makalah: PERANAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN AGAMA
A. Pendahuluan
Peranserta, untuk tidak menyebut prakarsa, masyarakat Muslim Indonesia
dalam pendidikan dan perguruan keagamaan sangat signifikan dan bahkan sangat
dominan. Sepanjang sejarah pendidikan Islam di kawasan ini, Masyarakat Muslim
dalam skala yang tetap besar bukan hanya berperan serta-artinya ikut
“nimrung”-tetapi bahkan mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan
dan pemberdayaan pendidikan keagamaan.[1]
Tuntutan pengembangan sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin
meningkat. Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti
perkembangan tersebut. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran
tersendiri terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak
dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada masa tersebut orang
tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang anak. Sedangkan peran pada
pendewasaan dan pematangan individu merupakan peran dari kelompok masayarakat.[2]
Menurut Al-Syaibani, masyarakat dalam pengertian yang paling sederhana
ialah kumpulan individu dan kelompok yang di ikat oleh kesatuan Negara,
kebudayaan dan agama. Termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik,
kepentingan bersama,adat kebiasan, pola-pola, teknik-teknik, syistem hidup,
undang-undang,institusi dan segala segi dan phenomena yang di rangkum oleh
masyarakat dalam pengertian luas dan baru.[3]
Masyarakat merupakan kelompok sosial terbesar dalam suatu negara. Selain di
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, pendidikan juga dapat
berlangsung di dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam lingkungan
masyarakat tentunya berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada lingkungan
keluarga dan sekolah. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu dalam
suatu kelompok masyarakat tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang
lainnya dalam sebuah mata rantai kehidupan.
Bukan hal yang asing, bila kita seringkali mendengar semboyan ini: Pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tetapi
pada kenyataannya, sampai saat ini, peran serta masyarakat masih belum
maksimal. Walaupun sekarang semua sekolah telah membentuk Komite Sekolah yang
pada prinsipnya merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, namun belum
berfungsi dan berperan sebagaimana yang diharapkan. Karena itu kaitan
masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
1. Masyarakat sebagai
penyelenggara pendidikan baik dilembagakan maupun tidak dilembagakan
2. Lembaga-lembaga
masyarakat atau kelompok sosial masyarakat baik langsung maupun tidak langsung
mempunyuai peranan dan fungsi edukatif.
3. Dalam masyarakat
tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun tidak dirancang
dan dimanfaatkan.[4]
Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan
negara, kebudayaan, dan agama yang memiliki cita-cita,peraturan-peraturan dan
sistem kekuasaan tertentu.[5]
Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan.[6]
Hal itu sesuai pula dengan hak masyarakat dalam pendidikan yaitu mereka dapat
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan.[7]
Masyarakat adalah sistem sosial yang di dalamnya unit-unit melakukan saling
hubungan dalam memberi aksi dan reaksi terhadap setiap peristiwa. Setiap
aksi-reaksi masyarakat merupakan respon sekaligus stimulan bagi munculnya inovasi
dan transformasi dalam masyarakat itu sendiri. Proses tranformasi terjadi dalam
struktur sosial melalui proses komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung.
Proses komunikasi itu kemudian memberikan warna terhadap perubahan cara pandang
dan budaya masyarakat melalui agen perubahan.[8]
Agen perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Ia adalah subyek sekaligus obyek
dari perubahan yang terjadi di dalam.
Selama ini penyelenggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada
keikutsertaan anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan
program-program pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk
kepentingan pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat,
seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari
kebijakan pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan
kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara
individu atau kelompok, spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau
sesaat.
B. Definisi operasional dan Pembatasan Masalah
Ada beberapa definisi operasional yang penulis maksud dalam pembahasan
makalah ini, antara lain:
Peranan adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat, yang dapat
terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya, yaitu : adanya kemauan. kemampuan dan kesempatan.
Masyarakat adalah masyarakat muslim, yakni kelompok warga negara Indonesia non
pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam pendidikan
Pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam[9]
terutama di sekolah formal maupun non formal.
