Realitas social merupakan realitas yang konpleks, oleh karenanya kemudian manusia menjadi beragam dalam menggambarkan dan menginterpretasikannya. Konpleksitas realitas social ini paling tidak dapat kita buktikan dengan banyaknya institusi, system, organisasi maupun norma social yang dapat kita saksikan ditengah kehidupan kita. Dalam perspektif fenomenologis misalnya mengatakan bahwa konpleksitas itu berlaku karena secara individual manusia selalu berusaha memaknai realitas yang dihadapi. Setiap manusia memaknai realitas sekitarnya menurut kualitas individual yang dimilikinya. Perbedaan individual (individual deferences) merupakan sebuah kenyataan histories yang melekat dalam diri manusia. Bahwa realitas social merupakan kumpulan individu-individu yang syarat perbedaan.
Dengan demikian, konpliksitas realitas social sesungguhnya konsekwensi logis dari konpleksitas individual. Konpleksitas individual yang berimplikasi pada konpleksitas social tersebut ternyata berpengaruh besar terhadap liku-liku tradisi ilmiah yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh masa lalu, mulai dari tradisi filsafat sampai dengan tradisi ilmiah-positiv (modern) sekarang ini, bahkan post modernisme sekalipun. Perbedaan bahkan pertentangan yang terjadi antara Aristoteles dan gurunya Plato, polemic rasionalisme, empirisme, idealisme, realisme, pragmatisme dan lain-lain menegaskan betapa tradisi pengetahuan dibangun diatas tradisi dialektika. Hegel mengatakan bahwa selalu saja tesis itu disusul dengan munculnya antitesis yang mengharuskan adanya sintesis, demikianlah kira-kira gambaran dialektika yang dimaksud. Dari tradisi dealektika filosofis diataslah macam-macam paradigma dan perspektif dalam ilmu sosial dibangun. Dalam wacana sosiologi, Zainuddin Maliki dalam buku “Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik” mengemukakan bahwa paradigma teori social dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial. Pada masing-masing paradigma terdapat beberapa persepktif (teori) diatantaranya:
A.
Paradigma Fakta Sosial (August Comte, Herbert Spencer)
B.
Perspektif Strukturalisme (Herbert Spencer) Herbert
Spencer pondasi strukturalnya dengan memandang bahwa sebuah struktur masyarakat
harus melihat individu-individu yang ada di dalamnya sebagai sebuah organiseme.
Hal ini berbeda dengan pandangan pendahulunya
C.
Auguste Comte yang sangat anti-individual. Memang ia
bukanlah seorang yang ingin menjelaskan masyarakat—tentang apa yang dibutuhkan
mereka dan apa yang harus mereka lakukan untuk memenuhinya—namun ia memberikan
pandangan-pandangannya dan memfokuskannya kepada masalah objektif yang dihadapi
oleh masyarakat. Seperti masalah agama masyarakat (yang juga menjadi masalah
pelik bagi individu dalam cosmos social); yang semula masyarakat pada masanya
menggunakan pandangan Teologis untuk melihat gejala-gejala social yang ada
disekitar mereka, ia ganti dengan pandangan alami, ilmiyah dan positifistik
untuk melihat gejala-gejala social itu, itulah salah satu dari sekian banyak
usaha intelektual yang ia lakukan, untuk merubah struktur sosial. Pada dasarnya
ia banyak dipengaruhi oleh pandangan Naturalisme Darwin, terutama masalah seleksi
alam yang menjadi salah satu saduran dalam karya Darwin The Origin Of Species,
On The Natural Selection. Oleh karena itulah ia menganggap bahwa kehiduapan
bermasyarakat merupakan hubungan organisme biologis—atas landansan pandangan
seperti itulah kemudian Spencer kemudian tidak memperhatikan ranah mental
masyarakat. Sebagai organisme masyarakat tumbuh layaknya organisme secara umum
yang melewati empat tahap; Tahap Pertambahan, Tahap Komplesifikasi, Tahap
Deferensiasi dan Tahap Integrasi.
