Wednesday, February 27, 2013

PERUBAHAN DEMOKRASI SUATU MASYARAKAT


Dari masa kemasa kehidupan masyarakat pasti akan mengalami perubahan baik itu proses perubahannya secara cepat ataupun secara lambat, direncanakan atau tidak. Perubahan sosial pada intinya adalah faktor dinamika manusianya yang kreatif yang anggota masyarakatnya bersikap terbuka, secara kreatif menciptakan kondisi perubahan terutama dalam bidang ekonomi dan pol hidup sehari-hari didalam proses perubahan terkadang diselingi konflik, konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat. Kemudian didalam era modern, syarat umum modernisasi dalam kehidupan masyarakat meliputi : cara berfifkir yang ilmiah, sistem analisa data atau fakta yang metodik, sistem administrasi yang efisien, ada iklim yang mendukung perubahan baru, disiplin yang tinggi pada waktu dan aturan main, inovasi dan modifikasi dalam segala bidang.
· Perubahan masyarakat Islam Indonesia yang positif
- Ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat semakin mendukung perkembangan dunia Islam. Masyarakat Islam tidak hanya mengetahui ilmu agam tetapi juga mengetahui ilmu umum
- Dengan adanya modernisasi umat Islam mampu mengaplikasikan ajaran Islam dala konsep ilmu umum.
- Dengan adanya teknologi sebagai salah satu produk modernisasi, masyarakat islam Indonesia bisa dengan mudah memperluas dakwahnya lewat media dan juga memperluas jaringannya.
· Perubahan masyarakat Islam Indonesia yang negatif
- Moralitas semakin menurun
- Ketergantungan terhadap teknologi
- Lebih mengutamakan duniawi dari pda ukhrowi
- Hubungan silaturrahni secar face to face manurun

Tuesday, February 26, 2013

Peran Agama di dalam Kehidupan Masyarakat Islam


Peran Agama di dalam Kehidupan Masyarakat Islam
Agama, terlahir awalnya adalah berasal dari keyakinan terhadap adanya yang ghaib, yang mempunyai kekuatan supranatural. Kata agama, berasal dari bahasa sansekerta ”a” yang berarti ”tidak” dan ”gama” yang berarti ”kacau”. Dari dua kata tersebu diartikan bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Fungsi agama adalah sebagai landasan dimana individu itu bertindak atau melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Selain daripada fungsi agama sebagai landasan dalam tindakan individu agama juga sebagai pengendali di dalam langkah kehidupan masyarakat, selain itu agama sebagai pemersatu umat manusia karena adanya persamaan keyakinan.

TIPE-TIPE MASYARAKAT YANG BERFIKIR TRADISIONAL


Definisi masyarakat itu sendiri adalah uraian ringkas untuk memberikan batasan-batasan mengenai sesuatu persoalan atau pengertian ditinjau daripada analisis. Di sini akan kita kemukakan beberapa definisi menenai masyarakat seperti misalnya:

MODERNISASI DIMATA MASYARAKAT


Modernisasi, definisi modernisasi secara bahasa di dalam Kamus Ilmiah Populer, modernisasi berarti gerakan untuk merombak cara kehidupan lama menuju bentuk/model kehidupan baru, penerapan model-model baru, pemodernan. Kemudian ada beberapa tokoh yang juga mengungkapkan definisi tentang modernisasi diantaranya adalah Eisenstadt dan Everett Rogers.

DAMPAK DAN PENGARUH MODERNISASI DAN GLOBALISASI TERHADAP BUDAYA SOSIAL

Dampak Modernisasi dan Globalisasi terhadap Perubahan Sosial dan Budaya
1. Dampak Positif
Dampak positif modernisasi dan globalisasi tersebut sebagai berikut.
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.

ERA GLOBALISASI MENYEBABKAN RASISME MUNCUL DALAM MASYARAKAT

Di era modernisasi dan globalisasi bangsa-bangsa di dunia tidak dapat menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Pergaulan itu membawa pengaruh bagi bangsa yang berinteraksi.
1. Pengertian Modernisasi
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut.

KEMAJUAN TEKNOLOGI MENYEBABKAN PENGARUH SIFAT INDIVUDUALISME MUNCUL

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan munculnya perubahan dalam masyarakat. Semakin maju perkembangan dalam masyarakat maka semakin banyak pula keperluan yang harus dipenuhi.
Masyarakat modern dalam lingkungan kebudayan ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi untuk menghadapi keadaan sekitarnya.

