Para
praktisi pendidikan seperti para guru ataupun dosen di lembaga pendidikan
ataupun sekolah formal; pelatih (trainer) pada tempat tempat kursus maupun
lokakarya atau bahkan para pemandu pelatihan (fasilitator) di berbagai arena
pendidikan non formal ataupun pendidikan rakyat (popular education) dikalangan
buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak tanpa menyadari tengah terlibat
dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Umumnya
orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulya yang selalu mengandung
kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan terkejut, ketika
asumsi bahwa setiap usaha pendidikan itu selalu dimulyakan dan diasumsikan
mengandung kebajikan tersebut mendapat kritik mendasar oleh almarhum Paulo Freire
awal tahun 70 an, serta Ivan Illich pada dekade yang sama. Kritik
Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini
hampir dianggap sakral, penuh kebajikan tersebut ternyata mengandung juga
penindasan.[1]
Namun
demikian, sesungguhnya berbagai kritik mendasar tersebut justru semakin
mendewasakan pendidikan, yakni memperkaya berbagai upaya pencarian model
pendidikan, sehingga melahirkan kekayaan pengalaman lapangan di berbagai Dunia
Selatan mengenai praktek pendidikan, meupun pendidikan sebagai bagian dari aksi
kultural maupun transformasi sosial. Pendidikan menjadi arena yang
menggairahkan, karena memang mampu terlibat dalam proses perubahan sosial
politik diberbagai gerakan sosial yang menghendaki trasnformasi sosial dan
demokratisasi di Dunia Selatan. Aka tetapi, pada saat yang sama
kegairahan pendidikan juga tumbuh bagi penganut pemikiran liberal yang
mendominasi. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai proses model pendidikan
dan pelatihan yang pada dasarnya berpijak pada paradigma liberal dalam berbagai
bentuk dan pendekatannya. Itulah misalnya mengapa pada tahun 70an dunia
pendidikan disemarakan oleh berkembangnya model model pelatihan untuk menjadi
Kapitalis sejati, seperti AMT atau Achievement Motivation Training. Sementara
itu di lapangan pembangunan, berbagai proyek besar besaran tengah
diperkenalkan, dan pendidikan juga memainka peran sentral, yakni dengan dikembangkannya
berbagai model pendidikan Non formal Education yang diimpelementasikan
dalam berbagai bentuk proyek pengembangan masyarakat. Di didunia
bisnis, saat itu tengah bergairahnya munculnya berbagai bentuk pelatihan
manajemen dan kewiraswastaan untuk menumbuhkan kelas pengusaha baru.
Pendidikan
formal juga mengalami kegoncangan karena dampak dari pertikaian ideologi dan
perspektif pendidikan tersebut. Tanpa disadari, pendidikan formal tengah
mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan
perubahan masyarakat sekelilingnya, menuju model pendidikan pembangunan, dimana
pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan, tanpa dipersoalkan apa
hakekat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri. Dewasa ini arus
ini semakin berkembang, dengan fenomena munculnya gagasan ‘sekolah unggulan’
dan sering terdengar gagasan ‘link and match’ dalam aspek pendidikan. Yang
dimaksud sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan harus memiliki kaitan dan
relevansi dengan dunia Industri. Konon gagasan ini juga tengah bergejolak dalam
sistim pendidikan pesantren.[2]
Kritik
terhadap dunia pendidikan gelombang selanjutnya, datang dari pengaruh pikiran
kritis terhadap Kapitalisme di Amerika Serikat pada masa setelah tahun tujuh
puluhan. Samuel Bowels, melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan.
