Monday, January 14, 2013

Relevansi kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme


Relevansi kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme.
* Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.[7]
* Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.[8]
Bacaan lebih lanjut tentang liberalisme
Literatur oleh para pemikir yang ikut menyumbang bagi teori liberal didaftarkan dalam Sumbangan terhadap teori liberal.
  • Bahasa Indonesia
  • Bahasa Inggris
    • The future of liberal revolution / Bruce Ackerman - New Haven: Yale University Press, 1992
    • Left and Right: The Prospects for Liberty / Murray N. Rothbard, 1965
    • Liberalism and Democracy / Norberto Bobbio - London: Verso, 1990 (Liberalismo e democrazia, 1988)
    • Liberalism / John A. Hall - London: Paladin, 1988
    • The Decline of Liberalism as an Ideology / John H. Hallowell - London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1946
    • Beyond the Global Culture War/ Adam K. Webb- Routledge, 2006, about the origins of Liberalism and types of challenges to it in the present world
    • Liberalism / Ludwig von Mises, 1927
  • Bahasa Belanda
    • Beleid voor een vrije samenleving / J.W. de Beus en Percy B. Lehning (red.) - Meppel: Boom, 1990
    • Afscheid van de Verlichting: Liberalen in verwarring over eigen gedachtengoed / Hans Charmant en Percy Lehning - Amsterdam: Donner, 1989
    • Liberalisme, een speurtocht naar de filosofische grondslagen / A.A.M. Kinneging e.a. - Den Haag: Teldersstichting, 1988
    • De liberale speurtocht voortgezet / K. Groenveld, H.J. Lutke Schipholt & J.H.C. van Zanen - Den Haag: Teldersstichting, 1989
    • Het menselijk liberalisme / Dirk Verhofstadt - Antwerpen: Houtekiet, 2002
  • Bahasa Perancis
    • Le libéralisme / Georges Burdeu - Paris: Seuil, 1979
  • Bahasa Jerman
    • Die Freiheit die wir meinen / Werner Becker - München: Piper, 1982
    • Noch eine chance für die Liberalen / Karl-Hermann Flach - Frankfurt: Fischer, 1971
    • Liberalismus / Lothar Gall - Königstein: Athenäum, 1985
Rujukan
1.      ^ A: "'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: "Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton
2.      ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
3.      ^ Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas."
4.      ^ Diksi ini didapat pada saat mengikuti acara perkuliahan mata kuliah Pemikiran Politik Barat, FISIP UI.
5.      ^ a b c d e f Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)
6.      ^ a b c d e f g h i j k Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat. (Jakarta: Penerbit Mizan, 1998)
7.      ^ Mochtar Lubis (penyunting). Demokrasi Klasik dan Modern (terj. The Demokracy Reader : Classic and Modern Speeches, Essay, Poems, Declaration, and Document of Freedom and Human Right Worldwide oleh Diane Ravitch and Abigail Thernstrom (editor). (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1994)
8.      ^ Miriam Budiardjo (penyunting). Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Jakarta : PT Gramedia, 1984)
Catatan
1.      ^ A: "'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: "Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton
2.      ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
3.      ^ Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas."
4.      ^ Diksi ini didapat pada saat mengikuti acara perkuliahan mata kuliah Pemikiran Politik Barat, FISIP UI.
5.      ^ a b c d e f Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)
6.      ^ a b c d e f g h i j k Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat. (Jakarta: Penerbit Mizan, 1998)
7.      ^ Mochtar Lubis (penyunting). Demokrasi Klasik dan Modern (terj. The Demokracy Reader : Classic and Modern Speeches, Essay, Poems, Declaration, and Document of Freedom and Human Right Worldwide oleh Diane Ravitch and Abigail Thernstrom (editor). (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1994)
8.      ^ Miriam Budiardjo (penyunting). Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Jakarta : PT Gramedia, 1984)
Rujukan lain
  • Michael Scott Christofferson "An Antitotalitarian History of the French Revolution: François Furet's Penser la Révolution française in the Intellectual Politics of the Late 1970s" (in French Historical Studies, Fall 1999)
  • Piero Gobetti La Rivoluzione liberale. Saggio sulla lotta politica in Italia, Bologna, Rocca San Casciano, 1924

Dua Masa Liberalisme


Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. [2] Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. [2] Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. [2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. [2] Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. [2] Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. [2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.[2]
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. [2] Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). [2] Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. [2] Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.[4]
Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. [5]. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. [5] Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. [5] Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. [5] Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. [5] Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.[5]
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. [6] Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. [6] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. [6] Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. [6] Namun, manusia ingin hidup damai. [6] Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). [6] Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. [6] Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. [6] Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. [6] Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. [6] Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. [6]
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.