LIBERALISME SUDAH MENGAKAR KE MASYARAKAT


Menurut Hamid, Indonesia merupakan negara yang terbilang berhasil terserang penyakit Liberalisme agama dibanding negeri-negeri muslim di belahan bumi lainnya seperti di Timur Tengah ataupun di Afrika. Hal itu terjadi karena adanya peran media dalam penyebarannya. Belum lama ini, Hamid juga mendengar, di IAIN Jember, ada seorang dosen “gila” yang melempar Al Qur’an ke lantai. Dalam pemikiran dosen laknatullah itu, Al-Qur’an itu bukan kita suci. Yang mengkhawatirkan lagi, saat ini sudah ada perguruan tinggi yang membuka program S3 bidang Pluralisme Agama.Menurut Hamid, Indonesia merupakan negara yang terbilang berhasil terserang penyakit Liberalisme agama dibanding negeri-negeri muslim di belahan bumi lainnya seperti di Timur Tengah ataupun di Afrika. Hal itu terjadi karena adanya peran media dalam penyebarannya. Belum lama ini, Hamid juga mendengar, di IAIN Jember, ada seorang dosen “gila” yang melempar Al Qur’an ke lantai. Dalam pemikiran dosen laknatullah itu, Al-Qur’an itu bukan kita suci. Yang mengkhawatirkan lagi, saat ini sudah ada perguruan tinggi yang membuka program S3 bidang Pluralisme Agama.
Seperti diketahui, arus liberalisme juga dibawa oleh para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi untuk kemudian disebarkan hingga ke pedesaan. Mereka merasa dengan wacana liberalisme akan dilihat sebagai orang terpelajar di kampungnya Maka adalah wajar jika nilai-nilai tradisional Islam sudah kian luntur di pedesaan saat ini.“Orang desa sekarang ini sudah mulai mengalami urbanisasi dan westernisasi,” kata Alumnus IIUM Malaysia ini.Seperti diketahui, arus liberalisme juga dibawa oleh para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi untuk kemudian disebarkan hingga ke pedesaan. Mereka merasa dengan wacana liberalisme akan dilihat sebagai orang terpelajar di kampungnya Maka adalah wajar jika nilai-nilai tradisional Islam sudah kian luntur di pedesaan saat ini.“Orang desa sekarang ini sudah mulai mengalami urbanisasi dan westernisasi,” kata Alumnus IIUM Malaysia ini.
Untuk membendung arus liberalisme pedesaan, Hamid yang baru saja diamanahkan menjadi ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia(MIUMI), menyarankan, agar menciptakan komunitas di kota-kota besar. Komunitas itu menciptakan komunitas lagi dibawahnya. Nah mereka-mereka itulah yang akan menjelaskan tentang bahaya faham liberal kepada masyarakat. Tentu, hal yang sangat memperihatinkan, jika masyarakat mengira bahwa apa yang dikatakan oleh si tokoh tentang pluralism itu adalah sesuatu hal yang benar.Untuk membendung arus liberalisme pedesaan, Hamid yang baru saja diamanahkan menjadi ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia(MIUMI), menyarankan, agar menciptakan komunitas di kota-kota besar. Komunitas itu menciptakan komunitas lagi dibawahnya. Nah mereka-mereka itulah yang akan menjelaskan tentang bahaya faham liberal kepada masyarakat. Tentu, hal yang sangat memperihatinkan, jika masyarakat mengira bahwa apa yang dikatakan oleh si tokoh tentang pluralism itu adalah sesuatu hal yang benar.
Dalam menghadapi pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism), kata Hamid, hendaknya mendatangi mereka, ajak diskusi, sampai dia menyerah. “Sejujurnya, kita kerap memikirkan pemikiran orang lain, sementara orang lain tidak ada yang memikirkan kita,” ujarnya guyon.Dalam menghadapi pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism), kata Hamid, hendaknya mendatangi mereka, ajak diskusi, sampai dia menyerah. “Sejujurnya, kita kerap memikirkan pemikiran orang lain, sementara orang lain tidak ada yang memikirkan kita,” ujarnya guyon.
Sementara itu Direktur Eksekutif  INSISTS, Adnin Armas mengatakan penyebaran kebaikan dengan ilmu harus dilakukan di Indonesia. Usia INSISTS memang masih sangat muda, baru sembilan tahun. Tapi ini adalah usia permulaan untuk kerja besar yang akan terus dilaksanakan dan coba diemban oleh INSISTS, berusaha menghidupkan tradisi Ilmu bagi Indonesia. Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini.Sementara itu Direktur Eksekutif  INSISTS, Adnin Armas mengatakan penyebaran kebaikan dengan ilmu harus dilakukan di Indonesia. Usia INSISTS memang masih sangat muda, baru sembilan tahun. Tapi ini adalah usia permulaan untuk kerja besar yang akan terus dilaksanakan dan coba diemban oleh INSISTS, berusaha menghidupkan tradisi Ilmu bagi Indonesia. Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini.
Dewan Pembina dan Pendiri INSISTS, Adian Husaini mengatakan tidak menyangka INSISTS bisa berkembang dalam pemikiran Islam dan telah mengadakan workshop yang diikuti pimpinan pondok pesantren dan kampus. “Pemikiran Islam saat ini bertarung dengan pemikiran liberal. Karena itu, INSISTS berfokus pada pemikiran dan kajian yang mendalam tentang peradaban Islam," tuturnya. DesastianDewan Pembina dan Pendiri INSISTS, Adian Husaini mengatakan tidak menyangka INSISTS bisa berkembang dalam pemikiran Islam dan telah mengadakan workshop yang diikuti pimpinan pondok pesantren dan kampus. “Pemikiran Islam saat ini bertarung dengan pemikiran liberal. Karena itu, INSISTS berfokus pada pemikiran dan kajian yang mendalam tentang peradaban Islam

