REFLEKSI ATAS
Makmuri Sukarno*
Abstrak
Pemerintahan SBY-JK selama ini telah mengisi tuntutan
pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar secara lebih konkrit, namun pelibatan
otonomi sekolah/madrasah untuk menggali in-put
berupa dana masyarakat terutama pada tingkat lanjutan kurang disertai
akuntabilitas dan partisipasi publik dan memunculkan kecenderungan melebarnya
kesenjangan sosial pada pendidikan. Sehingga isu kualitas out-put dan
akuntabilitas serta menyempitnya kesempatan pendidikan bagi mereka yang
kekurangan biaya merupakan tantangan yang nyata ke depan. Oleh karena itu upaya
pemerintah pada peningkatan mutu, partisipasi publik dan kebijakan afirmatif
kepada kelompok miskin perlu mendapat dukungan sistemik yang memadai.
Although SBY-JK’s government has been sharpern in
responding to the demand for basic education, nevertherless, the utilization
of school/madrasah’s autonomy for
accummating money from the community as an in-put, mostly in secondary
level, was lacking in accountability and
public political participation and tending to excarcerbate social gap in
education. Therefore, issues on out-put, public accountability and widening the
chance of those who have not enough financial supports are becoming great
challanges in the future. Accordingly, government’s policy on these issues need
to be delivered through an eduquate system.
Pendahuluan
Di negara-negara
berkembang, upaya menuju masyarakat sejahtera dan demokratis mengambil pilihan
prioritas kebijakan yang berbeda-beda, sebagai upaya menebak mana (lebih dulu) telor atau ayamnya pada realitas
kemiskinan, pendidikan dan demokrasi. Di samping melalui politik pendidikan,
sebagian negara mengambil jalan dengan menghidupkan pendidikan politik melalui
kehidupan multi-partai dan penegakan hukum. Namun demikian sebagian besar yang
lain mengkombinasikannya dengan upaya utamanya yaitu peningkatan kesejahteraan
ekonomi, bahkan menjadikan pendidikan dan kebijakan yang lain sebagai alat
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar upaya model terakhir ini
gagal karena pemerintah terjebak menjadi
rezim ’developmentalis’ dan masyarakat kehilangan kontrol dan aksesnya terhadap negara dan hasil-hasil
pembangunannya. Bagi Indonesia,
keruntuhan ekonominya menyibakkan realitas hutang dan kemiskinan, sistem-sistem
(termasuk sistem pendidikan) yang ketinggalan dan kegagapan pengetahuan dan
prilaku demokrasi. Di samping itu, politik kependudukan yang anti natalis
(mengurangi angka kelahiran) selama dua dekade
sebelumnya, mewariskan struktur penduduk yang didominasi usia 15-64
tahun dua dekade ke depan. Untuk menata kembali ekonomi, menghadapi globalisasi
dan tuntutan demokratisasi, maka generasi baru ini membutuhkan pendidikan yang tepat, lapangan kerja dan tatanan sosial politik ekonomi yang
memadai.
Sistem pendidikan,
menurut hemat kami merupakan bangunan sekaligus ihktiar yang sangat strategis
untuk itu, oleh karena sistem
pendidikan mengandaikan adanya pembagian kewenangan antara negara dan
masyarakat dan tata-kelolanya yang
meliputi pemeliharaan, kontrol, kreasi, adopsi dan distribusi nilai,
pengetahuan, ketrampilan maupun tata-hubungan kuasa. Oleh karena itu kebijakan
pendidikan yang tepat pada umumnya harus secara struktural dapat memadukan daya
masyarakat, negara dan dunia usaha secara tepat dan secara individual memicu
mobilitas kultural, vertikal dan
horisontal individu yang ketiganya pada
gilirannya mengembangkan produktifitas budaya, sosial dan ekonomi sekaligus
menuntut pengembangan habitat yang demokratis. Namun demikian, bila kebijakan
yang diambil salah, upaya pendidikan dapat jatuh menjadi sekedar upaya
mereproduksi tatanan dan struktur
sosial, ekonomi dan politik lama
dan memberikan bahan ajar-materi didik,
sistem pengelolaan dan akses pendidikan maupun peluang kerja yang tidak memadai
dan tidak berkeadilan. Ketertinggalan struktural (tata hubungan kuasa) dan
budaya (nilai, ilmu, teknologi dan tata-nilai hubungan kuasa), akan lebih mempersulit bagi upaya transisi
menuju demokrasi dan upaya memenangkan kompetisi dari globalisasi.
