Tuesday, August 7, 2012

praktisi dalam pendidikan ivan ilcih


Para praktisi pendidikan seperti para guru ataupun dosen di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal; pelatih (trainer) pada tempat tempat kursus maupun lokakarya atau bahkan para pemandu pelatihan (fasilitator) di berbagai arena pendidikan non formal ataupun pendidikan rakyat (popular education) dikalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak tanpa menyadari tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulya yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha pendidikan itu selalu dimulyakan dan diasumsikan mengandung kebajikan tersebut mendapat kritik mendasar oleh almarhum Paulo Freire awal tahun 70 an, serta Ivan Illich pada dekade yang sama.  Kritik Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh kebajikan tersebut ternyata mengandung juga penindasan.[1]
Namun demikian, sesungguhnya berbagai kritik mendasar tersebut justru semakin mendewasakan pendidikan, yakni memperkaya berbagai upaya pencarian model pendidikan, sehingga melahirkan kekayaan pengalaman lapangan di berbagai Dunia Selatan mengenai praktek pendidikan, meupun pendidikan sebagai bagian dari aksi kultural maupun transformasi sosial. Pendidikan menjadi arena yang menggairahkan, karena memang mampu terlibat dalam proses perubahan sosial politik diberbagai gerakan sosial yang menghendaki trasnformasi sosial dan demokratisasi di Dunia Selatan. Aka tetapi,  pada saat yang sama kegairahan pendidikan juga tumbuh bagi penganut pemikiran liberal yang mendominasi. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai proses model pendidikan dan pelatihan yang pada dasarnya berpijak pada paradigma liberal dalam berbagai bentuk dan pendekatannya. Itulah misalnya mengapa pada tahun 70an dunia pendidikan disemarakan oleh berkembangnya model model pelatihan untuk menjadi Kapitalis sejati, seperti AMT atau Achievement Motivation Training. Sementara itu di lapangan pembangunan, berbagai proyek besar besaran tengah diperkenalkan, dan pendidikan juga memainka peran sentral, yakni dengan dikembangkannya berbagai model pendidikan Non formal Education yang diimpelementasikan dalam berbagai bentuk proyek pengembangan masyarakat.  Di didunia bisnis,  saat itu tengah bergairahnya munculnya berbagai bentuk pelatihan manajemen dan kewiraswastaan untuk menumbuhkan kelas pengusaha baru.
Pendidikan formal juga mengalami kegoncangan karena dampak dari pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan tersebut. Tanpa disadari, pendidikan formal tengah mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan perubahan masyarakat sekelilingnya, menuju model pendidikan pembangunan, dimana pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan, tanpa dipersoalkan apa hakekat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri. Dewasa ini arus ini semakin berkembang, dengan fenomena munculnya gagasan ‘sekolah unggulan’ dan sering terdengar gagasan ‘link and match’ dalam aspek pendidikan. Yang dimaksud sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan harus memiliki kaitan dan relevansi dengan dunia Industri. Konon gagasan ini juga tengah bergejolak dalam sistim pendidikan pesantren.[2]
Kritik terhadap dunia pendidikan gelombang selanjutnya, datang dari pengaruh pikiran kritis terhadap Kapitalisme di Amerika Serikat pada masa setelah tahun tujuh puluhan. Samuel Bowels, melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Paling tidak di Amerika baginya, pendidikan merupakan reproduksi terhadap sistim kapitalisme belaka. Pandangan yang sangat pesimistik ini  melahirkan aliran reproduksi dalam pendidikan. Tentu saja pandangan ini bertentanga dengan pandangan Freire, dimana pendidikan penyadaran kritis justru akan memproduksi reistensi dan kritik terhadap proses de-humanisasi akibat Kapitalisme. Namun kedua pemikiran tersebut menyadarkan banyak orang tentang tidak mungkinnya pendidikan netral, melainkan syarat akan agenda ideologi. Dan bagi penganuit paham kritis ini hakekat pendidikan pada dasarnya adalah untuk memanusiakan manusia. Pernyataan tersebut mengandung pengetian bahwa pada dasarnya pada formasi sosial yang menjadi sistim sosial yang kokoh ini terjadi suatu proses yang sosial, politik dan budaya yang membuat manusia menjadi tidak manusiawi lagi. Sehinga pendidikan harus memainkan peran kritis untuk menyadarkan manusia pada proses dehumanisasi tersebut, menuju pada dunia yang lebih adil, sebagai prasarat lingkungan sosial yang memanusiawikan.