FENOMENA PERBEDAAN SOSIAL CENDERUNG DAMPAK NEGATIF


Realitas social merupakan realitas yang konpleks, oleh karenanya kemudian manusia menjadi beragam dalam menggambarkan dan menginterpretasikannya. Konpleksitas realitas social ini paling tidak dapat kita buktikan dengan banyaknya institusi, system, organisasi maupun norma social yang dapat kita saksikan ditengah kehidupan kita. Dalam perspektif fenomenologis misalnya mengatakan bahwa konpleksitas itu berlaku karena secara individual manusia selalu berusaha memaknai realitas yang dihadapi. Setiap manusia memaknai realitas sekitarnya menurut kualitas individual yang dimilikinya. Perbedaan individual (individual deferences) merupakan sebuah kenyataan histories yang melekat dalam diri manusia. Bahwa realitas social merupakan kumpulan individu-individu yang syarat perbedaan.
Dengan demikian, konpliksitas realitas social sesungguhnya konsekwensi logis dari konpleksitas individual. Konpleksitas individual yang berimplikasi pada konpleksitas social tersebut ternyata berpengaruh besar terhadap liku-liku tradisi ilmiah yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh masa lalu, mulai dari tradisi filsafat sampai dengan tradisi ilmiah-positiv (modern) sekarang ini, bahkan post modernisme sekalipun. Perbedaan bahkan pertentangan yang terjadi antara Aristoteles dan gurunya Plato, polemic rasionalisme, empirisme, idealisme, realisme, pragmatisme dan lain-lain menegaskan betapa tradisi pengetahuan dibangun diatas tradisi dialektika. Hegel mengatakan bahwa selalu saja tesis itu disusul dengan munculnya antitesis yang mengharuskan adanya sintesis, demikianlah kira-kira gambaran dialektika yang dimaksud. Dari tradisi dealektika filosofis diataslah macam-macam paradigma dan perspektif dalam ilmu sosial dibangun. Dalam wacana sosiologi, Zainuddin Maliki dalam buku “Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik” mengemukakan bahwa paradigma teori social dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial. Pada masing-masing paradigma terdapat beberapa persepktif (teori) diatantaranya:
A.    Paradigma Fakta Sosial (August Comte, Herbert Spencer)
B.     Perspektif Strukturalisme (Herbert Spencer) Herbert Spencer pondasi strukturalnya dengan memandang bahwa sebuah struktur masyarakat harus melihat individu-individu yang ada di dalamnya sebagai sebuah organiseme. Hal ini berbeda dengan pandangan pendahulunya
C.     Auguste Comte yang sangat anti-individual. Memang ia bukanlah seorang yang ingin menjelaskan masyarakat—tentang apa yang dibutuhkan mereka dan apa yang harus mereka lakukan untuk memenuhinya—namun ia memberikan pandangan-pandangannya dan memfokuskannya kepada masalah objektif yang dihadapi oleh masyarakat. Seperti masalah agama masyarakat (yang juga menjadi masalah pelik bagi individu dalam cosmos social); yang semula masyarakat pada masanya menggunakan pandangan Teologis untuk melihat gejala-gejala social yang ada disekitar mereka, ia ganti dengan pandangan alami, ilmiyah dan positifistik untuk melihat gejala-gejala social itu, itulah salah satu dari sekian banyak usaha intelektual yang ia lakukan, untuk merubah struktur sosial. Pada dasarnya ia banyak dipengaruhi oleh pandangan Naturalisme Darwin, terutama masalah seleksi alam yang menjadi salah satu saduran dalam karya Darwin The Origin Of Species, On The Natural Selection. Oleh karena itulah ia menganggap bahwa kehiduapan bermasyarakat merupakan hubungan organisme biologis—atas landansan pandangan seperti itulah kemudian Spencer kemudian tidak memperhatikan ranah mental masyarakat. Sebagai organisme masyarakat tumbuh layaknya organisme secara umum yang melewati empat tahap; Tahap Pertambahan, Tahap Komplesifikasi, Tahap Deferensiasi dan Tahap Integrasi.
D.    Pertama Tahap Pertambahan, tidak seperti organisme yang mati, masyarakat sebagai organsime hidup pasti akan mengalami pertambahan atau penggandaan yang dimiliki oleh organisme-organisme dalam kelompok-kelompok social. Organisme kecil akan berevolusi menjadi organisme besar, suku bangsa akan menjadi bangsa, desa akan menjadi kota dan kelompok kecil akan menjadi kelompok besar.
E.     Kedua Tahap Kompleksifikasi, setelah terjadinya proses penggandaan atau pertambahan dalam organisme hal selanjutnya yang akan terjadi adalah berubahnya organisme tersebut menjadi lebih kompleks secara simultan.
F.      Dari tahap inilah kemudian evolusi memasuki tahap ketiga yaitu Tahap Deferensiasi, dimana secara alami masing-masing organiseme akan menonjolkan perbedaan struktur maupun fungsinya, seiring dengan perkemabangan organisme tersebut. Dalam masyarakat akan terlihat gejala (stratifikasi)—atau terbaginya masyarakat kedalam kelas-kelas social.
G.    Tahap terakhir Tahap Integrasi, yang merupakan titik tertinggi dari evolusi masyarakat sebagai organsime, dimana masing-masing organisme berdiri sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan fungsi dan perbedaan status social yang terjadinya hal itu tidak bisa terelakkan dalam masyarakat.
H.     Perspektif Fungsionalisme (Talcott Parsons, William James) Struktural Fungsional adalah sebuah paradigma yang bisa dikatakan seumur dengan renaissance, atau bisa juga dikatakan sebagai salah satu warna penghias ruang dan utilitas renaissance. Paradigma ini muncul sebagai “adik kecil” renaissance yang nantinya akan membesarkan nama harum renaissance sebagai “kakak” yang baik dalam mendidik adiknya. Dari analogi tadi kita mampu melihat dengan jelas betapa dekat dan kuatnya hubungan yang terjalin antara renaissance dengan teori fungsional itu. Tidak hanya hubungan yang kita lihat namun juga sumbangan teori itu kepada renaissance yang demikian terasa sampai abad ini di seluruh belahan dunia terutama barat yang merupakan Ibu kandung mereka. Teori ini memandang bahwa masyarakat harus bertindak sesuai dengan fakta social yang dialaminya bukan malah menjauhi dan ingin kembali kemasa awal sejarah dibangun. Namun mereka tidak akan mampu menghadapi fakta itu dengan sehat dan menguntungkan tanpa adanya media yang bisa dipergunakan untuk mensikapinya. Salah satu tawaran Fungsioonalisme untuk melihat atau menghadapi fakta social adalah Positivistik. Dimana setiap organ social memiliki peran-peran tertentu dalam tataran positif tentunya. Tegasnya struktural fungsional adalah penghargaan kepada setiap keberadaan dan fungsi organisme dalam sturktur social untuk melakukan peranannya masing-masing demi keberlangsungan kehidupan social. Pandangan ini menekankan pada keteraturan masing organisme atau kelompok social dalam setiap interaksi yang terjadi diantara mereka. Perspektif Struktural-konflik (Karl Marx) Hampir semua pandangan dalam alat manalisis social (matter of social analysis) terilhami dari teori Evolusi Darwin. Terutama—dalam konteks social—perubahan, pertahanan diri maupun kelompok, yang banyak mendapat wahyu dari seleksi alam yang menjadi pemacu evolusi dalam pandangan Darwin. Inilah pandangan yang terakhir dalam paradigma fakta Sosial. Kalau ternyata kemudian dalam pandangan Fungsional lebih menekankan pada keteraturan fungsi dalam