Ketika mengembangkan blog ini, saya asyik jalan-jalan ke blog-blog lain mencoba menemukan gagasan lain yang kiranya sepaham mengenai pendidikan kritis. Ketemulah dengan beberapa, lalu saya pasang link-nya disini. Lalu ketemulah dengan sebuah artikel, yang dikomentari oleh pembacanya. Artikel itu berjudul Ideologi Liberal Pendidikan Kita. Artikel ini ditulis di blog milik Edi Subkhan.
Di artikel itu dibahas mengenai bagaimana sistem pendidikan kita kini mengarah kepada industrialisasi. Pendidikan seolah pabriknya para buruh, mengabdi pada kepentingan industri. Para siswa (bahkan mahasiswa) dicekoki dengan gagasan bahwa sekolah itu hanya untuk mencari kerja, atau kalau mau lebih eksplisit, mencari uang. Uang adalah sumber kehidupan. Begitu kira-kira ideologi itu mempengaruhi wacana pendidikan kita.
Tidak heran, kalau sekarang kita jauh tertinggal dalam hal rekayasa. Karena dunia pendidikan sudah mulai sepi dari penemuan-penemuan yang bisa meningkatkan kualitas hidup orang banyak. Hawar-hawar kita mendengar institusi pendidikan memenangkan lomba-lomba di tingkat rekayasa, baik di bidang teknologi mapun di bidang sosial. Entrepreneurship memang digalakkan, tapi sepi dari garapan.
Lalu untuk apa pendidikan itu? Bukankah kebutuhan kita di dunia nyata ini memang berupa uang? Tanpa uang, kita tidak berarti apa-apa. Itu benar terjadi, itu memang fakta, tapi itu bukan kebenaran yang kita inginkan. Kita tentu tidak mau dinilai dengan seberapa banyak uang di kantong kita, tapi kita ingin dinilai berdasarkan apa yang kita capai di dunia ini. Tentu saja pencapaian yang baik.
Kembali ke judul artikel yang diributkan tadi. Saya jadi teringat dengan tulisan Ivan Illich, Deschooling Society. Secara gamblang Illich memaparkan dampak dari ideologi pendidikan yang terjerumus ke dalam industrialisasi. Semakin banyak manusia tidak percaya diri kalau tidak memiliki ijazah pendidikan. Kita tidak mampu lagi mengobati diri sendiri, bahkan untuk urusan yang paling sepele. Alasannya, karena kita sangat percaya kepada dokter, dokter yang berijazah dan berijin praktek itu.
Masih panjang uraian Illich tentang hal ini. Karenanya, ia memberi kita gagasan untuk membebaskan diri kita, masyarakat, dari kungkungan sekolahan. Bukan berarti anak-anak harus keluar dari bangku sekolah. Tetapi kita harus ‘merubuhkan’ sistem pendidikan yang justru menempatkan diri kita hanya sebagai konsumen. Kita harus bangkit, menguasai kehidupan kita sendiri, dengan cara-cara yang manusiawi.
Pendidikan liberal, menurut saya tidak harus terjerumus ke industrialisasi. Neokapitalisme-lah yang menyeret pendidikan ke arah sana. Kalau liberalisme, menurut saya masih bisa kita ambil sebagian konsepnya, dan gunakan dengan bijaksana. Kita butuh liberalisasi dalam demokrasi. Kita butuh perlindungan terhadap kebebasan itu. Tapi jangan serahkan segalanya kepada mekanisme pasar, karena itu adalah tindakan bunuh diri. Rakyat Amerika sedang merasakan krisis saat ini, akibat dari fanatisme kaum republik dalam liberalisme pasar, dimana mekanisme pasar adalah rajanya.
Pendidikan memang seharusnya dilandasi oleh ideologi yang jelas. Pancasila, katanya adalah ideologi kita. Pancasila cukup fleksibel dalam melindungi hak-hak dasar kita, melindungi kepentingan masyarakat umum dengan koridor keadilan sosial. Pancasila juga sudah sangat eksplisit mencantumkan kemanusiaan sebagai dasar pemikiran, artinya kita harus mampu memanusiakan manusia Indonesia ini yang masuk ke bangku sekolah. Bukan mengubah mereka menjadi sekrup-sekrup mesin industri kapitalisme.
Tapi kenapa Pancasila selalu tampak aneh kalau kita bicarakan sebagai ideologi? Apakah karena Pancasila terlanjur menjadi 36 butir-butir yang isinya terdengar sangat normatif dan sedikit bullshit? Atau karena kita kurang bersunguh-sungguh mencermati gagasan dibalik kelima sila yang dulu setiap hari Senin kita dengarkan dibacakan di lapangan upacara?
Kalau pendidikan kita benar-benar mengacu pada kelima sila itu, maka saya kira kita punya arah yang jelas. Biarkan sisanya kita lengkapi dari literatur yang up to date. Kita toh tidak mau ketinggalan jaman kan? Maka Ivan Illich seharusnya hidup di Indonesia dan mulai mencermati, bahwa gagsannya
No comments:
Post a Comment