Usaha untuk menerjemahkan buku yang berjudul Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies ini perlu dihargai.  Karena buku ini selain sangat membantu untuk memahami apa latar belakang pertikaian dalam politik pendidikan tersebut, juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi praktisi pendidikan untuk merefleksikan kegiatan mereka selama ini.  Hal ini karena buku ini mampu secara deskriptif memberikan ulasan yang seimbang terhadap berbagai ideologi dalam pendidikan. Lebih dari itu, secara tidak langsung buku ini mampu mengantarkan pembacanya untuk menyadari pertanyaan mendasar tentang pendidikan, yakni ‘apa pada dasarnya hakekat pendidikan itu?’ Secara terinci buku ini menyajikan, bahwa apa hakekat pendidikan dan mendidik, sangat bergantung dari kacamata ideologi yang mana yang dipergunakan. Lebih lanjut, buku dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perencana dan praktisi pendidikan yang dewasa ini tengah mengalami krisis, ketika pendidikan harus dihadapkan dengan pesatnya perkembangan industrialisasi di era globalisasi pasar bebas dewasa ini.
Dewasa ini untuk kesekian kalinya, pendidikan tengah diuji untuk mampu memberikan jawaban yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi ataupun melanggengkan sistim dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi sosial menuju dunia yang lebih adil. Kedua peran pendidikan dilematis pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi pendidikan yang mendasarinya. Untuk memahami kedua paradigma tersebut, dalam pengantar buku ideologi pendidikan ini  sedikit diulas mengenai berbagai paradigma pendidikan dan implikasinya terhadap berbagai teori pendidikan yang dianut oleh penyelenggaran pendidikan, pilihan teknik proses belajar mengajar. Sebagai bahan perbandingan dalam pengantar ini akan meminjam pemetaan aliran paradigma pendidikan yang sederhana dibandingkan dengan pemetaan yang dipergunakan oleh O’Neil disini, yakni pemetaan yang dipergunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985), yang hanya membagi ideologi pendidikan menjadi tiga aliran saja yakni pendekatan konservative, liberal serta kritis.
Pertama, Paradigma Konservatif. Bagi mereka ketidak kesederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal peradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subyeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang kesekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Kedua pandangan Paradigma Liberal. Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dngan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, ‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya. Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Kaum Liberal dan Konservatif sama sama berpendirian bahwa  pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaskudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Europa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis”  yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswastaan, menejemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. McClelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach.[3] Oleh karena sarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N ach” yang membuat individu agresif dan rasional (McClelland, 1961). Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya, umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan  metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”.  Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.
Habermas, seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan menjelaskan berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut. [4] Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap obyeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge‘ atau interpretative knowledge, dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah ‘critical knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalys untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.