Selanjutnya, pembahasan dalam makalah ini akan difokuskan pada rumusan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat perlu berperan dalam pendidikan agama;
2. Apakah yang mendasari peran serta masyarakat dalam pendidikan agama?
3. Apakah bentuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan
agama?
C. Dasar-dasar Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Diantara dasar-dasar yang menjadi landasan peranan masyarakat dalam
meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah:
1. Tanggung jawab individu masyarakat
Al-Syaibany yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai
berikut: “diantara ulama muktahir yang menyentuh persoalan tanggung jawab
adalah Abbas Mahmud Al-Akkad yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah
satu ciri pokok bagi manusia pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga
dapat ditafsirkan manusia sebagai “Makhluk yang bertanggung Jawab”. Sebagaimana
dalam Alqur’an,
Allah berfirman : Q.S. Ath.-Thur 21
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا
بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[10],
dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya.(QS. 52.Ath-Thuur: 21)
Allah berfirman: QS. At-Tahrim, 66 : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا
يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. 66. At-Tahrim: 6)
Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi
manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab
sosial dan menjadikan masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan
mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab
membina, memakmurkan, memperbaiki, dan memerintahkan yang ma’ruf melarang yang
mungkar dimana manusia memiliki tanggung jawab manusi melebihi
perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya
dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam
sekitar yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung
jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di
sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain itu
termasuk orang yang berada dibawah perintah dan pengawasannya seperti istri,
anak dan lain-lain.
Allah berfirman :QS. Ali Imran, 3 : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ
الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
الْفَاسِقُونَ (١١٠)
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik
(QS. 3. Ali Imran : 110)
Dengan demikian jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat
perseorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki
syarat-syarat tanggung jawab ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap
perbuatannya orang-orang yang berada dibawah perintah, pengawasan,
tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Ini berlaku saat diri pribadi,
istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan pemerintah.
2. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Reformasi yang dilakukan oleh
pemerintah dewasa ini adalah lebih mengedepankan peran serta masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan berlakunya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional berubah pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan. Pasal 54 Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:[11]
1. Peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
2. Masyarakat dapat berperanserta sebagai sumber pelaksana dan pengguna
hasil pendidikan. Sedangkan pasal 56 menyatakan:
Ø Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
Ø Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkhie.
Ø Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
D. Tantangan Pendidikan Agama
Sebelum menjelaskan tentang peranan masyarakat dalam peningkatan pendidikan
agama, ada baiknya diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan
pendidikan agama. Sehingga peranan yang dimainkan oleh masyarakat tersebut pada
gilirannya sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang saat ini
tengah dihadapi pendidikan agama. Diantara persoalan-persoalan tersebut adalah:
a. Krisis moral-akhlak
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita,
tentunya penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama
tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan
pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah
parah itu.
Pendidikan agama adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun
tidak mudah menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor
yang mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai
contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik
karena kebetulan bapak-ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan
yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau
kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum.
Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.
Keberhasilan pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di
sekolah saja, tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar
sekolah, yaitu pendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (nonformal).
Pengaruh faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang
serius pada dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak
yang jujur, tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka menjumpai perilaku
suap-menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela.
Di sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras,
tetapi dalam tayangan televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke
Indonesia banyak yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras
merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.
Perlu diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya
dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah
yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan
oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial,
politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi
menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan
lain-lain. Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya
hidup mewah, maka karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki
kendaraan bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun
asal bisa memiliki kendaraan bermotor.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja,
perkelahian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme”
dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik,
tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus
kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau
dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul
rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan
bersikap kurangajar! Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam pembentukan
perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai
bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan
indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi
meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang
terjadi, terjadilah!
”Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa
prihatin dan perlu proaktif untuk ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan
remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman,
remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan,
mereka yang melakukan kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari
keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak
punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indikator kegagalan atau
merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat Islam Indonesia.
b. Disorientasi fungsi keluarga
Fungsi keluarga yang dikenal sebagi tempat pendidikan utama dan pertama,
nampaknya saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi dalam setiap
lini kehiduapan. Fungsi keluarga yang semula menjadi basecamp pendidikan
pertama bagi anggota keluarga (anak, ibu dan bapak), saat ini mulai bergeser ke
luar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu yang sering disebut sebagai “madrosatul ula” saat ini sudah
banyak yang berkerja, berprofesi di luar rumah. Sehingga pada gilirannya
anggota keluarga, terutama anak-anak sering menjadi korban, kurang terperhatikan,
terutama dalam kebutuhan psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya.
