Dua Masa
Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. [2] Ada dua macam Liberalisme, yakni
Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. [2] Liberalisme Klasik timbul pada awal
abad ke 16. [2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai
muncul sejak abad ke-20. [2] Namun, bukan berarti setelah ada
Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan
oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme
Klasik itu masih ada. [2] Liberalisme Modern tidak mengubah
hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata
lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada
tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. [2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme
Klasik itu tidak pernah berakhir.[2]
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan
individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. [2] Setiap individu memiliki kebebasan
berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham,
yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). [2] Meskipun begitu, bukan berarti
kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena
kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. [2] Jadi, tetap ada keteraturan di
dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan
bebas yang sebebas-bebasnya.[4]
Pemikiran
Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham
Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf
perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan
dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada
awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap
kekuasaan imperium Katolik Roma. [5]. Pada saat itu keberadaan agama
sangat mengekang individu. [5] Tidak ada kebebasan, yang ada
hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. [5] Pada perkembangan berikutnya,
dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. [5] Individu menjadi tidak berkembang,
kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan
dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. [5] Kemudian timbullah kritik dari
beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti :
adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama,
sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas,
sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari
para individu yang tadinya “terkekang”.[5]
John Locke dan Hobbes; konsep State of
Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari
sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara
alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. [6] Namun dalam perkembangannya, kedua
pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama
lainnya. [6] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State
of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. [6] Hobbes (1588 – 1679) berpandangan
bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) –
sesuai dengan fitrahnya. [6] Namun, manusia ingin hidup damai. [6] Oleh karena itu mereka membentuk
suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat
perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini
memerlukan pihak ketiga (penguasa). [6] Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa
individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya
kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan
diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh
penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga
tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. [6] Sehingga, mereka memiliki bentuk
akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat
akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. [6] Bertolak dari kesemua hal tersebut,
kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi
individualisme. [6] Inti dari terbentuknya Negara,
menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun
baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. [6] Sedangkan Locke berpendapat,
keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara
menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai
penetralisasi konflik. [6]
Para ahli ekonomi dunia menilai
bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis.
Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh
pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat
yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar
berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith
mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo
dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith
tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada
identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang
menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara
yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat.
Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar
dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam
politik.
No comments:
Post a Comment