D.
Pertama Tahap Pertambahan, tidak seperti organisme yang
mati, masyarakat sebagai organsime hidup pasti akan mengalami pertambahan atau
penggandaan yang dimiliki oleh organisme-organisme dalam kelompok-kelompok
social. Organisme kecil akan berevolusi menjadi organisme besar, suku bangsa
akan menjadi bangsa, desa akan menjadi kota dan kelompok kecil akan menjadi
kelompok besar.
E.
Kedua Tahap Kompleksifikasi, setelah terjadinya proses
penggandaan atau pertambahan dalam organisme hal selanjutnya yang akan terjadi
adalah berubahnya organisme tersebut menjadi lebih kompleks secara simultan.
F.
Dari tahap inilah kemudian evolusi memasuki tahap
ketiga yaitu Tahap Deferensiasi, dimana secara alami masing-masing organiseme
akan menonjolkan perbedaan struktur maupun fungsinya, seiring dengan
perkemabangan organisme tersebut. Dalam masyarakat akan terlihat gejala
(stratifikasi)—atau terbaginya masyarakat kedalam kelas-kelas social.
G.
Tahap terakhir Tahap Integrasi, yang merupakan titik
tertinggi dari evolusi masyarakat sebagai organsime, dimana masing-masing
organisme berdiri sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan fungsi dan perbedaan
status social yang terjadinya hal itu tidak bisa terelakkan dalam masyarakat.
H.
Perspektif
Fungsionalisme (Talcott Parsons, William James) Struktural Fungsional adalah
sebuah paradigma yang bisa dikatakan seumur dengan renaissance, atau bisa juga
dikatakan sebagai salah satu warna penghias ruang dan utilitas renaissance.
Paradigma ini muncul sebagai “adik kecil” renaissance yang nantinya akan
membesarkan nama harum renaissance sebagai “kakak” yang baik dalam mendidik
adiknya. Dari analogi tadi kita mampu melihat dengan jelas betapa dekat dan
kuatnya hubungan yang terjalin antara renaissance dengan teori fungsional itu.
Tidak hanya hubungan yang kita lihat namun juga sumbangan teori itu kepada
renaissance yang demikian terasa sampai abad ini di seluruh belahan dunia
terutama barat yang merupakan Ibu kandung mereka. Teori ini memandang bahwa
masyarakat harus bertindak sesuai dengan fakta social yang dialaminya bukan
malah menjauhi dan ingin kembali kemasa awal sejarah dibangun. Namun mereka
tidak akan mampu menghadapi fakta itu dengan sehat dan menguntungkan tanpa
adanya media yang bisa dipergunakan untuk mensikapinya. Salah satu tawaran
Fungsioonalisme untuk melihat atau menghadapi fakta social adalah Positivistik.