Akhirnya mereka banyak yang sering melampiaskan kegiatannya di luar rumah, dan
terjerumus ke jurang kenistaan dan kehinaan.
c. Lemahnya learning society
Seiring dengan era globalisasi, dimana sikap individualitas semakin menguat
dan gaya interaksi antar individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersebut
telah berakibat pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di
lingkungan keluarga. Learning society secara praktek sudah dilakukan
oleh masyarakat Indonesia- meski belum secara maksimal- namun secara konsep
masih meraba-raba. Dalam batasan ini, adapun yang dimaksud dengan learning
society adalah pemberdayaan peran masyarakat dalam keluarga dalam bidang
pendidikan, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Selama ini peran
pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang baru mendapatkan perhatian.
Sementara pendidikan non formal dan informal di Indonesia belum mendapatkan
perhatian hanya dalam porsi yang sedikit.[12]
d. Menguatnya faham sekuler dan liberal
Diantara tantangan yang cukup serius yang dihadapi pendidikan agama adalah
menguatnya faham sekular dan liberal. Kedua faham tersebut tak jarang
menjadikan kebingungan di kalangan masyarakat; Sekularisme atau ( الما
نية ) adalah sebuah gerakan yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa
campur tangan agama. Ini berarti bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan
juga harus berdasar pada sekularisme.[13]
Sementara Liberalisme adalah faham kebebasan dalam memahami syari’at,
yaitu dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad yang menekankan aspek
kontekstualitas historis, rasio, sehingga hukum Islam menjadi relatif dan tidak
ada kepastian.
Padahal agama Islam yang merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai
agama yang universal dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan),
mempunyai pandangan yang serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah
dalam setiap persoalan (manhaj al-wustho(
e. Masih Kuatnya Manajeman Patriarki
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita
dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku
kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat,
misalnya dari unsur ketua yayasan, Pembina,, Pengawas, Pengurus, Kepala
Sekolah, bahkan Guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak
hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang
ada. Yang sudah barang tentu akan mengganggu pada profesionalitas manajemen
pengelolaan lembaga tersebut. Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama,
apabila manajemen yang digunakan masih berpusat pada manajemen keluarga
(patriarki), maka dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggung
jawabkan.
E. Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Berdasarkan pada tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003[14]
tersebut di atas, maka bentuk-bentuk peranan masyarakat dalam meningkatkan
pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi dan reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki
peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama.
Tanggung jawab orang tua[15]
dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan memberi dampak
yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri
teladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam
proses pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan peribadi yang
sempurna (berkeperibadian islami).
Di tengah-tengah terjadinya disfungsi keluarga sebagai lingkungan
pendidikan partama dan utama, adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini
untuk mengembalikan fungsinya sebagai “madrosatul ula”. Fungsi-fungsi anggota
keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun
anak, yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan, Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama dan keagamaan
Salah satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan
pendidikan agama dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa terutama pendidikan formal yang bercorak keislaman
yang dibawah naungan Kementerian Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau
sejenisnya masih cukup memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan
umum di bawah naungan kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan
agama (unit cost) tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah, selebihnya
(62 %) masih ditanggung anggota masyarakat (orang tua)[16].
Hal tersebut menunjukkan contoh konkret peran serta masyarakat sekaligus
kemandirian madrasah yang harus dipertahankan, sekaligus ditingkatkan.
Sementara itu mayoritas madrasah (91 %) dikelola oleh swasta dengan jumlah
keseluruhan satuan pendidikan madrasah sebanyak 40.258 buah.[17]
Peran serta masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk
penambahan bangunan madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid
Madrasah, dan saran penunjang lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh
masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana
Baitul Hikmah melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti
perpustakaan, dll.[18]
Wakaf pada asalnya adalah[19]
bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya untuk kebaikan, atau harta
yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal.