kaitannya dengan fungsi yang lain maka dalam pandangan Struktural konflik ini lebih memperhatikan ketegangan, komplik dan ketidak teraturan dalam fakta social sebagai bahan kajiannya. Kami pikir adanya perspektif ini lebih sebagai antitesis dari structural fungsional, pandangan ini mengatakan bahwa pandangan pendahulunya terlalu berbaik sangka (Positive Thinking) terhadap Fakta social, yang menurutnya merupakan keteraturan-ketaraturan dalam social, namun mereka tidak melihat bahwa dibalik keteraturan itu terdapat berbagai chaos yang melatari, itulah kemungkinan yang sekaligus diyakini sebagai elemen yang paling penting dalam fakta social untuk diperhatikan, itulah statemen yang terdapat dalam pandangan sturktur komplik ini. Pandangan ini mengatakan bahwa keberadaan komplik dalam masyarakat atau social merupakan sebuah anak tangga menuju kemajuan dan keperkembangan. Itulah sebabnya komplik adalah bagian terpenting bahkan arti lain social yang tidak bisa sangkal akan betapa perlu keberadaanya dalam masyarakat sosial. Akhir dari paradigma ini menemukan muaranya dalam pemikiran seorang Karl Marx yang mencetuskan teori ekonomi-sosialis. Ia menganalogikan social sebagai sebuah sekolah atau bangunan yang didalamnya terdapat kelas-kelas dan persaingan yang ketat antara kelas yang satu dengan yang lain, bahkan terdapat kwalisi-kwalisi di dalamnya untuk saling menguasai demi kepentingan ekonomi. Konflik-konflik itu dalam istilah yang lebih halus adalah Dealektika, namun ia tidak selembut yang kita lihat ketika ia berada atau diaplikasikan dalam konteks social (Social Current), yang terjadi bukan persaingan manusia yang hanya dengan tujuan perut, malah lebih dari itu; mirip seperti binatang yang memiliki kecerdasan dan keteraturan dalam persaingan yang mereka lakukan B. Paradigma Definisi Sosial (Keikigard, Husserl, Jean Paul Sartre) Perspektif Fenomenologis Sosial dalam segala bentuknya adalah hal yang penuh makna yang masing-masing bentuk social memilikinya. Dari banyak tokoh kita telah mengetahui di atas dengan definisi social mereka yang berbeda-beda. Yang kesemua pandangan itu merupakan kualitas-kualitas parsial yang kalau dibenturkan antara satu dengan yang lainnya pasti akan terjadi ketimpang tindihan yang tidak menentu. Oleh karena itulah Fenomenologi terlahir sebagai penyempurna semua perspektif dalam fakta social kemudian bisa kami katakan sebagai definisi-definisi social yang dilihat masing-masing dari fakta yang terdapat dipermukaan social (social current) yang masih bersifat sangat parsial. Fenomenologi memandang social telah terpisah dari actor-aktornya atau pelaku social di dalamnya. Oleh karena keterpisahan itulah maka social harus dilihat bukan dari Struktur, fungsi dan Konflik yang ada dipermukaan social itu, namun ia juga harus dilihat dari spirit yang melatari terjadinya hal itu atau melihat fenomena social bukan dari sisi empirisnya, namun emosi-emosi yang melatarinya. Lagi sekali perlu kami tegaskan bahwa dalam perspektif ini yang ditekankan adalah ontology dari social itu sendiri dan bukan empirisnya. Fenomenologi melihat kontruksi social itu sebagai bangunan ontology yang berarti fakta dan esensi fakta tersebut belum tentu sama, sama halnya dengan permainan politik atau catur sekalipun. Di dalam kedua permainan itu—dalam konteks social—actor bisa saja berada dalam posisi social yang tidak sesuai dengan perannya, tidak seperti sinetron. Perspektif Interaksionisme Simbolik Kami menemukan makna interaksi simbolik ini di dalam sebuah buku yang berjudul Manusia Satu Dimensi. Di dalam buku tersebut, kelompok-kelompok social dalam melakukan interksi dengan kelompok-kelompok social lainnya mengunakan Simbol dalam berinteraksi. Symbol-simbol itulah kemudian yang menyatukan manusia dalam satu paradigma social yang sama. Dengan demikian semua manusia yang masuk kedalam symbol itu kemudian seolah menjelma menjadi satu dimensi yang sama, hubungan, kepentingan, dan dasar pikiran yang sama serta dengan tujuan yang sama pula. Dalam buku itu dipaparkan contoh symbol-simbol yang sekarang menyatukan manusia dalam satu dimensi. Yang paling jelas kami lihat dalam penjelasan itu adalah symbol-simbol ekonomi. Setelah kami membaca sebagian pembahasan dalam buku itu; ternyata metodologi yang digunakan penulis sebagai alat analisa adalah fenomenologi. Tapi kami menyipulkan bahwa pe-symbolan tersebut tidak hanya terjadi secara universal namun terjadi didalam setiap aktifitas kita sebagai individu-individu. Agensi dan Strukturasi (Antonio Giddens) Karena penulis tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang Agensi dan Strukturasi dan Agensi, maka untuk menemukan makna tersebut penulis menggunakan analisa semiotika pada dua istilah tersebut. Pertama Agensi adalah kata yang menunjukkan penyipatan kata benda yaitu agen. Agen adalah person yang berperan sebagai penjelas, penyuampai, pengarah dan mungkin juga penghukum. Selanjutnya; strukturasi juga merupakan peralihan kata benda menjadi kata sifat. Yang mewakili sebuah tatanan atau tingkatan-tingkatan tertentu. Jadi dapat penulis katakana dari analisa pendek di atas bahwa Agensi adalah penempatan person-person dalam tugas atau wewenang tertentu dalam ranah social. Karena agen tersebut tidak mungkin duduk dalam struktur yang tidak pasti maka dalam setiap struktur social pasti tedapat agen (Messenger) untuk mengendalikan, mengontrol setiap struktur yang ia berada di dalamnya. Perspektif Konstruksionisme (Max Weber) Weber melihat bahwa di dalam masyarakat itu terdapat sebuah peraturan yang menjadikan masyarakat tersebut menjadi lebih sadar akan apa yang terjadi padanya dan apa yang akan dilakukannya. Pandangan “keteraturan” inilah yang kemudian oleh Weber ditelorkan menjadi sebuah kontruksi yang memiliki satu titik pusat control yang seharusnya kuat. Dari pandangan seperti itulah kemudian muncul teori Kapitalisme dalam social yang orientasi dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Teori kapital ini adalah kelanjutan dari Kapital yang diserukan oleh Marx, namun ada sedikit pembeda di antara keduanya, dimana Marx memandang capital sebagai sesuatu yang hanya terjadi di atas atau permukaan social namun Waber memilihat bahwa Ia tidak sesederhana itu—kapitalisme dalam pandangannya lebih kepada sikap atau moral yang darinya muncul kepermukaan menjadi sebuah aktifitas social yang dilatari oleh kepentingan ekonomi. C. Paradigma Perilaku Sosial (Ivan Pavlov, B.F Skinner, Watson) a. Perspektif Pertukaran Sosial Istilah pertukaran social sepertinya senada dengan Istilah pertukaran pelajar dalam konteks pendidikan. Dimana terjadi proses saling melengkapi “nilai” oleh kelompok social kepada kelompok social lainnya. Nilai—adalah hal yang sangat luas, kalau dibagi menurut pandangan akademis Nilai bisa dilihat dalam dua bentuk yang pertama Nilai dalam bentuk Kuantitas dan Nilai yang berbentuk Kualitas. Adapun nilai yang berbentuk kuantitas dapat dikenali dengan segala sesuatu yang dapat dikalkulasikan secara nomerik dan matematis dan nilai yang berbentuk kualitas merupakan kebalikan darinya.