Paling tidak di Amerika baginya, pendidikan merupakan reproduksi terhadap
sistim kapitalisme belaka. Pandangan yang sangat pesimistik ini
melahirkan aliran reproduksi dalam pendidikan. Tentu saja pandangan ini
bertentanga dengan pandangan Freire, dimana pendidikan penyadaran kritis justru
akan memproduksi reistensi dan kritik terhadap proses de-humanisasi akibat
Kapitalisme. Namun kedua pemikiran tersebut menyadarkan banyak orang tentang
tidak mungkinnya pendidikan netral, melainkan syarat akan agenda ideologi. Dan
bagi penganuit paham kritis ini hakekat pendidikan pada dasarnya adalah untuk
memanusiakan manusia. Pernyataan tersebut mengandung pengetian bahwa pada
dasarnya pada formasi sosial yang menjadi sistim sosial yang kokoh ini terjadi
suatu proses yang sosial, politik dan budaya yang membuat manusia menjadi tidak
manusiawi lagi. Sehinga pendidikan harus memainkan peran kritis untuk
menyadarkan manusia pada proses dehumanisasi tersebut, menuju pada dunia yang
lebih adil, sebagai prasarat lingkungan sosial yang memanusiawikan.
Usaha untuk
menerjemahkan buku yang berjudul Educational Ideologies: Contemporary
Expressions of Educational Philosophies ini perlu dihargai.
Karena buku ini selain sangat membantu untuk memahami apa latar belakang
pertikaian dalam politik pendidikan tersebut, juga dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi praktisi pendidikan untuk merefleksikan kegiatan mereka
selama ini. Hal ini karena buku ini mampu secara deskriptif memberikan
ulasan yang seimbang terhadap berbagai ideologi dalam pendidikan. Lebih dari
itu, secara tidak langsung buku ini mampu mengantarkan pembacanya untuk
menyadari pertanyaan mendasar tentang pendidikan, yakni ‘apa pada dasarnya
hakekat pendidikan itu?’ Secara terinci buku ini menyajikan, bahwa apa hakekat
pendidikan dan mendidik, sangat bergantung dari kacamata ideologi yang mana
yang dipergunakan. Lebih lanjut, buku dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
para perencana dan praktisi pendidikan yang dewasa ini tengah mengalami krisis,
ketika pendidikan harus dihadapkan dengan pesatnya perkembangan industrialisasi
di era globalisasi pasar bebas dewasa ini.
Dewasa ini
untuk kesekian kalinya, pendidikan tengah diuji untuk mampu memberikan jawaban
yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi ataupun melanggengkan sistim dan
struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dalam melakukan
perubahan sosial dan transformasi sosial menuju dunia yang lebih adil. Kedua
peran pendidikan dilematis pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui
pemilihan paradigma dan ideologi pendidikan yang mendasarinya. Untuk memahami
kedua paradigma tersebut, dalam pengantar buku ideologi pendidikan ini
sedikit diulas mengenai berbagai paradigma pendidikan dan implikasinya terhadap
berbagai teori pendidikan yang dianut oleh penyelenggaran pendidikan, pilihan
teknik proses belajar mengajar. Sebagai bahan perbandingan dalam pengantar ini
akan meminjam pemetaan aliran paradigma pendidikan yang sederhana dibandingkan
dengan pemetaan yang dipergunakan oleh O’Neil disini, yakni pemetaan yang
dipergunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985), yang hanya membagi ideologi
pendidikan menjadi tiga aliran saja yakni pendekatan konservative, liberal
serta kritis.
Pertama,
Paradigma Konservatif. Bagi mereka ketidak kesederajatan masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari
serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan
sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan
hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik
atau awal peradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat
pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan
sosial, hanya tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang
tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif
lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah
kondisi mereka.
Namun dalam
perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan
subyeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang
miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian
karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa
bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang kesekolah dan belajar untuk
berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar
dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya
kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif
sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik
dan kontradiksi.
Kedua
pandangan Paradigma Liberal. Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa
memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada
kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan
seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautya dengan persoalan
politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia
pendidikan, dngan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan
dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan adalah seperti:
perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah
dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai
usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi
untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan
partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’,
‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
sebagainya. Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur
ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada
dalam masyarakat.
Kaum Liberal
dan Konservatif sama sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik,
dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal
beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang
berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan
pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’
justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat.
