidikan dalam program 100 Hari            Mendiknas” Kompas, 23 November.
Suparno, Paul, 2000. “Kurikulum SMU yang Menunjang Pandidikan Demokrasi” dalam Sindhunata (ed.) Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius, hal.50-67.
World Bank (second draft). t.t. Draft Indonesia Education Sector Review 2004, Chapter
            II, 2-7 s/d 2-8).


[1]              Paper disampaikan pada Seminar Refleksi Akhir Tahun 2005 dengan tema ”Satu Tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono” diselenggarakan oleh Kedeputian IPSK-LIPI, Jakarta: Widya Graha Lt I, 13 Desember 2005
*               Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI
[2]      “Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air’ (Undang-undang tahun  1954) “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan” (Undang-undang 1989) ”.......bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU20/2003, ps 3).
[3]               Seharusnya dalam Renstra, namun Mendiknas sampai dengan April 2005 enggan menjelaskan drafnya dan  bahkan menilai yang memberitakan hal itu dapat dikategorikan sebagai tindakan membocorkan rahasia negara ( Media Indonesia, 18-04-2005). Oleh karena itu tulisan ini lebih bertumpu pada media dan pengalaman lapangan. 
[4]               Kebijakannya 1.Perbukuan SD s/d SLTA berorientasi konsumen, 2. SPP subsidi silang dgn menyertakan governance yang baik, 3. Mendorong daerah memberlakukan wajar 9 tahun, 4. Mencanangkan guru sbg profesi 5. Magang kepala sekolah lemah pada sekolah maju dan 6. Memecah Dirjen Dikdasmen menjadi dua (Kompas, 23-11-2004).
[5]               Kendati pasal 13 mengakui pemerintah wajib menjamin pendanaan penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun, namun pada bagian akhir pasal memberi ruang bagi pemerintah untuk  mengelak dari kewajibannya dengan menggiring masyarakat mendanai wajib belajar” (Kompas, 12-5-05). Di samping itu ayat (4) menunjukkan tanda-tanda kelonggaran pada komitmen di atas ” Pemerintah dan pemerintah daerah membantu pembiayaan penyelenggaraan program wajib belajar yang di selenggarakan masyarakat”  ayat (7) ”pendanaan wajib belajar dapat berasal dari masyarakat atau sumbangan lain yang tidak mengikat” Ayat ini dipandang Abdurrochman Gintings menggiring masyarakat untuk mengambil alih tanggungjawab pemerintah dalam membiayai wajib belajar.
[6]              Menurut   Lody Paat, penerbitan PP 19/2005  tentang SNP yang disusul dengan pengukuhan BSNP  hanya sebagian kecil dari begitu banyak hal yang bertentangan dengan semangat UU Sisdiknas (khususnya pasal 63 ayat (1)yang memberikan kewenagan kepada pemerintah untuk menilai hasil belajar peserta didik seperti hak yang melekat pada pendidik (guru) dan satuan pendidikan. Pasal ini dinilai mengintervensi otonomi guru. Padahal pasal 58 (1) UU Sisdiknas memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran siswanya mulai dari awal hingga akhir penentuan kelulusannya. Menurut Lody, keikursertaan pemerintah dan lembaga mandiri dalam melakukan evaluasi –seperti diatur pada pasal 58 (2) dan pasal 59n(1) UU Sisdiknas adalah dalam konteks evaluasi terhadap pengelola, satuan, jejnang dan jenis pendidikan. Para peserta diskusi juga menyoal hilangnya kata ’independen’ pada pasal 73 (3) PP SNP (tentang sifat BSNP) (Kompas 4 juni 2005 (bold oleh penulis)).
[7]               Dalam 15-20 tahun kedepan penduduk usia produkyif (15-64 tahun) meningkat signifikan, bahkan proporsinya mencapai tingkat tertinggi. Sebaliknya penduduk usia muda (0-14 tahun) mengalami penurunan secara berarti.Penduduk usia lanjut lambat laun akan bertambahkendti proporsinya jauh lebih rendah dibanding negara-negara maju (Kompas 5 Agustus 2005)