MACAM-MACAM PARADIGMA DALAM PENELITIAN


a. Paradigma Penelitian Kuantitatif
Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian yangmenggunakan paradigma kuantitatif. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), positivis (positivist), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist).

Relevansi kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme


Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme.
* Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.[7]
* Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.[8]

Pemikiran Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik


Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. [5]. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. [5] Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. [5] Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. [5] Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. [5] Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.[5]
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. [6] Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. [6] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. [6] Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. [6] Namun, manusia ingin hidup damai. [6] Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). [6] Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. [6] Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. [6] Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. [6] Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. [6] Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. [6]
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.

DUA MACAM LIBERALISME NASIONAL


Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. [2] Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. [2] Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. [2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. [2] Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. [2] Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. [2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.[2]
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. [2] Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). [2] Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. [2] Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.[4]

POKOK-POKOK LIBERALISME SECARA IDIOLOGI KEHIDUPAN


Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).[2] Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
  • Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. [2] Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.[2]
  • Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2]
  • Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)[2]
  • Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.[2]
  • Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)[2]
  • Negara hanyalah alat (The State is Instrument). [2] Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. [2] Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.[2]
  • Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).[2] Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.[2]

ARTI LIBERALISME DAN MAKNANYA


Liberalisme sosial atau liberalisme baru (neoliberalisme) / Liberalisme modern mulai terlihat berdiri di kalangan masyarakat negara-negara maju pada akhir abad ke-19.