3. Penguatan Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society[20]
adalah Masjid, Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir
tiap RW memiliki Masjid atau Musholla, yang secara umum mempunyai jama’ah
masing-masing (yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam kontek ini Masjid
telah berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan
keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang agama telah
berdiri di Masjid selama berabad-abad sehingga sampai sekarang. Namun di era
teknologi informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan
kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, musholla dan langgar pada saat ini
berkurang. Jutaan mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas
shalat magrib sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan
televisi, menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.
Dalam kondisi yang seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat
dalam mengembalikan kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning
society melalui pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll.,
menjadi sangat penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreathf.
Selain itu untuk meminimalistir distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat
dipelopori juga gerakan TV dan internet sehat, dll.
4. Berpartsipasi aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas
pendidikan agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite
Sekolah/Madrasah sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003, bahwa masyarakat dapat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang pendidikan agama.
5. Mendorong dan mendukung semua program Pendidikan Agama di
madrasah/sekolah;
Peran serta masyakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat
dilakukan dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang
terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program kurikuler,
misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca
Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, seperti di Al-Azhar, dan Islamic
Fullday School, atau beberapa sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana
Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler,
seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6. Mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu
Diakui atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih
dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah
umum lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan para pengamat
pendidikan Islam. Maka salah satu peran serta aktif masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan mengembangkan
lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu.
Untuk menjadikan lembaga pendidikan agama dan keagamaan (seperti Madrasah)
yang bermutu, maka menurut Afifuddin[21]
aspek-aspek suatu sekolah/madrasahnya dipersyaratkan mempunyai standar mutu
pula, antara lain aspek administrasi/manajemen, Aspek Ketenagaan, Aspek
Kesiswaan, Aspek Kultur Belajar, Aspek Sarana dan Prasarana. Namun demikian,
saat ini telah bermunculan beberapa sekolah/madrasah bercorak
keagamaan/Ke-Islaman yang telah dianggap berbasis mutu, seperti MIN 1 Malang
Jawa Timur, SMU Insan Cendikia Serpong-Tangerang, SMU Madania, Parung-Bogor,
Madrasah Pembangunan UIN jakarta, AL-Azhar Pondok Labu-Jakarta, dll.[22]
7. Penguatan Manajemen Pendidikan Agama
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas
dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah.
Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua
Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah
mayoritas terdiri dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur
kebersamaan, dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang
banyak terjadi adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah
adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah
tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur
manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian
program-progam sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena
akuntabilitas dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara
ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi
terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur
kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
F. Penutup/Kesimpulan
Secara garis besar peningkatan “peranserta” masyarakat dalam pemberdayaan
dan peningkatan pendidikan keagamaan dapat dikerangkakan sebagai berikut; Pertama;
peningkatan peranserta masyarakat dalam pemberdayaan managemen pendidikan.yakni
peningkatan pengembangan managemen yang lebih accountable, baik dari
segi keuangan maupun organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui peningkatan
ini, sumber-sumber finansial masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara
lebih efisien untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam;
begitu juga dari segi organisasi, sehingga menjadi lebih viable dan durable
dalam perubahan dan tantangan zaman. Kedua, peningkatan peran
serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas dan
berkeunggulan, yang pada gilirannya akan mendorong perkembangan madrasah dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya menjadi “centers of exellence “
yang mengahsilkan pendidik yang berparadigma keilmuan “komprehensif”, yakni
pengetahuan umum dan agama, plus imtaq. Ketiga; peningkatan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang dapat dalam
masyarakat, sehingga system pendidikan Islam tidak terpisah, atau menjadi
bagian integral dari masyarakat muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan
ini, madrasah atau perguruan lainnya dapat menjadi “core’’ dari
“learning society”, masyarakat belajar, yang gilirannya membuat anak didik
keluaran lembaga pendidikan Islam lebih berkualitas, capable, fungsional
dan integrated dengan masyarakat.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat Islam dalam masa dua atau tiga
dekade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan
masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun masih ada kekurangan dan
hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif
bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam
Indonesia.