Yang ketiga adalah Paradigma Kritis. Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada.[5] Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam mayarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terelpas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ kearah transformasi sosial. Tugas utaama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak adilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat  (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistim sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi soaial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil
Peta ideologi pendidikan Giroux ini sejalan dengan analisis Freire (1970) tentang kesadaran idologi masyarakat.[6] Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).[7] Yang dimaksud kesadaran magis yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah kesadaran naif.  Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’ dan seterusnya.[8] Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan systim dan struktur, bahkan systim dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistim yang sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesematan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Apa implikasi paradigma pendidikan pada pedekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran? Salah satu bentuk implikasi tersebut adalah menuculnya Dalam perbedaan pandangan proses belajar mengajar antara yang berpaham Paedagogy  berhadapan dengan penganut Andragogy.  Untuk memahami perbedaan ini,  bisa dipelajari dengan memahami  pemikiran  Knowles (1970)  yang secara sederhana mencoba menguraikan perbedaan antara anak anak dan orang dewasa dalam belajar sebagai kerangka model pendekatan pendidikannya.[9] Model pendekatan pendidikan tersebut diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif yakni antara pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua pendekatan pendidian tersebut, sesungguhya tidak semata perbedaan “obyek” nya. Pedagogi sebagai ‘seni mendidik anak’ mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang ‘menempatkan obyek pendidikannya sebagai ‘anak anak’, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekewensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “murid” yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi obyek sutu proses belajar seperti misalnya: guru mengguri, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan terseut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Sebaliknya, andragogy atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’ merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Dibalik pengertian ini Knowles ingin menempatkan ‘murid’ sebagai adalah subyek dari sistim pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “facilitator”, dan bukan mengguri. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat ‘multicommunication’ dan seterusnya. [10]
Sebagai pendekatan andragogy dan pedagogy sering dipergunakan dalam ketiga paradigma magis, naif dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang magic atau naif, tetapi dilakukan dengan cara pendekatan andragogy. Perkawinan antara andragogy dan paradigma magis dan naif sesungguhnya adalah menghubungkan dua hal yang kontradiktif. Pendidikan kritis  mensaratkan penggunaan andragogy sebagai pendekatan ketimbang pedagogy. Secara prinsipil meletakan ‘anak didik’ sebagai ‘obyek’ pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknnya pendidikan liberal yang bersifat naive (blaming the victis) meskipun digunakan pedekatan andragogy, namun yang terjadi pada dasarnya adalah menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan kedalam sistim dan strukktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan karakter dari andragogy.
Sebaliknya banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesunguhnya menyangkut persoalan persolan mendasar tentang sistim dan struktur masyarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih ‘banking concept of education’ bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogy pada dasarnya adalah kontradikif dan anti-pendidikan.
Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistim pendidikan untuk secara kritis mempertanyakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology, gender, lingkungan serta hak hak azazi mansuia dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Kedua pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat tetapi justru melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi. Pendidikan dalam kontek itu tidaklah mentransformasi struktur dan system dominasi, tetapi sekedar menciptakan agar system yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan dan pelatihan.[11] Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala bentuk ‘non positivistic way of knowing’ yang disebut sebagai ilmiah. Pendidikan menjadi a-historis, yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut.  Murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara cara dimana peran, norma, dan nilai nilai serta lembaga yang dapat integrasikan dalam rangka melanggengkan system tersebut. Asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistim yang ada, masalahnya terletak mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi, ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik.
Dari kerangka paradigma dan pendekatan pendidikan diatas, maka diperlukan suatu usaha selalu untuk meletakan pendidikan dan latihan dalam proses transformasi dalam keseluruhan sistim perubahan sosial. Setiap usaha pendidikan dan latihan perlu melakukan trasnformasi hubunan antara fasilitator dan perserta pendidikan. Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan analisis struktural dan menempatkan posisi dimana sesunguhnya lokasi pemihakan usha pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan dan pelatihan sesungguhnya sulit diharapkan menjadi institusi kritis menuju pada perubahan. Usaha pendidikan dan pelatihan juga perlu melakukan identifikasi issue issue strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai gerakan pendidikan. Tanpa pemihakan,visi, analisis dan mandat yang jelas maka proses pendidikan dan pelatihan adalah bagian dari status quo, dan melanggengkan ketidak adilan.
Selain itu, paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan dan pelatihan serta proses belajar mengajar yang diterakan. Pandangan kritis termasuk  melakukan transformasi hubungan guru-murid dalam persepective yang didominasid dan yang mendominasi. Dimana Guru menjadi subyek penddikan dan pelatihan sementara murid menjadi obyeknya. “subjection” yang menjadikan murid menjadi obyek pendidikan dalam perspektive kritis adalah bagian dari problem dehumanisasi.  Dengan kata lain paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga bercita cita mentransformasikan relasi ‘knowledge/power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ didalam diri pendidikan sendiri.