Pendidikan justru dimaskudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar
masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan
liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik
pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti
berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni
suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan
kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial
secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan
dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang individualisme. Ide
politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah
yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat
dianalisa dengan melihat komponen komponennya. Komponen pertama, adalah
komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model
manusia Amerika dan Europa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis
liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh
akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya angapan bahwa manusia
adalah atomistik dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu secara atomistic,
membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat
dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh
liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui
proses persaingan antar murid. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik,
adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga
dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training
management, kewiraswastaan, menejemen lainnya. Achievement Motivation Training
(AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan
liberal. McClelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga
karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach.[3] Oleh karena sarat pembangunan bagi
rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N ach” yang membuat individu agresif
dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat
(Community Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya,
umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme
sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan ini juga menjadi dasar bagi
model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang
dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas.
Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial
yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan
kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi,
‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi
bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh
karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan
harus didekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas
nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal,
prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”.
Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values dalam
rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.
Habermas,
seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan
menjelaskan berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut. [4] Pertama, adalah apa yang disebutnya
sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan
adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap
obyeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge‘ atau interpretative knowledge,
dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah ‘critical
knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang
dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan
sebagai katalys untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal
pada dasarnya sangatlah positivistik.
Yang ketiga
adalah Paradigma Kritis. Pendidikan bagi mereka merupakan arena
perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga
status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma
kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat dimana pendidikan berada.[5] Bagi mereka kelas dan diskriminasi
gender dalam mayarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini
bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terelpas
dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam
perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap
‘the dominant ideology’ kearah transformasi sosial. Tugas utaama pendidikan
adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak
adilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang
lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap
obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran
positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta
sistim sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas
dan kritis untuk transformasi soaial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan
adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistim
dan struktur yang tidak adil
Peta
ideologi pendidikan Giroux ini sejalan dengan analisis Freire (1970) tentang
kesadaran idologi masyarakat.[6] Freire menggolongan kesadaran
manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif
(naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).[7] Yang dimaksud kesadaran magis yakni
tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan
faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan
kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih
melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab
dan ketakberdayaan. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak
memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu
permalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru,
tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas
kehidupan masyarakat.
Yang kedua
adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini
adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masarakat.
Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap
sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu
masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri,
yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya
‘membangunan’ dan seterusnya.[8] Oleh karena itu ‘man power
development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.
Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan systim dan struktur,
bahkan systim dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor
‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah
bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan
sistim yang sudah benar tersebut.
Kesadaran
ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek
sistim dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari
‘blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari
struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada
keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk
mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistim dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis
adalah menciptakan ruang dan kesematan agar peserta pendidikan terlibat dalam
suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Apa
implikasi paradigma pendidikan pada pedekatan dan metodologi pendidikan dan
pengajaran? Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah menuculnya Dalam
perbedaan pandangan proses belajar mengajar antara yang berpaham
Paedagogy berhadapan dengan penganut Andragogy. Untuk memahami
perbedaan ini, bisa dipelajari dengan memahami pemikiran
Knowles (1970) yang secara sederhana mencoba menguraikan perbedaan antara
anak anak dan orang dewasa dalam belajar sebagai kerangka model pendekatan
pendidikannya.[9] Model pendekatan pendidikan
tersebut diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif yakni
antara pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua pendekatan pendidian
tersebut, sesungguhya tidak semata perbedaan “obyek” nya. Pedagogi sebagai
‘seni mendidik anak’ mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses
pendidikan yang ‘menempatkan obyek pendidikannya sebagai ‘anak anak’, meskipun
usia biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekewensi logis dari
pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “murid” yang pasif.
Murid sepenuhnya menjadi obyek sutu proses belajar seperti misalnya: guru
mengguri, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid
tunduk pada pilihan terseut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan
seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti
terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Sebaliknya,
andragogy atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’ merupakan pendekatan yang
menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Dibalik pengertian ini
Knowles ingin menempatkan ‘murid’ sebagai adalah subyek dari sistim pendidikan.
Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk
merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat,
memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta
mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “facilitator”,
dan bukan mengguri. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat
‘multicommunication’ dan seterusnya. [10]
Sebagai
pendekatan andragogy dan pedagogy sering dipergunakan dalam ketiga paradigma
magis, naif dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang
magic atau naif, tetapi dilakukan dengan cara pendekatan andragogy. Perkawinan
antara andragogy dan paradigma magis dan naif sesungguhnya adalah menghubungkan
dua hal yang kontradiktif. Pendidikan kritis mensaratkan penggunaan
andragogy sebagai pendekatan ketimbang pedagogy. Secara prinsipil meletakan
‘anak didik’ sebagai ‘obyek’ pendidikan adalah problem dehumanisasi.
Sebaliknnya pendidikan liberal yang bersifat naive (blaming the victis)
meskipun digunakan pedekatan andragogy, namun yang terjadi pada dasarnya adalah
menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan kedalam
sistim dan strukktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan
karakter dari andragogy.
Sebaliknya
banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis
namun dilakukan dengan cara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi
pendidikan sesunguhnya menyangkut persoalan persolan mendasar tentang sistim
dan struktur masyarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih ‘banking
concept of education’ bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri
adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga
bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian
pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogy pada dasarnya adalah
kontradikif dan anti-pendidikan.
Dengan
agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk
menciptakan ruang (space) bagi sistim pendidikan untuk secara kritis
mempertanyakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology, gender,
lingkungan serta hak hak azazi mansuia dan kaitannya dengan posisi pendidikan.
Kedua pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power
relation) menjadi bagian dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal
itu, tidak saja pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat
tetapi justru melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung dari kelas,
penindasan dan dominasi. Pendidikan dalam kontek itu tidaklah mentransformasi
struktur dan system dominasi, tetapi sekedar menciptakan agar system yang ada
berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah
dan gagal menjadi solusi.
Kuatnya
pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi
pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan
mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris, tidak memihak, detachment,
rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan dan
pelatihan.[11] Pendidikan dan pelatihan dalam
positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran
pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Pendidikan juga tidak
toleran terhadap segala bentuk ‘non positivistic way of knowing’ yang disebut
sebagai ilmiah. Pendidikan menjadi a-historis, yakni mengelaborasi model masyarakat
dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Murid dididik
untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara cara dimana peran, norma, dan
nilai nilai serta lembaga yang dapat integrasikan dalam rangka melanggengkan
system tersebut. Asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistim yang
ada, masalahnya terletak mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi,
ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik.
Dari
kerangka paradigma dan pendekatan pendidikan diatas, maka diperlukan suatu usaha
selalu untuk meletakan pendidikan dan latihan dalam proses transformasi dalam
keseluruhan sistim perubahan sosial. Setiap usaha pendidikan dan latihan perlu
melakukan trasnformasi hubunan antara fasilitator dan perserta pendidikan.
Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan dan pelatihan
perlu dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi dimana sesunguhnya
lokasi pemihakan usha pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut. Tanpa
visi dan pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan dan pelatihan
sesungguhnya sulit diharapkan menjadi institusi kritis menuju pada perubahan.
Usaha pendidikan dan pelatihan juga perlu melakukan identifikasi issue issue
strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai gerakan pendidikan. Tanpa
pemihakan,visi, analisis dan mandat yang jelas maka proses pendidikan dan
pelatihan adalah bagian dari status quo, dan melanggengkan ketidak adilan.
Selain itu,
paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan
pendidikan dan pelatihan serta proses belajar mengajar yang diterakan.
Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi hubungan guru-murid
dalam persepective yang didominasid dan yang mendominasi. Dimana Guru menjadi
subyek penddikan dan pelatihan sementara murid menjadi obyeknya. “subjection”
yang menjadikan murid menjadi obyek pendidikan dalam perspektive kritis adalah
bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain paradigma pendidikan
dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan
dengan struktur diluarnya, tapi juga bercita cita mentransformasikan relasi
‘knowledge/power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’
didalam diri pendidikan sendiri.
Usaha
pendidikan dan pelatihan sesungguhnya secara struktural adalah bagian dari
sistim sosial, ekonomi dan politik yang ada. Oleh karena itu banyak orang
pesimis untuk berharap mereka sebagai badan independen untuk berdaya kritis.