Liberalisme sosial atau liberalisme dipengaruhi oleh utilitarianisme yang didirikan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Ada anggota-anggota liberal yang menerima, beberapa atau semuanya, teori penyalahgunaan sosialis dan Marxis dan ulasan-ulasan terhadap "tujuan keuntungan" dan menyimpulkan bahwa pemerintah seharusnya menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan masalah itu.

Menurut paham ini, semua individu harus diberi layanan dasar yang memuaskan seperti pelajaran, kesempatan ekonomis dan perlindungan dari kejadian makro yang tidak ditentukan oleh mereka, seperti yang ditulis oleh John Dewey dan Mortimer Adler pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Kepada liberalisme sosial, fasilitas-fasilitas ini dianggap sebagai hak. yaitu hak-hak positif yang berbeda secara kualitatif dari apa yang dibahas dari segi klasik, yaitu hak-hak negatif yang hanya menuntut seseorang dari melanggar hak-hak orang lain. Menurut penganut paham liberalisme sosial, hak-hak positif ini perlu dibuat dan disediakan kepada orang banyak. Menurut mereka lagi, pastian hak-hak positif adalah tujuan yang berkelanjutan yang pada dasarnya melindungi kebebasan.

Sekolah, perpustakaan, museum dan galeri seni harus dibiayai dengan hasil pajak. Pemikir-pemikir liberalisme sosial mendukung beberapa pembatasan atas pesaing ekonomis seperti hukum "anti-trust" dan kontrol harga dan gaji. Pemerintah juga dianggap akan memberi kebajikan dasar yang dibiayai dengan hasil pajak yang bertujuan untuk memungkinkan penggunaan karyawan-karyawan yang terbaik di dalam masyarakat untuk mencegah revolusi atau hanya untuk kebaikan universal.

Liberalisme sosial merupakan paham yang memiliki keyakinan bahwa liberalisme harus mencakup keadilan sosial yang merata. Liberalisme sosial ini berbeda dari liberalisme klasik dalam hal ini percaya peran negara dalam menangani masalah ekonomi dan sosial seperti pengangguran, perawatan kesehatan, dan pendidikan sekaligus memperluas hak-hak sipil.

Liberalisme sosial mendukung kapitalisme tetapi menekankan kebutuhan modal sosial sebagai prasyarat untuk kedua paham yakni kapitalisme dan demokrasi liberal dan menolak paham laissez-faire karena gagal mengenali pentingnya modal sosial. liberalisme Sosial memandang demokrasi liberal sebagai yang terbaik ketika individualisme dalam masyarakat dan dalam kapitalisme dimoderatori oleh semangat publik dan kesiapan untuk menegakkan sesuatu di bidang sosial. kebijakan liberal sosial telah diadopsi secara luas di banyak negara kapitalis, terutama setelah Perang Dunia II.. ide-ide liberal Sosial dan pihak cenderung dianggap moderat atau kiri-tengah

Reaksi terhadap liberalisme sosial di akhir abad kedua puluh, sering disebut neoliberalisme, menyebabkan kebijakan ekonomi monetaris dan pengurangan dalam peran pemerintah. Namun, reaksi ini tidak menimbulkan kembali ke liberalisme klasik, karena pemerintah terus memberikan pelayanan sosial dan mempertahankan kontrol atas kebijakan ekonomi.

"liberalisme sosial" merupakan istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan "liberalisme modern". Internasional Liberal adalah organisasi internasional utama dari partai-partai liberal, yang meliputi, antara varian liberal lain, partai-partai liberal sosial.

Liberalisme sosial menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut: hak asasi manusia, pemilihan umum yang bebas dan adil dan demokrasi multipartai, keadilan sosial, toleransi, ekonomi pasar sosial, perdagangan bebas, kelestarian lingkungan dan rasa yang kuat terhadap solidaritas internasional.


Tuesday, February 19, 2013

RASISME DALAM DUNIA SEPAK BOLA

Sindonews.com - Direktur teknis Serbia Savo Milosevic telah menyerukan negaranya untuk mengikuti contoh yang dilakukan Inggris dalam upaya mereka mengusir perilaku rasisme. Hal tersebut ia ungkapkan setelah terjadi insiden rasial yang dilaporkan pemain Inggris saat kontra Serbia di babak play-off Euro U-21 2013

Tindakan yang diduga bermula dari nyanyian bernada rasial yang dilakukan para fans Serbia, saat pemain dari kedua tim terlibat keributan dan berkelahi di dalam lapangan seusai pertandingan. Hal tersebut menjadi perhatian serius Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang dianggap telah mencoreng sisi sportivitas dalam sepakbola.

Milosevic setuju apabila otoritas terkait perlu menghilangkan perilaku tersebut dalam pertandingan sepakbola dan ia merasa Serbia untuk perlu mencari solusi dengan mengikuti apa yang telah Inggris lakukan.

"Untuk menuntaskan masalah rasisme dalam sepakbola, saya akan melakukan apa yang Inggris lakukan bersama hooligans (pendukung Inggris) bertahun-tahun silam," ungkapnya kepada CNN seperti dilansir Soccerway, Kamis (18/10/2012).