Tulisan ini dimaksudkan
untuk mengamati arah dinamika pendidikan
kita sepanjang tahun 2005 ini dengan kewaspadaan seperti di atas, melalui
isu-isu kebijakan yang berkembang di beberapa daerah maupun yang dimuat di media
massa.
Tantangan
Kebijakan Bagi Pendidikan Kita
Krisis
multidimensi mengandaikan merosotnya
kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik, ekonomi serta sistem pendidikan yang lama karena
sistem-sistem itu dianggap tidak mampu
lagi mencerna masalah-masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan
kontekstual yang baru. Secara umum sistem yang demokratis (aspiratif) dan
kompetitif (mampu menjawab tuntutan kontekstual yang baru) adalah sistem yang harus dilahirkan melalui
upaya pembaharuan. Upaya pembaharuan sistem pendidikan menghadapi tantangan
kebijakan yang mendasar, yaitu pertama, masalah yang dihadapi sistem
makronya yaitu isu yang lebih bersifat
sosial-politik, berupa masalah pluralisme dan demokratisasi, desentralisasi,
penguatan civil society dan tuntutan
akan hak pendidikan warga negara dan pengembangan partisipasi masyarakat. Kedua, isu-isu yang boleh dikatakan sebagai masalah
ekonomi-demografis yaitu hutang luar
negeri yang besar, ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan
tantangan ’lost generation’ akibat krisis,
globalisasi dan pasar bebas.
Kegagalan (dan keberhasilan) kebijakan Orde Baru dengan lebih
memprioritaskan (beberapa) masalah yang kedua (ekonomi-demografis), agaknya
memberikan pelajaran berharga bahwa kedua masalah baik ekonomi-demografis
maupun sosial-politik) itu perlu ditangani secara seimbang dalam kebijakan
pendidikan ke depan.
Di
samping itu pemerintah juga menghadapi masalah-masalah lama yang masih belum
terpecahkan adalah kuantitas cakupan yang relatif rendah pada jenjang
pendidikan menengah dan tinggi, sentralisme dan korupsi di jajaran birokrasi
pendidikan, kualitas literacy, relevansi kinerja pendidikan yang rendah di
depan tuntutan pasar dan tuntutan pembelajaran yang cerdas dan demokratis,
serta kesenjangan pelayanan pendidikan baik dalam perspektif kelembagaan
(negeri vs swasta, sekolah vs madrasah), maupun geografis.
Oleh karena
itu ikhtiar reformasi pendidikan Indonesia menghadapi tantangan kebijakan yang
berdimensi luas dan mendasar, memerlukan
perubahan atau perbaikan orientasi, penataan kembali sistem dan institusi governance serta tata kelola, bahan ajar/materi didik, model
pembelajaran dan ketersediaan sarana-perasarana maupun pendidiknya.
Reorientasi Kebijakan Pendidikan dan Penyesuaian
Struktural
Secara normatif,
reorientasi kebijakan (pendidikan) telah diambil, terlihat pada tekad baru yang termuat pada dasar-dasar
kebijakan pendidikan pasca krisis. UUD (amandemen) pasal 31, misalnya, menempatkan
pendidikan sebagai hak warga negara sekaligus kewajiban bagi warga usia sekolah (wajib belajar) untuk
mengikuti wajib belajar dan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakannya. Undang-undang No.20/2003
pasal 6,
11 dan 34 mengulangi tekad baru
tersebut. Kewajiban juga dituntut kepada orangtua untuk memberikan pendidikan
dasar dan masyarakat untuk mendukung sumberdayanya (pasal 7 dan 9). Tekad yang
sangat populer adalah bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal
20 persen dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) di luar gaji pendidik dan
pendidikan kedinasan (UUD 45 pasal 31 (4) dan UU Sisdiknas pasal 49 (1)).
Kata-kata yang mewajibkan keempat pihak serta besaran anggaran untuk mendukung
kewajiban itu belum pernah terlihat pada
paket kebijakan pendidikan sebelumnya. Tekad baru juga terlihat pada upaya untuk menempatkan kembali demokratisasi
sebagai salah satu tujuan pendidikan.