Dimana setiap organ social memiliki peran-peran tertentu dalam tataran positif
tentunya. Tegasnya struktural fungsional adalah penghargaan kepada setiap
keberadaan dan fungsi organisme dalam sturktur social untuk melakukan
peranannya masing-masing demi keberlangsungan kehidupan social. Pandangan ini
menekankan pada keteraturan masing organisme atau kelompok social dalam setiap
interaksi yang terjadi diantara mereka. Perspektif Struktural-konflik (Karl Marx)
Hampir semua pandangan dalam alat manalisis social (matter of social analysis)
terilhami dari teori Evolusi Darwin. Terutama—dalam konteks social—perubahan,
pertahanan diri maupun kelompok, yang banyak mendapat wahyu dari seleksi alam
yang menjadi pemacu evolusi dalam pandangan Darwin. Inilah pandangan yang
terakhir dalam paradigma fakta Sosial. Kalau ternyata kemudian dalam pandangan
Fungsional lebih menekankan pada keteraturan fungsi dalam kaitannya dengan
fungsi yang lain maka dalam pandangan Struktural konflik ini lebih
memperhatikan ketegangan, komplik dan ketidak teraturan dalam fakta social
sebagai bahan kajiannya. Kami pikir adanya perspektif ini lebih sebagai
antitesis dari structural fungsional, pandangan ini mengatakan bahwa pandangan
pendahulunya terlalu berbaik sangka (Positive Thinking) terhadap Fakta social,
yang menurutnya merupakan keteraturan-ketaraturan dalam social, namun mereka
tidak melihat bahwa dibalik keteraturan itu terdapat berbagai chaos yang
melatari, itulah kemungkinan yang sekaligus diyakini sebagai elemen yang paling
penting dalam fakta social untuk diperhatikan, itulah statemen yang terdapat
dalam pandangan sturktur komplik ini. Pandangan ini mengatakan bahwa keberadaan
komplik dalam masyarakat atau social merupakan sebuah anak tangga menuju
kemajuan dan keperkembangan. Itulah sebabnya komplik adalah bagian terpenting
bahkan arti lain social yang tidak bisa sangkal akan betapa perlu keberadaanya
dalam masyarakat sosial. Akhir dari paradigma ini menemukan muaranya dalam pemikiran
seorang Karl Marx yang mencetuskan teori ekonomi-sosialis. Ia menganalogikan
social sebagai sebuah sekolah atau bangunan yang didalamnya terdapat
kelas-kelas dan persaingan yang ketat antara kelas yang satu dengan yang lain,
bahkan terdapat kwalisi-kwalisi di dalamnya untuk saling menguasai demi
kepentingan ekonomi. Konflik-konflik itu dalam istilah yang lebih halus adalah
Dealektika, namun ia tidak selembut yang kita lihat ketika ia berada atau
diaplikasikan dalam konteks social (Social Current), yang terjadi bukan
persaingan manusia yang hanya dengan tujuan perut, malah lebih dari itu; mirip
seperti binatang yang memiliki kecerdasan dan keteraturan dalam persaingan yang
mereka lakukan B. Paradigma Definisi Sosial (Keikigard, Husserl, Jean Paul
Sartre) Perspektif Fenomenologis Sosial dalam segala bentuknya adalah hal yang
penuh makna yang masing-masing bentuk social memilikinya. Dari banyak tokoh
kita telah mengetahui di atas dengan definisi social mereka yang berbeda-beda.
Yang kesemua pandangan itu merupakan kualitas-kualitas parsial yang kalau
dibenturkan antara satu dengan yang lainnya pasti akan terjadi ketimpang
tindihan yang tidak menentu. Oleh karena itulah Fenomenologi terlahir sebagai
penyempurna semua perspektif dalam fakta social kemudian bisa kami katakan
sebagai definisi-definisi social yang dilihat masing-masing dari fakta yang
terdapat dipermukaan social (social current) yang masih bersifat sangat
parsial. Fenomenologi memandang social telah terpisah dari actor-aktornya atau
pelaku social di dalamnya. Oleh karena keterpisahan itulah maka social harus
dilihat bukan dari Struktur, fungsi dan Konflik yang ada dipermukaan social
itu, namun ia juga harus dilihat dari spirit yang melatari terjadinya hal itu
atau melihat fenomena social bukan dari sisi empirisnya, namun emosi-emosi yang
melatarinya. Lagi sekali perlu kami tegaskan bahwa dalam perspektif ini yang
ditekankan adalah ontology dari social itu sendiri dan bukan empirisnya.
