Tuesday, February 19, 2013

RASISME YANG MERAJALELA DI DUNIA POLITIK


Pengertian Rasisme dan Rasisme sebagai Proses
Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa:
A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier debunked, become reincarnated under different guises
Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini. Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis.
Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social institutions, and practices
(Garcia, p. 1436) .
Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada self
Dalam ethnicity and racism
(1990), Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini
bahwa ras merupakan konsepsi kolonialiasme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah bangsa Eropa. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan. Sejarah, demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya. Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih, mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakteristik fisik. Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara pribumi dengan priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan berujung pada rasisme.
Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an, ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan teori-teori rasis yang dipakai orang orang Nazi (Fredricksen, 2005). Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak ada. Dalam bukunya,
Racism: A
Short History,
Fredricksen (2005) menulis:
orang-orang Afrika sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena kutukan (biblikal) dari dosa yang telah diperbuat Ham. Akibat dari dosa Ham itu, orang-orang Afrika diklaim telah ditakdirkan sebagai ras budak. Klaim itu anehnya terus diakui kebenarannya dan kemudian menjadi justifikasi rasisme.
Rasisme bahkan sengaja diciptakan oleh tokoh-tokoh dunia masa lalu melalui berbagai tulisan untuk mencapai posisi legitimasi akan suatu golongan tertentu. Knox (1850) menempatkan Slavonian dan Gothic di posisi ras teratas sementara Saxon, Celt, dan Italian ada di bawahnya. Di Asia dan kemudian di Afrika, kekuasaan Eropa secara brutal diterapkan pada masyarakat setempat, dan
ekonomi mereka dieksploitasi untuk keuntungan modal barat. Untuk
membenarkan perkembangan ini, maka para penguasa Eropa berargumentasi bahwa orang yang berkulit berwarna berkedudukan rendah. Para intelektual, jurnalis dan para pendeta mencoba menggagas untuk mengegolkan teori ini menjadi hal yang bersifat umum dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Gobineau (1853), seorang bangsawan Perancis dalam esainya,
On The Inequality
of Human Races
adalah orang pertama yang mencetuskan superioritas ras Arya atas bangsa Negro dan Semit dengan mengatakan bahwa masyarakat Arya yang hebat dan brilian dapat dipertahankan sejauh mereka tetap mempertahankan darah keturunannya hanya dari spesies mereka. Sementara Bagehot (1873), seorang tokoh politik berpengaruh berpendapat bahwa negara yang terkuat adalah yang mampu mengalahkan negara lain dan yang terkuat adalah yang terbaik. Pernyataan ini mendukung argumentasi
Social Darwinim
tentang seleksi alam, yaitu mereka yang selamat harus menjadi yang terkuat, dan untuk tahu siapa yang terkuat adalah dengan menjadi yang selamat.
Social Darwinism kemudian menjadi sebuah pembenaran atas ekspansi bangsa Eropa ke Afrika India dan Timur Jauh. Hal ini dipertegas oleh ahli antropologi India, Vidyarthi (1983) yang menyatakan :
His (Darwin’s) theory of the survival of the fittest was warmly welcomed by the social scientists of the day, and they believed mankind had achieved various levels of evolution culminating in the white man’s civilization. By the second half of the nineteenth century racism was accepted as fact by the vast majority of Western scientists. (Lalita Prasad Vidyarthi, Racism, Science and
Pseudo-Science, Unesco, France, Vendme, 1983. p. 54
Namun begitu, rasisme awal justru berasal dari kaum Kristen terhadap kaum Yahudi. Kaum Yahudi ditengarai menolak Yesus Kristus sebagai Sang Mesias, dengan menerima Kitab Perjanjian Baru yang dianggap lebih terlegitimasi dan mempunyai substansi penting dibandingkan Kitab Perjanjian Lama. Hal itu dinilai sebagai sebuah pengingkaran atas penyaliban dan wafatnya Yesus sebagai tumbal atas dosa seluruh manusia. Atas hal itulah, maka umat Yahudi dianggap sebagai kriminal, termasuk sampai kepada keturunannya sekalipun. Segera setelah itu, pada akhir abad pertengahan, terjadi penaklukan besar- besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi. Di sinilah mulai terjadi pergeseran nilai nilai kesamaan bagi SEMUA umat manusia tersebut. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi umat Kristen (yang
semuanya saat tu masih berkulit putih ) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Masih menurut Frederickson (2005), hingga di titik inilah maka rasisme bukan merupakan sesuatu yang hanya dibebankan kepada umat Kristiani saja, melainkan menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi supremasi kulit putih terhadap kulit hitam. Imperialisme Eropa dan perdagangan budak juga turut memperkuat perubahan makna ini. Budak-budak pertama di perkebunan “dunia baru” adalah para narapidana dan orang-orang Indian Karibia, namun mereka semua mati secara berangsur -angsur dan akhirnya diganti oleh orang Afrika yang lebih kuat.
Di banyak negara dunia ketiga saat ini, seperti Malaysia, Indonesia atau Fiji, ketegangan rasial antara kelompok-kelompok kulit berwarna sering kali timbul. Ini merupakan hasil dari politik penjajah Eropa,
devide et impera
.
Akhirnya perdangangan budak dihentikan karena secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan, dan kolonialisme pun mengalami kemunduran. Namun sistem 40 kapitalis menemukan cara-cara baru untuk membuat rasisme menguntungkan. Orang orang berkulit berwarna bisa digunakan sebagai tenaga kasar, sedangkan prasangka prasangka buruk tentang orang-orang berkulit berwarna, yang dimiliki oleh pekerja yang berkulit putih dipertahankan. Tujuannya adalah agar kelas buruh bisa terus dipecah-belah. Selama bertahun-tahun taktik seperti ini digunakan oleh para majikan di Eropa, Amerika dan juga Australia. Dengan demikian rasisme telah meluas dari makna awalnya atau dengan kata lain rasisme terus akan berubah bergantung pada dinamika kehidupan dan interaksi sosial yang ada. Hal ini dikarenakan rasisme telah menginvasi ranah lain dalam realitas hidup manusia. Rasisme kini telah berada dalam ranah psikologi, sosial, politik, dan bahasa

No comments:

Post a Comment