Selama lima belas tahun tujuan seperti itu hilang dari teks
undang-undang, digantikan dengan menekankan tujuan agar peserta didik
’bertanggungjawab’[2].
Bagian yang menempatkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan secara demokratis
adalah munculnya di satu pihak hak masyarakat untuk berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (pasal 8)
dan di lain pihak hak pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengarahkan,
membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan (pasal 9). Orientasi-orientasi dan tekad di atas
menempatkan pendidikan sebagai ikhtiar penting bangsa dan mengandaikan perlunya
reposisi peran masyarakat dan pemerintah dalam sistem dan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Kendati demikian,
orientasi dan tekad baru yang indah itu
harus berhadapan dan dengan demikian harus disesuaikan dengan
ketiga tantangan yang telah disebutkan
sebelumnya (yaitu makro ekonomi-demografi, sosial-politik terutama
desentralisasi-otonomi, dan tantangan ’carry-over’
yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya). Semasa kampanye, program
bidang pendidikan SBY-JK sendiri, (Permatasari & Wisudo, Kompas, 23-11-2004) ada enam:
1.
Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan akses
yang lebih besar kelompok yang ’tertinggal’,
2.
Meningkatkan pendidikan ketrampilan dan
kewirausahaan/non-formal yang bermutu,
3.
Meningkat penyediaan dan pemerataan sarana-prasrana dan
tenaga pendidik,
4.
Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik,
5.
Menyempurnakan manajemen dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam proses perbaikan mutu, dan
6.
Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya
untuk membentuk watak dan kecakapan
hidup.
Sepuluh RPP Sisdiknas
selesai disusun. RPP usia dini, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan
tinggi, pendidikan non-formal dan informal, jarak jauh, pendidikan kedinasan,
tenaga kependidikan, standar nasional, pendidikan kejuruan, vokational dan
profesi, dan RPP peran serta masyarakat. Hampir diselesaikan RPP pendidikan
agama dan badan hukum pendidikan (Media
Indonesia, 14-1-2005). RPP yang mendesak di tahun 2005 untuk diterbitkan
menjadi PP adalah RPP Wajib Belajar 9 Tahun, RPP tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah dan RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan (Kompas, 23-02-2005).
Namun demikian, setelah
lebih dari setahun pemerintahan SBY-JK,
artikulasi kebijakan Depdiknas[3] setidak-tidaknya yang termanifestasikan permukaannya
di media dan terrasakan di beberapa lokasi penelitian terlihat melanjutkan supaya pemerintahan
sebelumnya, yang menghubungkan empat hal sekaligus: orientasi pendidikan yang
baru, tata pemerintahan dan manajemen (pendidikan) baru yang bergerak ke arah
desentralisasi, keterbatasan keuangan
negara akibat kurang-lebih sepertiga APBN untuk melunasi hutang (Baswir, Kompas 10-5-2005), di samping
merealisasikan secara bertahap tuntutan Konstitusi yaitu alokasi APBN/D 20
persen (tahun 2009) untuk sektor pendidikan terutama untuk program wajib
belajar 9 tahun.
Secara praktis,
manifestasi artikulasi kebijakan itu berbentuk rajutan politik (political crafting) atas peluang dan
kendala orientasi, konstitusi, sistem
makro, anggaran, dan perhitungan atas resiko
yang diantisipasi dari resistensi birokrasi, legislatif dan publik yang dapat
muncul. Dengan kata lain pemerintah mencoba merajut kebijakan yang layak (etis) menurut orientasi (filsafat
dan konstitusi) pendidikannya dan penyelenggaraannya laik secara tehnokratis birokrasi dan politik publik. Bentuknya yang paling jelas adalah (kesibukan) meneruskan penataan ulang
kelembagaan yang bersifat governance,
yang pada gilirannya menuntut perubahan manajemen serta restrukturisasi
anggaran maupun sumber-sumbernya. Secara ringkas kesibukan itu lebih difokuskan
pada upaya membangun governance dan manajemen
pendidikan, di atas fondasi
tata-pemerintahan yang desentralistik yang sedang dibangun dan orientasi dan
tuntutan pendanaan yang ’baru’ untuk pendidikan, terutama untuk Wajib Belajar 9
Tahun. Dengan kata lain pemerintah
selama setahun sibuk dengan penataan
sistem, in-put terutama anggaran dan –sebagaian-- proses, (kelembagaan governance, sistem
manajemen dan anggaran). Masalah in-put
lain yang sangat penting, seperti
bagaimana kurikulum, pola pikir guru dan metode pembelajaran harus berubah
sesuai dengan tuntutan struktural dan kultural yang baru (agar lebih demokratis
dan mencerdaskan), belum banyak disentuh. Alih-alih masalah out-put dan efisiensi eksternal (seperti
seberapa relevan peningkatan cakupan dan kualitas pendidikan dengan
pengembangan demokrasi dan ekonomi), seakan-akan menjadi hilang dari perhatian.
Dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih tersita perhatiannya untuk
perbaikan konteks pembelajaran dan (agak?) melupakan teks (isi) yang harus
diajarkan. Bila masalah isi ini terlalu
lama dilupakan maka akan menjadi ’bom
waktu’ di kemudian hari.
Kebijakan yang menonjol
pada tahun pertama ini adalah menata ulang lembaga Depdiknas (misalnya dengan
memecah Dirjen Dikdasmen menjadi dua) dan mengefektifkan lembaga-lembaga di
bawahnya, (termasuk lembaga governance-nya yang berada di masyarakat) agar
memungkinkan pengembangan --bukan projek, melainkan terutama—program-program yang bersifat transisional
dari sentralisme ke desentralisasi,
re-strukturasi anggaran dengan cara mencoba memobilisasi dana dari bawah
(masyarakat) dengan memanfaatkan polical leverage yang tersedia. Enam
agenda 100 Hari Mendiknas, juga berada dalam koridor itu[4].
Boleh dikatakan, kebijakan yang harus dan telah diambil adalah ’structural adjustment’. Pilihan structural adjustment ini dibayangi oleh
resistensi tiga pihak: pihak yang merasa
orientasi pendidikannya tidak diakomodasi, pihak yang terkurangi ruang
sosial-ekonomi dan politiknya akibat desentralisasi-otonomisasi, dan pihak yang
secara manajerial (terutama akibat re-strukturasi sumber dan penyaluran
anggaran yang menyertainya) merasa dirugikan.
Orientasi Pendidikan Sebagai Palagan Politik
Kendati kebijakan
pendidikan selama setahun terakhir lebih banyak ditandai oleh upaya penyesuaian
struktural, namun demikian bentuk penyesuaian struktural yang diambil sering
dianggap bersumber pada pilihan aliran (-aliran) politik pendidikan dan pilihan
tehnokratis yang mungkin. Agaknya hal itu juga nampak pada orientasi pendidikan
yang secara verbal diutarakan dan bentuk kebijakan yang diambil oleh antara
lain Mendiknas.
Orientasi pendidikan yang
dipilih secara formal adalah seperti yang termaktub dalam UUD ’mencerdaskan
bangsa’ dan mengembangkan potensi manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya
(UU 20/2003 Sisdiknas). Namun demikian, sebagian terjemahan oleh Mendiknas
secara rethorik dan kebijakan Depdiknas atas orientasi itu nampaknya menekankan
politik eklektis (antara neo-konservatisme dan progresif humanistik dan sedikit
orientasi radical education), kendati
mencoba menghapus kenangan ’sekolah pembangunan’ yang pernah dimunculkan di
jaman Orde Baru. Mendiknas agaknya mencoba
mengakomodasi pertentangan orientasi politik pendidikan sehingga lebih
bersifat eklektis-politis, mengambil elemen-lemen yang layak dan laik untuk
dipilih secara politis.
Nada humanistisnya
terlihat pada kutipan di bawah ini: “Mendiknas akan membawa paradigma
pendidikan kita tidak sekedar menempatkan manusia sebagai alat produksi.
Manusia harus dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Ia tidak ingin terjebak
pada teori ekonomi neo-klasik, teori yang menempatkn manusia sebagai alat
produksi, dimana penguasaan iptek bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan
kapitalis. “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya” (kompas 22/10).