Usaha pendidikan dan pelatihan sesungguhnya secara struktural adalah bagian dari sistim sosial, ekonomi dan politik yang ada. Oleh karena itu banyak orang pesimis untuk berharap mereka sebagai badan independen untuk berdaya kritis. Penganut paham ‘reproduksi’ dalam pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan sulit diharapkan untuk memerankan perubahan, melainkan mereka justru yang mereproduksi sistim yang ada atau hukum yang berlaku. Dalam persektif kritis, terutama aliran produksi dalam pendidikan dan pelatihan, setiap upaya pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk senantiasa mengembalikan fungsinya sebagai proses independen untuk transformasi sosial. Hal ini berarti proses pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap ‘tabu’ untuk mempertanyakan secaa kritis sistim dan struktur yang ada serta hukum yang berlaku. Sebalikya, dalam rangka melakukan pendidikan kritis dalam proses melakukan transformasi sosial yang juga perlu dilakukan adalah mentransformasi dirinya mereka sendiri dahulu, yakni membongkar struktur tidak adil didalam dunia pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu, yakni antara murid dan guru.
Akhirnya, diharapkan buku ini menjadi bahan pertimbangan bagi segenap pemikir, perencana dan praktisi pendidikan untuk memberi makna baru bagi kegiatan pendidikan yang tengah mereka lakukan. Dengan pemahaman dan kesadaran tentang ideologi pendidikan yang dianut, diharapkan setiap usaha pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan oleh praktisi pendidikan ikut memerankan salah satu visi utama pendidikan yakni menjadi bagian dari transformasi sosial  untuk memanusiakan manusia. Transformasi yang dimaksud adalah suatu proses penciptaan hubungan antar manusia yang secara fundamental baru dan lebih baik.  Diharapkan buku ini membantu perenungan yang mendasar dari pembaca tentang hakekat, fungsi dan peran setiap usaha pendidikan dan pelatihan dimasa mendatang
Yogyakarta, Agustus 1997.
DR. Mansour Fakih
DAFTAR BACAAN
Althusser, L. “Ideology and Ideological State Apparatus”. In Althusser, Essay on Ideology. London: Verso, 1984.
Apple, M.W. Ideology and Curriculum. Boston: Routledge & Keagan Paul, 1979.
Apple, M.W. Education and Power. Boston: Routledge & Keagan Paul, 1982.
Arnold, R., et al. Educating for a Change. Toronto: Between the Lines and Doris Marshall Institute for Education and Action, 1991.
Aronowitz, S. & Giroux, H.A. Education Under Siege. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc., 1985.
Bell Brenda (Eds.). We make the Road by Walking: Conversations on Education and Social Change. Philedaphia: Temple University Press.1990.
Coombs, P.H. The World Crisis in Education.  Oxford: Oxford Universiry Press. 1985.
Escobar, A. “Discourse and Power in Development: Michael Foucault and the Relevance in his Work to the Third World. Alternatives, No. X, 1985.
Fagerlind, Ingemar and Lawrence J. Saha. Education and NationalDevelopment Oxford: Pergamon Press. 1983.
Fals Borda, O. Knowledge and People’s Power: Lessons with Peasants in Nicaragua, Mexico and Columbia. New Delhi: Indian Social Institute, 1988.
Fals Borda, O. & Rahman, M.A. Action and Knowledge New York: The Apex Press, 1991.
Fay, B. Social Theory and Political Practice. London: George Allen and Unwin, 1975.
Femia, J. “Hegemony and Consciousness in the Thoughts of Antonio Gramsci”. Political Studies, Vol.23, No., March 1975.
Foucault, M. The Archeology of Knowledge and the Discourse of Language. New York: Pantheon, 1980.
Freire, P. Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
Freire, P. Education for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981.
Freire, P. & Shor, I. A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education South Hadley, MA: Bergin and Garvey, 1986.
Gendzier, I. Managing Political Change: Social Scientists and the Third World. Boulder, CO: Westview Press, 1985.