Milosevic juga mengungkapkan permintaan maaf kepada pelatih Inggris Pearce dan para pemain Inggris untuk menghilangkan ketegangan di antara kedua belah pihak. "Saya pergi ke ruang ganti Inggris dan saya meminta maaf atas apa yang telah terjadi," tandasnya.

(akr)

CONTOH RASISME YANG ADA DALAM KEHIDUPAN KITA


Perlakuan bernada ejekan rasis adalah suatu hal yang sangat dibenci dalam kehidupan manusia yang beradab, sehingga selalu mendapat penolakan dari setiap ajaran agama maupun teori ilmu sosial.
Menurut Wikipedia rasisme memiliki arti suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sedangkan menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.
Salahsatu contoh paling nyata dari tindakan rasis adalah politik apartheid di Afrika Selatan, yaitu kebijakan yang menyangkut pelayanan penduduk dengan mengutamakan golongan kulit putih dan menindas golongan kulit hitam.
Meski kebijakan politik apartheid tersebut telah musnah di Afrika Selatan beberapa tahun lalu, seiring dengan perkembangan menuju kehidupan yang senantiasa berlandaskan Hak Asasi Manusia di Negara paling ujung selatan benua Afrika itu, namun tidak di dunia sepakbola. Rasis masih merupakan virus yang susah diberantas. FIFA sampai mengkampanyekan slogan “Say No To Racism” disetiap awal pertandingan turnamen internasional maupun eksibisi.
Contoh paling anyar adalah kasus yang menimpa Luis Suarez dan Patrice Evra, terlepas dari unsur ketegangan yang melanda pertandingan besar antara Liverpool dan Manchester United, serta provokasi dari pihak-pihak lainnya. Sikap Luis Suarez yang mengatakan sesuatu hal yang berbau rasis tentu merupakan hal yang sangat disayangkan, terlebih bagi pemain kelas dunia seperti Suarez. Mundur beberapa tahun sebelumnya, kita mengenal nama Sinisa Mihajlovic sebagai pemain sepakbola yang sering mendapat sanksi akibat tindakan rasisnya, terlebih lagi Miha bermain di Lazio yang suporter ultrasnya terkenal paling rasis di Italia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? apakah rasis itu ada dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa kita sadari, masih ada sebagian masyarakat di Negara kita yang berperilaku rasis, meskipun tindakan rasis yang ditujukan bukan pada warna kulitnya, namun lebih kepada penghinaan terhadap daerah asal, silsilah, nama maupun status sosial.
Contoh paling sahih adalah kata “kampungan” yang sering kita dengar di sinetron televisi. Kata kampungan disini berarti penghinaan terhadap orang desa, dan dianggap tidak memiliki norma kehidupan standar perkotaan. Sebagai orang yang lahir, tumbuh, besar, dan mencari penghidupan di desa tentu saya sangat miris dan tersayat hatinya bila mendengar kata tersebut disebutkan dalam adegan sinetron. Walaupun itu hanya adegan dalam sebuah sinetron tapi pengaruh kata “kampungan” yang ditimbulkan televisi sangat luas dan bisa mempengaruhi perkembangan anak khususnya anak di pedesaan. Mereka akan berada dalam situasi minder dan tidak memiliki kepercayaan diri sehingga ‘nrimo’ saja dengan keadaan dan cap kampungan yang sudah terlanjur melekat seperti dalam adegan sinetron. Pengaruh buruk juga bisa terjadi untuk anak di perkotaan, bagaimana mereka tidak akan memiliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya karena beranggapan lebih superior dibandingkan dengan anak di pedesaan. Tentu akan seperti apa generasi mereka ketika telah dewasa.
Negara kita diproklamirkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan orang kampung atau kota. Pada masa itu semangat kebangsaan dan rasa ingin merdeka dari penjajahan begitu kuat tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Tapi perlahan tapi pasti, Negara kita telah berada dalam titik jurang kematian budayanya, bagaimana pada akhirnya kita menerima segala sesuatu yang berasal dari Barat adalah semuanya baik dan merupakan standar hidup manusia modern tanpa kita menyaringnya dulu agar sesuai dengan kebutuhan kita. Kita seperti lupa kepada purwadaksi, dan hanya akan bereaksi ketika ada nilai budaya yang diakui oleh Negara lain tanpa merenung mengapa nilai budaya itu dicuri. 

RASISME KEPERCAYAAN YANG BURUK


Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya [1].
Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe) [2][3].
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.

RASISME ARTI SPESIFIK


pengertian RASISME
Rasisme adalah suatu sistem
kepercayaan atau doktrin
yang menyatakan bahwa
perbedaan biologis yang
melekat pada ras manusia menentukan pencapaian
budaya atau individu – bahwa
suatu ras tertentu lebih
superior dan memiliki hak
untuk mengatur yang lainnya

