Pengertian Rasisme dan Rasisme sebagai Proses
Rasisme
memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang berhubungan
dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa:
A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove
that there are inherited racial and gender differences these efforts,
although earlier debunked, become reincarnated under different guises
Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini.
Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan
terjadi dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu
komunitas bisnis.
Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair
and discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups,
social institutions, and practices
(Garcia, p. 1436) .
Rasisme sendiri secara umum adalah pendirian yang memperlakukan orang
lain secara berbeda dengan memberikan judgment nilai berdasarkan
karakteristik ras, sosial, dan kondisi mental tertentu yang merujuk pada
self
Dalam ethnicity and racism
(1990), Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini
bahwa ras merupakan konsepsi kolonialiasme yang tumbuh berbarengan
dengan semangat ekspansi wilayah bangsa Eropa. Spoonley melacak
kemunculan rasisme secara historis ketika bangsa Eropa berhadapan dengan
keragaman manusia yang mereka temui di tanah jajahan. Keragaman itu
lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan. Sejarah, demikian
Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat
kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya.
Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih,
mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan
karakteristik fisik. Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara
pribumi dengan priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan
berujung pada rasisme.
Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an,
ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan teori-teori
rasis yang dipakai orang orang Nazi (Fredricksen, 2005). Kendati
demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak
ada. Dalam bukunya,
Racism: A
Short History,
Fredricksen (2005) menulis:
orang-orang Afrika sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena
kutukan (biblikal) dari dosa yang telah diperbuat Ham. Akibat dari dosa
Ham itu, orang-orang Afrika diklaim telah ditakdirkan sebagai ras budak.
Klaim itu anehnya terus diakui kebenarannya dan kemudian menjadi
justifikasi rasisme.
Rasisme bahkan sengaja diciptakan oleh tokoh-tokoh dunia masa lalu
melalui berbagai tulisan untuk mencapai posisi legitimasi akan suatu
golongan tertentu. Knox (1850) menempatkan Slavonian dan Gothic di
posisi ras teratas sementara Saxon, Celt, dan Italian ada di bawahnya.
Di Asia dan kemudian di Afrika, kekuasaan Eropa secara brutal diterapkan
pada masyarakat setempat, dan
ekonomi mereka dieksploitasi untuk keuntungan modal barat. Untuk
membenarkan perkembangan ini, maka para penguasa Eropa berargumentasi
bahwa orang yang berkulit berwarna berkedudukan rendah. Para
intelektual, jurnalis dan para pendeta mencoba menggagas untuk
mengegolkan teori ini menjadi hal yang bersifat umum dan bisa diterima
oleh masyarakat luas. Gobineau (1853), seorang bangsawan Perancis dalam
esainya,
On The Inequality
of Human Races
adalah orang pertama yang mencetuskan superioritas ras Arya atas bangsa
Negro dan Semit dengan mengatakan bahwa masyarakat Arya yang hebat dan
brilian dapat dipertahankan sejauh mereka tetap mempertahankan darah
keturunannya hanya dari spesies mereka. Sementara Bagehot (1873),
seorang tokoh politik berpengaruh berpendapat bahwa negara yang terkuat
adalah yang mampu mengalahkan negara lain dan yang terkuat adalah yang
terbaik. Pernyataan ini mendukung argumentasi
Social Darwinim
tentang seleksi alam, yaitu mereka yang selamat harus menjadi yang
terkuat, dan untuk tahu siapa yang terkuat adalah dengan menjadi yang
selamat.
Social Darwinism kemudian menjadi sebuah pembenaran atas ekspansi bangsa
Eropa ke Afrika India dan Timur Jauh. Hal ini dipertegas oleh ahli
antropologi India, Vidyarthi (1983) yang menyatakan :
His (Darwin’s) theory of the survival of the fittest was warmly welcomed
by the social scientists of the day, and they believed mankind had
achieved various levels of evolution culminating in the white man’s
civilization. By the second half of the nineteenth century racism was
accepted as fact by the vast majority of Western scientists. (Lalita
Prasad Vidyarthi, Racism, Science and
Pseudo-Science, Unesco, France, Vendme, 1983. p. 54
Namun begitu, rasisme awal justru berasal dari kaum Kristen terhadap
kaum Yahudi. Kaum Yahudi ditengarai menolak Yesus Kristus sebagai Sang
Mesias, dengan menerima Kitab Perjanjian Baru yang dianggap lebih
terlegitimasi dan mempunyai substansi penting dibandingkan Kitab
Perjanjian Lama. Hal itu dinilai sebagai sebuah pengingkaran atas
penyaliban dan wafatnya Yesus sebagai tumbal atas dosa seluruh manusia.
Atas hal itulah, maka umat Yahudi dianggap sebagai kriminal, termasuk
sampai kepada keturunannya sekalipun. Segera setelah itu, pada akhir
abad pertengahan, terjadi penaklukan besar- besaran pasukan Umat Kristen
atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi. Di
sinilah mulai terjadi pergeseran nilai nilai kesamaan bagi SEMUA umat
manusia tersebut. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama
Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi umat Kristen (yang
semuanya saat tu masih berkulit putih ) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika.
Masih menurut Frederickson (2005), hingga di titik inilah maka rasisme
bukan merupakan sesuatu yang hanya dibebankan kepada umat Kristiani
saja, melainkan menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi supremasi
kulit putih terhadap kulit hitam. Imperialisme Eropa dan perdagangan
budak juga turut memperkuat perubahan makna ini. Budak-budak pertama di
perkebunan “dunia baru” adalah para narapidana dan orang-orang Indian
Karibia, namun mereka semua mati secara berangsur -angsur dan akhirnya
diganti oleh orang Afrika yang lebih kuat.
Di banyak negara dunia ketiga saat ini, seperti Malaysia, Indonesia atau
Fiji, ketegangan rasial antara kelompok-kelompok kulit berwarna sering
kali timbul. Ini merupakan hasil dari politik penjajah Eropa,
devide et impera
.
Akhirnya perdangangan budak dihentikan karena secara ekonomi dianggap
tidak menguntungkan, dan kolonialisme pun mengalami kemunduran. Namun
sistem 40 kapitalis menemukan cara-cara baru untuk membuat rasisme
menguntungkan. Orang orang berkulit berwarna bisa digunakan sebagai
tenaga kasar, sedangkan prasangka prasangka buruk tentang orang-orang
berkulit berwarna, yang dimiliki oleh pekerja yang berkulit putih
dipertahankan. Tujuannya adalah agar kelas buruh bisa terus
dipecah-belah. Selama bertahun-tahun taktik seperti ini digunakan oleh
para majikan di Eropa, Amerika dan juga Australia. Dengan demikian
rasisme telah meluas dari makna awalnya atau dengan kata lain rasisme
terus akan berubah bergantung pada dinamika kehidupan dan interaksi
sosial yang ada. Hal ini dikarenakan rasisme telah menginvasi ranah lain
dalam realitas hidup manusia. Rasisme kini telah berada dalam ranah
psikologi, sosial, politik, dan bahasa