Fenomenologi melihat kontruksi social itu sebagai bangunan ontology yang
berarti fakta dan esensi fakta tersebut belum tentu sama, sama halnya dengan
permainan politik atau catur sekalipun. Di dalam kedua permainan itu—dalam
konteks social—actor bisa saja berada dalam posisi social yang tidak sesuai
dengan perannya, tidak seperti sinetron. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Kami menemukan makna interaksi simbolik ini di dalam sebuah buku yang berjudul
Manusia Satu Dimensi. Di dalam buku tersebut, kelompok-kelompok social dalam
melakukan interksi dengan kelompok-kelompok social lainnya mengunakan Simbol
dalam berinteraksi. Symbol-simbol itulah kemudian yang menyatukan manusia dalam
satu paradigma social yang sama. Dengan demikian semua manusia yang masuk
kedalam symbol itu kemudian seolah menjelma menjadi satu dimensi yang sama,
hubungan, kepentingan, dan dasar pikiran yang sama serta dengan tujuan yang
sama pula. Dalam buku itu dipaparkan contoh symbol-simbol yang sekarang
menyatukan manusia dalam satu dimensi. Yang paling jelas kami lihat dalam
penjelasan itu adalah symbol-simbol ekonomi. Setelah kami membaca sebagian
pembahasan dalam buku itu; ternyata metodologi yang digunakan penulis sebagai
alat analisa adalah fenomenologi. Tapi kami menyipulkan bahwa pe-symbolan
tersebut tidak hanya terjadi secara universal namun terjadi didalam setiap
aktifitas kita sebagai individu-individu. Agensi dan Strukturasi (Antonio
Giddens) Karena penulis tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang Agensi
dan Strukturasi dan Agensi, maka untuk menemukan makna tersebut penulis
menggunakan analisa semiotika pada dua istilah tersebut. Pertama Agensi adalah
kata yang menunjukkan penyipatan kata benda yaitu agen. Agen adalah person yang
berperan sebagai penjelas, penyuampai, pengarah dan mungkin juga penghukum.
Selanjutnya; strukturasi juga merupakan peralihan kata benda menjadi kata
sifat. Yang mewakili sebuah tatanan atau tingkatan-tingkatan tertentu. Jadi
dapat penulis katakana dari analisa pendek di atas bahwa Agensi adalah
penempatan person-person dalam tugas atau wewenang tertentu dalam ranah social.
Karena agen tersebut tidak mungkin duduk dalam struktur yang tidak pasti maka
dalam setiap struktur social pasti tedapat agen (Messenger) untuk
mengendalikan, mengontrol setiap struktur yang ia berada di dalamnya.
Perspektif Konstruksionisme (Max Weber) Weber melihat bahwa di dalam masyarakat
itu terdapat sebuah peraturan yang menjadikan masyarakat tersebut menjadi lebih
sadar akan apa yang terjadi padanya dan apa yang akan dilakukannya. Pandangan
“keteraturan” inilah yang kemudian oleh Weber ditelorkan menjadi sebuah
kontruksi yang memiliki satu titik pusat control yang seharusnya kuat. Dari
pandangan seperti itulah kemudian muncul teori Kapitalisme dalam social yang
orientasi dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Teori kapital ini
adalah kelanjutan dari Kapital yang diserukan oleh Marx, namun ada sedikit
pembeda di antara keduanya, dimana Marx memandang capital sebagai sesuatu yang
hanya terjadi di atas atau permukaan social namun Waber memilihat bahwa Ia
tidak sesederhana itu—kapitalisme dalam pandangannya lebih kepada sikap atau
moral yang darinya muncul kepermukaan menjadi sebuah aktifitas social yang
dilatari oleh kepentingan ekonomi. C. Paradigma Perilaku Sosial (Ivan Pavlov,
B.F Skinner, Watson) a. Perspektif Pertukaran Sosial Istilah pertukaran social
sepertinya senada dengan Istilah pertukaran pelajar dalam konteks pendidikan.
Dimana terjadi proses saling melengkapi “nilai” oleh kelompok social kepada
kelompok social lainnya. Nilai—adalah hal yang sangat luas, kalau dibagi menurut
pandangan akademis Nilai bisa dilihat dalam dua bentuk yang pertama Nilai dalam
bentuk Kuantitas dan Nilai yang berbentuk Kualitas. Adapun nilai yang berbentuk
kuantitas dapat dikenali dengan segala sesuatu yang dapat dikalkulasikan secara
nomerik dan matematis dan nilai yang berbentuk kualitas merupakan kebalikan
darinya.
No comments:
Post a Comment