“Saya ingin ke depan
secar` bertahap antara pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu bisa dibangun
bersama, sehingga masalah buta huruf dan putus sekolah bisa dikurangi,
sementara di sisi lain kita bisa menghasilkan SDM berkualitas yang mampu
bersaing di dunia global”. Menurutnya
orientasi pendidikan selama ini salah kaprah. Pendidikan saat ini lebih mengarah
ke sains, hal ini sebagai hasil dari teori neo-ekonomi yang menjadikan SDM
sebagai bagian dari proses produksi. … Ia berjanji agar pendidikan nantinya
akan menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, beretika,
berestetika dan berkepribadian’ (Media Indonesia, 22-10-04).
Nada humanistik yang dilontarkan
itu menggembirakan kelompok humanistik, tetapi mereka menagih operasionalisasi dari kebijakan
tersebut. Salah satu eksponennya adalah
Waras Kamdi (Kompas, 26-10-04) yang menyebutkan bahwa :
”Jika paradigma baru Mendiknas
menjadi prioritas kebijakan, ini akan berimplikasi pada perubahan mendasar:
visi kurikulum dari visi kurikulum dengan visi efisiensi social ke visi kurikulum fleksibel dan egaliter, dari
industrialis kapitalis ke demokratis”.
Secara umum hal yang ditagih
kelompok humanistik – demokratis dapat dikatakan masih belum menjadi prioritas
pemerintah.
Nada neo-konservatif kebijakan Depdiknas terlihat
bukan terutama pada rethorik ”menghasilkan SDM berkualitas yang mampu bersaing
di dunia global” di atas, melainkan juga
pada manajemen pendidikan yaitu pengembangan pembiayaan, bukan oleh negara seperti yang sudah-sudah,
melainkan dengan menggali lebih banyak dari masyarakat. Pengenalan Manajemen
pendidikan berbasis sekolah (MBS) yang kemudian diubah menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) adalah untuk tujuan tersebut. Menurut
Aronowitz & Giroux (1987:163-183), ”Neo-conservatisme pada dasarnya prihatin akan kemampuan siswa untuk
menghadapi persaingan ekonomi global, international
division of labour (pasar bebas):
Krisis ekonomi sebagian diakibatkan oleh lemahnya pekerja karena tidak
efektifnya sekolah, terutama kerena pendidikan sangat berpusat kepada murid
(humanistik), bukan kepada tantangan yang dihadapi di depan. Maka perlu sekolah
utk penyiapan human capital. Yang diperlukan adalah meningkatkan sekolah
melalui perombakan kurikulum dan manajemen pendidikan yang memberikan
tanggungjawab kepada masyarakat bukan pengembangan pembiayaan oleh negara”
Nada politik pemerintah,
yang dalam istilah Aronowitz dan Giroux adalah Neo-konservatisme inilah yang
menjadi ajang paling sengit bagi kelompok yang menuduh pemerintah menerapkan
politik neo-liberal dan bagi kelompok populis, yang resonansinya berbunyi
”orang miskin dilarang sekolah’. Ini semacam jeritan para populis karena
menyaksikan beban biaya yang besar bakal menimpa rakyat.
Sedangkan nada radical education dari pemerintah,
adalah carrot yang terlihat terutama
pada Undang-undang Sisdiknas yang menempatkan pendidikan sebagai arena politik
publik, yaitu: hak masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (pasal 8) dan di lain
pihak hak pemerintah dan pemerintah daerah untuk (hanya) mengarahkan,
membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan (pasal 9). Kedua,
partisipasi publik disalurkan secara resmi melalui lembaga yang
merepresentasikan publik yaitu Dewan Pendidikan/Komite Sekolah.
Radikal education, menekankan bahwa tanpa komitmen
pada upaya pembebasan, maka sekolah akan menjadi instrumen dominasi oleh
kelompok dominan. Untuk menghindarinya,maka perlu pendidikan diletakkan dalam
ruang publik dimana diperlukan struggle dan keterlibatan yang lebih luas bagi
murid, orangtua dan komunitas dalam perencanaan dan pembelajaran, agar melalui
keterlibatan dan debat publik masalah politik menjadi lebih pedagogikal
(Aronowitz & Giroux (1987:209-19).