Penganut paham ‘reproduksi’ dalam pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan
sulit diharapkan untuk memerankan perubahan, melainkan mereka justru yang
mereproduksi sistim yang ada atau hukum yang berlaku. Dalam persektif kritis,
terutama aliran produksi dalam pendidikan dan pelatihan, setiap upaya
pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk senantiasa mengembalikan
fungsinya sebagai proses independen untuk transformasi sosial. Hal ini berarti
proses pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap ‘tabu’ untuk
mempertanyakan secaa kritis sistim dan struktur yang ada serta hukum yang berlaku.
Sebalikya, dalam rangka melakukan pendidikan kritis dalam proses melakukan
transformasi sosial yang juga perlu dilakukan adalah mentransformasi dirinya
mereka sendiri dahulu, yakni membongkar struktur tidak adil didalam dunia
pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu, yakni antara murid dan guru.
Akhirnya,
diharapkan buku ini menjadi bahan pertimbangan bagi segenap pemikir, perencana
dan praktisi pendidikan untuk memberi makna baru bagi kegiatan pendidikan yang
tengah mereka lakukan. Dengan pemahaman dan kesadaran tentang ideologi
pendidikan yang dianut, diharapkan setiap usaha pendidikan dan pelatihan yang
dikembangkan oleh praktisi pendidikan ikut memerankan salah satu visi utama
pendidikan yakni menjadi bagian dari transformasi sosial untuk memanusiakan
manusia. Transformasi yang dimaksud adalah suatu proses penciptaan hubungan
antar manusia yang secara fundamental baru dan lebih baik. Diharapkan
buku ini membantu perenungan yang mendasar dari pembaca tentang hakekat, fungsi
dan peran setiap usaha pendidikan dan pelatihan dimasa mendatang
Yogyakarta,
Agustus 1997.
DR. Mansour
Fakih
DAFTAR
BACAAN
Althusser,
L. “Ideology and Ideological State Apparatus”. In Althusser, Essay on
Ideology. London: Verso, 1984.
Apple, M.W. Ideology
and Curriculum. Boston: Routledge & Keagan Paul, 1979.
Apple, M.W. Education
and Power. Boston: Routledge & Keagan Paul, 1982.
Arnold, R.,
et al. Educating for a Change. Toronto: Between the Lines
and Doris Marshall Institute for Education and Action, 1991.
Aronowitz,
S. & Giroux, H.A. Education Under Siege. Massachusetts:
Bergin & Garvey Publishers, Inc., 1985.
Bell Brenda
(Eds.). We make the Road by Walking: Conversations on
Education and Social Change. Philedaphia: Temple University Press.1990.
Coombs, P.H.
The World Crisis in Education. Oxford: Oxford Universiry Press.
1985.
Escobar, A.
“Discourse and Power in Development: Michael Foucault and the Relevance in his
Work to the Third World. Alternatives, No. X, 1985.
Fagerlind,
Ingemar and Lawrence J. Saha. Education and NationalDevelopment Oxford:
Pergamon Press. 1983.
Fals Borda,
O. Knowledge and People’s Power: Lessons with Peasants in Nicaragua, Mexico
and Columbia. New Delhi: Indian Social Institute, 1988.
Fals Borda,
O. & Rahman, M.A. Action and Knowledge New York: The
Apex Press, 1991.
Fay, B. Social
Theory and Political Practice. London: George Allen and Unwin, 1975.
Femia, J.
“Hegemony and Consciousness in the Thoughts of Antonio Gramsci”. Political
Studies, Vol.23, No., March 1975.
Foucault, M.
The Archeology of Knowledge and the Discourse of Language. New York:
Pantheon, 1980.
Freire, P. Pedagogy
of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
Freire, P. Education
for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981.
Freire, P.
& Shor, I. A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming
Education South Hadley, MA: Bergin and Garvey, 1986.
Gendzier, I.
Managing Political Change: Social Scientists and the Third World.
Boulder, CO: Westview Press, 1985.
Giroux, H.A.
Ideology, Culture and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple
University and Falmer Press, 1981.
Gramsci, A. Prison
Notebooks. New York: International Publisher, 1971.
Habermas, J.
Knowledge and Human interest. (Translated by J. Shapiro) Boston:
Beacon Press, 1972.
