Faktor-faktor yang Memengaruhi Konflik
Faktor-faktor yang dapat
memengaruhi konflik, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu
faktor intern dan faktor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa
hal sebagai berikut.
1.
Kemantapan
organisasi
Organisasi yang telah mantap
lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu
menyelesaikannya. Analoginya adal seorang yang matang mempunyai pandangan yang
luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.
2.
Sistem
nilai
Sistem nilai suatu organisasi
ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi
suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah, atau benar.
3.
Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat
menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
4.
Sistem
lain dalam organisasi
Seperti sistem komunikasi, sistem
kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan , sistem imbalan dan lain-lain.
Dalam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesana
bukanlah soal yang mudah.
Adapun faktor ekstern meliputi
hal-hal berikut.
1.
Keterbatasan
sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat
menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.
2.
Kekaburan
aturan atau norma di masyarakat
Hal inimemperbesar peluang
perbedaan persepsi dan pola bertindak.
3.
Derajat
ketergantungan dengan pihak lain
Semakin tergantung satu pihak
dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
4.
Pola
interaksi dengan pihak lain
Pola yang bebas memudahkan
pemaparan dengan nilai-nilai lain sedangkan pola tertutup menimbulkan sikap
kabur dan kesulitan penyesuaian diri.
G.
Definisi
konflik
Ada beberapa
pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1.
Menurut
Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya
keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih pihak secara berterusan.
2.
Menurut
Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri –
sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3.
Menurut
Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi
individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam
organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya,
jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka
konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4.
Dipandang
sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada
tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat
dekat hubungannya dengan stres.
5.
Menurut
Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih
pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan
oleh perbedaan tujuan.
6.
Konflik
dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang
sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993).
7.
Konflik
merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok
dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan,
diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8.
Konflik
dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi
(Folger & Poole: 1984).
9.
Konflik
senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai,
alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku
setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart,
1993:341).
10.
Interaksi
yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak
dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda
(Devito, 1995:381)
H. Konflik Menurut Robbin
Robbin
(1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict
Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan
kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi
berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga
bagian, antara lain:
1.
Pandangan
tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu
hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik
ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang
kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.
Pandangan
hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa
konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok
atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari
karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau
pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu
hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata
lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau
perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.
Pandangan
interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu
organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan
ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan
sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri,
dan kreatif.
I.
Konflik
Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan
Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan
tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1.
Pandangan
tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari.
Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian
tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal,
konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer
dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.
Pandangan
modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara
lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan
sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai
tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan
bersama.
J. Konflik
Menurut Myers
Selain
pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan
dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.
Dalam
pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus
dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai
sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan
baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik,
pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi
itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,
menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.
Pandangan
kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi
bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan
antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu
hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang
destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun
organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
K.
Konflik
Menurut Peneliti Lainnya
1.
Konflik
terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan
apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan
dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua
konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi
adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu
secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti
ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi
juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan,
yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik
tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua
pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’
antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang
mengandung amarah.
2.
Konflik
tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif
(Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat
menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi.
Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran
dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran
itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak
terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik
yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
L.
Teori-teori
konflik
Ada tiga
teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C.
Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx,
yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott,
yaitu tentang Patron Klien.
Penyebab
konflik
·
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya,
setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya,
ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.
No comments:
Post a Comment