RASISME YANG MERAJALELA DI DUNIA POLITIK


Pengertian Rasisme dan Rasisme sebagai Proses
Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa:
A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier debunked, become reincarnated under different guises
Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini. Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis.
Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social institutions, and practices
(Garcia, p. 1436) .
Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self
Dalam ethnicity and racism
(1990), Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini
bahwa ras merupakan konsepsi kolonialiasme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa Eropa. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan. Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakteristik fisik. Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara pribumi dengan priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan berujung pada rasisme.
Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an, ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan teori-teori rasis yang dipakai orang orang Nazi (Fredricksen, 2005). Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak ada. Dalam bukunya,
Racism: A
Short History,
Fredricksen (2005) menulis:
orang-orang Afrika sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena kutukan (biblikal) dari dosa yang telah diperbuat Ham. Akibat dari dosa Ham itu, orang-orang Afrika diklaim telah ditakdirkan sebagai ras budak. Klaim itu anehnya terus diakui kebenarannya dan kemudian menjadi justifikasi rasisme.
Rasisme bahkan sengaja diciptakan oleh tokoh-tokoh dunia masa lalu melalui berbagai tulisan untuk mencapai posisi legitimasi akan suatu golongan tertentu. Knox (1850) menempatkan Slavonian dan Gothic di posisi ras teratas sementara Saxon, Celt, dan Italian ada di bawahnya. Di Asia dan kemudian di Afrika, kekuasaan Eropa secara brutal diterapkan pada masyarakat setempat, dan
ekonomi mereka dieksploitasi untuk keuntungan modal barat. Untuk
membenarkan perkembangan ini, maka para penguasa Eropa berargumentasi bahwa orang yang berkulit berwarna berkedudukan rendah. Para intelektual, jurnalis dan para pendeta mencoba menggagas untuk mengegolkan teori ini menjadi hal yang bersifat umum dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Gobineau (1853), seorang bangsawan Perancis dalam esainya,
On The Inequality
of Human Races
adalah orang pertama yang mencetuskan superioritas ras Arya atas bangsa Negro dan Semit dengan mengatakan bahwa masyarakat Arya yang hebat dan brilian dapat dipertahankan sejauh mereka tetap mempertahankan darah keturunannya hanya dari spesies mereka. Sementara Bagehot (1873), seorang tokoh politik berpengaruh berpendapat bahwa negara yang terkuat adalah yang mampu mengalahkan negara lain dan yang terkuat adalah yang terbaik. Pernyataan ini mendukung argumentasi
Social Darwinim
tentang seleksi alam, yaitu mereka yang selamat harus menjadi yang terkuat, dan untuk tahu siapa yang terkuat adalah dengan menjadi yang selamat.
Social Darwinism kemudian menjadi sebuah pembenaran atas ekspansi bangsa Eropa ke Afrika India dan Timur Jauh. Hal ini dipertegas oleh ahli antropologi India, Vidyarthi (1983) yang menyatakan :
His (Darwin’s) theory of the survival of the fittest was warmly welcomed by the social scientists of the day, and they believed mankind had achieved various levels of evolution culminating in the white man’s civilization. By the second half of the nineteenth century racism was accepted as fact by the vast majority of Western scientists. (Lalita Prasad Vidyarthi, Racism, Science and
Pseudo-Science, Unesco, France, Vendme, 1983. p. 54
Namun begitu, rasisme awal justru berasal dari kaum Kristen terhadap kaum Yahudi. Kaum Yahudi ditengarai menolak Yesus Kristus sebagai Sang Mesias, dengan menerima Kitab Perjanjian Baru yang dianggap lebih terlegitimasi dan mempunyai substansi penting dibandingkan Kitab Perjanjian Lama. Hal itu dinilai sebagai sebuah pengingkaran atas penyaliban dan wafatnya Yesus sebagai tumbal atas dosa seluruh manusia. Atas hal itulah, maka umat Yahudi dianggap sebagai kriminal, termasuk sampai kepada keturunannya sekalipun. Segera setelah itu, pada akhir abad pertengahan, terjadi penaklukan besar- besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi. Di sinilah mulai terjadi pergeseran nilai nilai kesamaan bagi SEMUA umat manusia tersebut. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi umat Kristen (yang
semuanya saat tu masih berkulit putih ) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Masih menurut Frederickson (2005), hingga di titik inilah maka rasisme bukan merupakan sesuatu yang hanya dibebankan kepada umat Kristiani saja, melainkan menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi supremasi kulit putih terhadap kulit hitam. Imperialisme Eropa dan perdagangan budak juga turut memperkuat perubahan makna ini. Budak-budak pertama di perkebunan “dunia baru” adalah para narapidana dan orang-orang Indian Karibia, namun mereka semua mati secara berangsur -angsur dan akhirnya diganti oleh orang Afrika yang lebih kuat.
Di banyak negara dunia ketiga saat ini, seperti Malaysia, Indonesia atau Fiji, ketegangan rasial antara kelompok-kelompok kulit berwarna sering kali timbul. Ini merupakan hasil dari politik penjajah Eropa,
devide et impera
.
Akhirnya perdangangan budak dihentikan karena secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan, dan kolonialisme pun mengalami kemunduran. Namun sistem 40 kapitalis menemukan cara-cara baru untuk membuat rasisme menguntungkan. Orang orang berkulit berwarna bisa digunakan sebagai tenaga kasar, sedangkan prasangka prasangka buruk tentang orang-orang berkulit berwarna, yang dimiliki oleh pekerja yang berkulit putih dipertahankan. Tujuannya adalah agar kelas buruh bisa terus dipecah-belah. Selama bertahun-tahun taktik seperti ini digunakan oleh para majikan di Eropa, Amerika dan juga Australia. Dengan demikian rasisme telah meluas dari makna awalnya atau dengan kata lain rasisme terus akan berubah bergantung pada dinamika kehidupan dan interaksi sosial yang ada. Hal ini dikarenakan rasisme telah menginvasi ranah lain dalam realitas hidup manusia. Rasisme kini telah berada dalam ranah psikologi, sosial, politik, dan bahasa