Giroux, H.A. Ideology, Culture and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University and Falmer Press, 1981.
Gramsci, A. Prison Notebooks. New York: International Publisher, 1971.
Habermas, J. Knowledge and Human interest. (Translated by J. Shapiro) Boston: Beacon Press, 1972.
Hall, B. Participatory Research: Popular Knowledge and Power. Toronto: Participatory Research Group, 1984.
Hope, A. & Timmel, S. Training for Transformation. Vols.1-3. Gweru, Tanzania: Mambo Press, 1988.
Kassam, Y. & Kemal, M. (Eds.) Participatory Research: An Emerging Alternative Methodology in Social Science Research. New Delhi: Society for Participatory Research in Asia, 1982.
McClelland D.C. & Winter, D.G. Motivating Economic Achievement. New York: The Free Press, 1969.
Mueller, A. Peasants and Professionals: The Production of Knowledge in the Third World. A paper presented to the Meeting of the Association for Women in Development, Washington D.C. April, 1987.
O’neal. William. Eduactional Ideologies. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company,Inc. 1981.
Park, P. “From Universalism to Indigenization: Toward an Emancipatory Sociology.” Paper presented at the 10th World Congress of Sociology, Mexico City, 1982.
Postman,N. dan Weingatner, C. Teaching as a Subversive Activity. New York: Dell Publishing Co. 1969.
Rostow, W.W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. New York: Cambridge University Press, 1960.
Sachs, W. (Ed.). The Development Dictionary, A Guide to Knowledge as Power, London: Zed Books: 1992.
Smith, W.A. The Meaning of Conscientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy. Amherst: Center for International Education, 1981.
Schroyer, T. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical Theory. Boston: Beacon Press, 1973.
Srinivasan, L. Perspective on Nonformal Adult Learning. New York: World Education. 1977.
Tandon, R. & Fernandez, W. Participatory Research and Evaluation: Experiments in Research as a Process of Liberation. New Delhi: Indian Social Institute, 1982.
Weber, M. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism

[1] Lihat: Paulo Freire. Pedagogy of the Oppressed. 1973. Praeger, 1986. Juga buku Freire yang lain Education for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981.  Freire, P. & Shor, I. A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education South Hadley, MA: Bergin and Garvey, 1986.  Lihat juga Ivan Illich. Deschooling Society
 [2] Lihat:  Oepen, M. & Karcher, WThe Impact of Pesantren and Educational and Community Development in Indonesia. Jakarta: P3M, 1986.
[3]  Asumsi ini dipengaruhi oleh buku Max Weber: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: 1930.  McClelland perpendapat bahwa jika Protestant Ethic mendorong pertumbuhan ekonomi Barat, analog gejala yang sama harus dicari dinegara miskin rangka pertumbuhan ekonomi. Menurut McClelland dibalik rahasia Etika Protestan adalah suatu  mentalitas yang disebut the need for achievement (N Ach). Lihat: McClelland “The Achievement Motive in Economic Growth” in M.Seligson (ed.). The Gap between Rich and Poor Boulder: Westpoint. 1984.
[4] Teori Kritik (Critical theory) adalah aliran yang diassosiasikan dengan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) yang mulai di Jerman tahun 1923. (Bottomore, 1984; Held, 1980, Fay,1975).
[5]  Giroux, H.A. Ideology, Culture and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University and Falmer Press, 1981.
[6]  Lihat, Paulo FreirePedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
[7] Smith, W.A The meaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976.
[8] Pemikiran yang bisa dikatagorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi yang menjadi aliran yang dominan dalam ilmu ilmu sosial juga mempengaruhi pendidikan dan training.
[9] Lihat: Knowles, Malcolm. The Modern Practice of Adult Education. 1970.
[10] Secara lebih rinci lihat. US Departement of Health, Education and Welfare. A Trainers Guide to Andragogy. Revised edition, Washinton D.C. 1973.
[11] Lihat: Schroyer, T. The Critique of Domination: The Origins and Development of Critical Theory. Boston: Beacon Press, 1973.

No comments:

Post a Comment