KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya,
sholawat serta salam senantiasa tercurah dan kepada junjungan kita Nabi basar
Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “
Paradigma dan Teori dalam Sosiologi
Disadari sepenuhnya bahwa makalah ini dapat tersusun
berkat bantuan, bimbingan dan mamberi pengarahan yang tinggi dan terima kasih
kepada :
1.
Bapak
Dr. Isa Ansori, Drs. M. Si yang telah membimbing dan memberi pengarahan
2.
Rekan-rekan mahasiswa program pasca
sarjana yang banyak memberikan masukan
Penyusun
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Pasuruan,
/ /2012
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR
.................................................................................. i
DAFTAR
ISI
................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
.................................................................................... 1.
B.
Rumusan Masalah .............................................................................. 2.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Paradigma Fakta Sosial ...................................................................... 3
B. Paradigma Definisi
Sosial ...................... ........................................... 4
C.
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial
.............................. . 5
D.
Teori-teori paradigma dalam sosiologi
............................................ .. 7
1.
Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
.......................... . 7
2. Kritik Multi-Paradigma Ritzer
..................................................... 9
3. Empiris-analitis,
Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik......... 10
4. Positivisme.................................................................................... 10
5. Humanisme .................................................................................. 11
6. Kritis
............................................................................................. 12
7.
Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis
.................................. 13
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
....................................................................................... 15
B.
Saran
.................................................................................................. 16
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Thomas Kuhn
dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan
istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau
pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam
buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya
disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu
pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh
George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm
Science. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku
asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran
Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam
disiplin sosiologi.
Menurut
George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu (1) paradigma fakta sosial yang
menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu;
(2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya; (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.
(2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya; (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.
Paradigma
dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya
berbagai macam teori dan metode dalam pendekatannya. Untuk lebih memahami lebih
jelasnya tentang Paradigma dan teori dalam Sosiologi maka kami akan mengupasnya
dalam bab pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bentuk
Paradigma dalam sosiologi bila dilihat dari Fakta Sosial ?
2.
Bagaimana bentuk
Paradigma dalam sosiologi bila dilihat dari Definisi Sosial?
3.
Bagaimana bentuk
Paradigma dalam sosiologi bila dilihat dari Perilaku Sosial?
4.
Teori-teori yang ada pada paradigma dalam sosiologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Fakta Sosial Sosiologi - Teori Sosiologi Tahap Awal
Paradigma adalah suatu pandangan
yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi
pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu
paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan
permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang
menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Sosiologi merupakan suatu ilmu
yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam masyarakat
terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan
lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam
hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik
yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya.Untuk
mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.
Lahirnya sosiologi dihubungkan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang menyangkut
tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi
Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern,
berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun
Revolusi Perancis.
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis.
Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan ddngan adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis.
Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan ddngan adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Paradigma pertama adalah Fakta
Sosial. paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat
mempengaruhi individu. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang
sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of
Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa
pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan
pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka
panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami
gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan
pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin
menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian
ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur
sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta
sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan
bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda
dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek
penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat
analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas
filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di
luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat
deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi.
Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure)
dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang
mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural,
Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme
Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa
sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial,
organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini
cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem
lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya
adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan
pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial
sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik
adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
B. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial
Paradigma kedua adalah Definisi
Sosial, paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu
dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini
sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi
yang berperanan tetap individu dan pemikirannya. Pemikiran ini dikembangkan
oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber,
pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar
hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai
pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan
metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma
ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori
Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme
Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.
C. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial
Paradigma
yang terakhir adalah Perilaku Sosial. paradigma perilaku sosial yang menyatakan
bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan
suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan
lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang
bersangkutan. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam
pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua
paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa
mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku
manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and
contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep
volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung
dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas,
Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua
paradigma di atas, xang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma”
(multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial
akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah
interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi
sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang
“ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi
dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka
perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan
metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan
suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas
sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan
mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas
Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu:
paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme
simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber,
Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson.
Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar:
(1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur
yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan
yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur
lainnya, dan
(2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena
mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam
menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa
yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini
membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
pendekatan yang dikembangkan oleh
Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
(1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama
semua kegiatan masyarakat, dan
(2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di
sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan
determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial
dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas
bawah.
Habermas dalam membagi paradigma
ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma
instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan
untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah
paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme
adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam
dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi.
Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value)
agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
Kedua, paradigma intepretatif. Dasar
dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi
filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami.
Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang
ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada
upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun
kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme.
Ketiga, paradigma kritik. Paradigma
ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari
segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat
realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini
menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan
diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi
irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya
diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
D.
Teori Paradigma
dalam Sosiologi
Teori merupakan seperangkat
pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan
bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling
kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada
dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud
memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa
teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan
cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau
suatu benda.
Teori harus mengandung konsep,
pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional
dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat
konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep,
definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi
dan prediksi.
Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.
Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.
Fungsionalisme Talcott Parsons. Teori Fungsionalisme Struktural Talcott
Parsons
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat
terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan
sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
Dengan
demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu
sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.
Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.
Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di muka
Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.
Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.
Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di muka
1.
Sosiologi: Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam
pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta
sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang
digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The
Rules of Sociological Method dan Suicide. Durkheim menyatakan
bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social
structure) dan pranata sosial (social institution). Pendahuluan
Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam
ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini.
Terutama
dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah
kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini
adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori
Sosiologi Makro.4 Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh
Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta
sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang
dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung
menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan
dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Teori sistem
(Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Paradigma
kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social
action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi
Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial
dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk
sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber
menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.
Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz),
Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi
(Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma
Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F.
Skiner.
Teori
Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme
sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’.
Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang
diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak
diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan
interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi,
paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen.
Ada dua teori
yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan
teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma
integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua
tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur,
teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya),
mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif
(persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita).
Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer.
Sejumlah
pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan
pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi
oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana
berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat
horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke
sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique
of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills
(1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal
publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu
kredit.
2.
Kritik Multi-Paradigma Ritzer
Penempatan
perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh
Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang
mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan-
berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri
dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait
dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan.
Pendekatan
konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara
struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari
pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang
menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi
lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang
sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.9
Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau
sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif
sosiologi- patut diperdebatkan.
Merumuskan
teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk
bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai
paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai
paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau,
menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Metateori Ritzer tak
mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan
teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka
metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk
menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin
menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan
interaksi sombolik) tak lagi relevan.
3.
Jurgen Habermas; Empiris-analitis,
Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik
Habermas
membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis,
interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu
empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan
emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari
perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme
(Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil
epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya
mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial
(Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry
Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial
positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi,
teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi
kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis;
mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis
mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode
kualitatif.
4.
Positivisme
Plato
menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a
priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan
Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori).
Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke.
Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu
alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science,
ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi
obyektif.
Adopsi
saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte
(1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan
istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12
Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena
itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif,
terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari
kepentingan praktis. Teori untuk teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori
dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah
pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah
tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik,
terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa
pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme,
realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.13
5.
Humanisme
Berbeda
dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi,
teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna
–yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk
menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang
dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari
epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari
pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui,
berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang
tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan
proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang
mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan
saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.
Kemudian
disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada
fenomena ‘spiritual’ atau ‘ideal’ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak
dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni
realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen.
Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur
simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat,
candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan
paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna
subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya
etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer),
dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).
6.
Kritis
Kunci dari
teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak
selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan
haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu,
teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi
masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis
bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan
masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam
masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari
studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori
kritik sebagai berikut:
1.
teori
kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia
statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang
membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak
sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk
menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus
mengalami perubahan.
2.
teori
sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai
oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis
harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan.
3.
teori
kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis
adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar
global dan rasional penindasan yang mereka alami.
4.
pada
level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh
kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi
(Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika
keberadaan (Derrida).
5.
teori
sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan
sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja.
Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung
voluntarisme.
6.
mengikuti
pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur
manusia secara dialektis.
7.
teori
sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat
dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis
juga menolak pragmatisme revolusioner.
7.
Humanisme: Antara
Positivisme dan Kritis
Menurut
Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis,
tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62).
Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi
sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif.
Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas
keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang
keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang
menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian
survai.
Penelitian
survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih
sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu
melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin
dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur
bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis.
Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough –juga
Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur
sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah
tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.
Menurut
Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis)
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara
humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme
eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam
menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan
bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat memiliki ”kesadaran
palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat
memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan yang telah dijelaskan, dapat kami simpulkan bahwa paradigma dan teori
dalam sosiologi mencaku beberapa hal :
Paradigma
adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang
sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian,
bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan
menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan,
baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh
jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sosiologi
merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam
masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi,
aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu
kebulatan yang utuh.
Sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan
senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman
terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian
cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis
Dalam hal
ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik yang
menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya. Untuk mengetahui
kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.
Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis.
Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis.
Jadi
paradigma
dalam sosiologi, yaitu
1. Paradigma
fakta sosial
yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat
mempengaruhi individu.
2. Paradigma
definisi sosial
yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur
yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh
terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap
individu dan pemikirannya.
3. paradigma
perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang
terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan
B.
SARAN
Dalam Suatu Pemikiran pasti ada sisi baik yang dapat
diambil maka disini kami dapat mengatakan dan berpesan terhadap Pendidikan
islam bahawa paradigma dan teori dalam sosiologi sangat berperan dan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan yanga ada sekarang ini serta pendidikan islam
tetap eksis sesuai dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Burrell, G. & G. Morgan, Sociological
paradigms and organizational analysis, Arena, 1994.
Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln
(Eds.), Handbook of qualitative research (second edition), Thousand
Oaks: Sage Publ. Inc., 2000.
Habermas, J., Ilmu dan
teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES, 1990.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori
Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro
Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua), PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Poloma, MM., Sosiologi
Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
No comments:
Post a Comment