Hall, B. Participatory
Research: Popular Knowledge and Power. Toronto: Participatory Research
Group, 1984.
Hope, A.
& Timmel, S. Training for Transformation. Vols.1-3. Gweru, Tanzania:
Mambo Press, 1988.
Kassam, Y.
& Kemal, M. (Eds.) Participatory Research: An Emerging Alternative
Methodology in Social Science Research. New Delhi: Society for
Participatory Research in Asia, 1982.
McClelland
D.C. & Winter, D.G. Motivating Economic Achievement. New York: The
Free Press, 1969.
Mueller, A. Peasants
and Professionals: The Production of Knowledge in the Third World. A paper
presented to the Meeting of the Association for Women in Development,
Washington D.C. April, 1987.
O’neal.
William. Eduactional Ideologies. Santa Monica, California: Goodyear
Publishing Company,Inc. 1981.
Park, P.
“From Universalism to Indigenization: Toward an Emancipatory Sociology.” Paper
presented at the 10th World Congress of Sociology, Mexico City, 1982.
Postman,N.
dan Weingatner, C. Teaching as a Subversive Activity. New York: Dell
Publishing Co. 1969.
Rostow, W.W.
The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. New York:
Cambridge University Press, 1960.
Sachs, W.
(Ed.). The Development Dictionary, A Guide to Knowledge as Power,
London: Zed Books: 1992.
Smith, W.A. The
Meaning of Conscientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy. Amherst:
Center for International Education, 1981.
Schroyer, T.
The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical Theory.
Boston: Beacon Press, 1973.
Srinivasan,
L. Perspective on Nonformal Adult Learning. New York: World Education.
1977.
Tandon, R.
& Fernandez, W. Participatory Research and Evaluation: Experiments in
Research as a Process of Liberation. New Delhi: Indian Social Institute,
1982.
Weber, M. The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
[1] Lihat: Paulo Freire. Pedagogy of
the Oppressed. 1973. Praeger, 1986. Juga buku Freire yang lain Education
for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981. Freire, P.
& Shor, I. A Pedagogy for Liberation: Dialogues on
Transforming Education South Hadley, MA: Bergin and Garvey, 1986.
Lihat juga Ivan Illich. Deschooling Society
[2]
Lihat: Oepen, M. & Karcher, W. The Impact of
Pesantren and Educational and Community Development in Indonesia. Jakarta:
P3M, 1986.
[3]
Asumsi ini dipengaruhi oleh buku Max Weber: The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism. New York: 1930. McClelland perpendapat
bahwa jika Protestant Ethic mendorong pertumbuhan ekonomi Barat, analog gejala
yang sama harus dicari dinegara miskin rangka pertumbuhan ekonomi. Menurut
McClelland dibalik rahasia Etika Protestan adalah suatu mentalitas yang
disebut the need for achievement (N Ach). Lihat: McClelland “The
Achievement Motive in Economic Growth” in M.Seligson (ed.). The Gap between
Rich and Poor Boulder: Westpoint. 1984.
[4] Teori Kritik (Critical theory)
adalah aliran yang diassosiasikan dengan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School)
yang mulai di Jerman tahun 1923. (Bottomore, 1984; Held, 1980, Fay,1975).
[5]
Giroux, H.A. Ideology, Culture and the Process of Schooling.
Philadelphia: Temple University and Falmer Press, 1981.
[6]
Lihat, Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New
York: Praeger, 1986.
[7] Smith, W.A The meaning of
Conscientacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy Amherst: Center for
International Education, UMASS, 1976.
[8] Pemikiran yang bisa dikatagorikan
dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi yang menjadi aliran yang
dominan dalam ilmu ilmu sosial juga mempengaruhi pendidikan dan training.
[9] Lihat: Knowles, Malcolm. The
Modern Practice of Adult Education. 1970.
[10] Secara lebih rinci lihat. US
Departement of Health, Education and Welfare. A Trainers Guide
to Andragogy. Revised edition, Washinton D.C. 1973.
[11] Lihat: Schroyer, T. The Critique
of Domination: The Origins and Development of Critical Theory.
Boston: Beacon Press, 1973.
No comments:
Post a Comment