Kesadaran masyarakat untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin
kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat
dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama”. Melalui media masa,
munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren
kilat, taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.Gerakan masyarakat dalam
kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat
lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita
carikan jalan keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin (2010), Bahan Perkuliahan Manajemen Madrasah,
Pascasarjana UIN Bandung
Al-Syaibani, Omar Mohammad Al-Toumy (1979), Falsafah Pendidikan Islam,
Bulan Bintang, Jakarta
Azra, Azumardi (1999), Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, cet.1, Jakarta
Darajat, Zakiah (2009 ), Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Everett, M. Rogers (1995), Diffusion of Inovation, The Free
Press, New York
Hidayati, Umul (2007), Permaslahan Madrasah pada Era Otonomi Daerah,
dalam Jurnal EDUKASI
Nanang Fattah (2007), Indikator Kemandirian Pembiayaan Madrasah,
dalam Jurnal EDUKASI, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang
dan Diklat Kemenag RI, Jakarta
Nizar, Samsul (2002), Filsafat pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan
Praktis, Cet.1 Ciputat Pers, Jakarta
Ravik Karsidi (2005), Sosiologi Pendidikan, UNS Press, Surakarta
Tirtarahardja, Umar dan S.L.La Sulo (2005), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 8 tentang hak masyarakat.
www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas (diunduh, 31 Maret 2011)
WAMI Lembaga Penelitian dan Penelitian (1995), Gerakan Keagamaan dan
Pemikiran, , terjemahan bahasa Indonesia , Penerbit Al-Ishlahi Press,
Jakarta
Zuhairini,dkk. (1992), Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Cet.3,
Jakarta
[1] Azumardi Azra, Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, M. (Jakarta logos Wacana
ilmu, 1999), cet.1, hlm. 75
[3] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979) , cet.1, Hal163
,hlm.179
[9] Mata pelajaran pendidikan agama
(kita ambil contoh pendidikan agama Islam yang penulis anut) mengandung materi:
(1). Keimanan; (2). Ibadah; (3). Alquran; (4). Akhlak (budi pekerti); (5).
Muamalah (hubungan sosial); (6). Syari’ah (hukum agama); dan (7). Tarikh
(sejarah).
[10] Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman
itu ditinggikan Allah derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan
dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga.
[12] Berkaitan dengan masalah ini Torsten
Husen (1971) menekankan adanya suatu kenyataan bahwa sekolah itu adalah dan
haruslah merupakan bagian integral dari masyarakat disekitarnya, dan sama
sekali tidak boleh bergerak didalam kehampaan kehidupan sosial.
[13] (Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,
Lembaga Penelitian dan Penelitian WAMI, terjemahan bahasa Indonesia , Penerbit
Al-Ishlahi Press, 1995 hal. 281)
[14] a) Peran serta Masyarakat (PSM)dalam
pendidikan secara umum, sebagaimana dimaksud dalam UU Sisdiknas tersebut,
adalah:
a) Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan
jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan
anak ke sekolah/madrasah;
b) Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga.
Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan
menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga;
c) Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang
diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite Sekolah/Madrasah
memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan
orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
d) Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk
berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya;
e) Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan
sekolah/madrasah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi
banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya;
f) Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan.
Misalnya, sekolah/madrasah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan
penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain
sebagainya;
g) Peran serta dalam pengambilan keputusan. orangtua/masyarakat terlibat
dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan
ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.
[15] Tanggung jawab orang
tua dalam mendidik anak juga tercermin dalam Alqur’an Surat At-Tahrim ayat: 6
: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan
api neraka..”
[16] Nanang Fattah, Indikator Kemandirian
Pembiayaan Madrasah, dalam Jurnal EDUKASI, Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Balai Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2007, hlm. 35.
[20] Samsul Nizar,Filsafat pendidikan
Islam,Pendekatan Historis dan Praktis, Jakarta, Ciputat Pers 2002, Cet.1,
hal176
[22] A Waca zumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, M. (Jakarta logos na
ilmu, 1999), cet.1, hlm. 73-79
No comments:
Post a Comment