Implikasi pedagogis yang
dituntut oleh kelompok radical education
adalah apa yang diutarakan Gramsci:
Keinginan Gramsci, mengembangkan kemampuan murid dari sub-altern untuk mendapatkan pengetahuan
sama dengan anak kelas atas, dan mampu secara kritis melihat sejarah
ketertindasannya sendiri. Ia menekankan perlunya satu atap sekolah yang tidak
membedakan vocational dan academic education (ibid.) Tuntutan kelompok ini, terutama agar
pendidikan benar-benar ditaruh di altar publik, atau ’mimbar oemoem’ sebagai hal yang dicita-citakan Dewantara (1945
[1963]: 166) masih jauh sekali realisasinya, terbukti al. dari kriminalisasi
oleh Mendiknas bila seseorang ’mengumumkan’ draft Renstranya.
Menghadapi
tututan-tuntutan orientasi pendidikan yang berbeda-beda di atas, kendati
Mendiknas telah mengungkapkan pandangannya yang bernada seperti
humanistik-demokratik, namun belum
menguraikan dan menderivasikannya menjadi program nyata. Bahkan tanggapan
pemerintah terhadap isu di atas masih sangat kurang. Bahkan muncul pertanyaan
mengapa civic education tidak (belum) dimasukkan sebagai butir Ujian
Nasional, padahal penting untuk
demokratisasi. Demikian pula
upaya pemerintah untuk menempatkan pendidikan pada ruang (politik) publik (yang
bernada radical education) belum
terlihat nyata. Hal yang telah kuat terasa justru nada neo-konservatif-nya,
yaitu biaya pendidikanlah yang diberikan ke ruang publik.
Dilihat dari tantangan
besar yang terbentang di atas, nampaknya Depdiknas masih terlalu disibukkan
kepada pemecahan masalah yang berhubungan dengan ’structural adjustment’
sehingga seakan-akan belum sempat mempersiapkan kerangka pendidikan yang
tepat dan mempersiapkan gurunya secara
baik untuk menyongsong masalah di atas, yaitu mengembangkan pembelajaran yang
humanis-demokratis serta membangun lembaga partisipasi publik.
Model
Pemerintahan dan Manajemen
Orientasi dan tekad baru berada dalam kondisi dana yang
terbatas. Itulah tantangan yang nyata dihadapi pemerintah. Orientasi baru yang
lebih demokratis dan kewajiban merestrukturasi lembaga agar sesuai dengan
tuntutan desentralisasi kemudian ditata
oleh pemerintah (Depdiknas) dengan cara sebagai berikut.
Pertama, dengan cara membangun model governance yang memungkinkan
pemerintah membagi kewenangan –dengan demikian juga beban pembiayaan dan
hak serta tanggungjawab—dengan pemerintahan di daerah dan masyarakat. Pembentukan lembaga seperti Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah (Kepmendiknas 044/2002) adalah antara lain untuk tujuan itu,
diteruskan oleh pemerintah yang sekarang. Di tengah anggaran Negara yang cekak
karena hutang, agaknya pemerintah
sekarang melihat bahwa sumbangan masyarakat masih sangat rendah, rata-rata
hanya sepertiga dari anggaran sekolah (di luar gaji) (McMahon & Suwaryani,
2002). Pemerintah agaknya mengadopsi pandangan bahwa mereka yang membayar
(sekolah) akan lebih menghargai pendidikan daripada mereka yang tidak membayar.
Di samping itu berdasarkan hasil-hasil studi, terbaca bahwa semakin besar
kontribusi masyarakat akan lebih efisien pula
sekolah dalam mengelola sumberdana (Bray, 1997, Jimenez & Paqueo,
1993, james, King & Suryadi, 1996, dikutip dari Draft Indonesia Education Sector Review, 2004, Chapter II, 2-7 s/d
2-8). Oleh karena itu, bagi pemerintah, kontribusi masyarakat perlu
ditingkatkan.
Kedua, model manajemen yang memungkinkan pemerintah
(Depdiknas) membagi beban tata-kelola kepada lini manajemen yang lebih rendah (provinsi dan terutama
kabupaten/kota, serta sekolah). Setelah
diluncurkan otonomi Perguruan Tinggi (berupa BHMN dengan Majelis Wali
Amanahnya), realitas otonomi daerah yang
memberikan otonomi kepada daerah kabupaten/kota, ditindaklanjuti dengan UU
Sisdiknas, Depdiknas
mengoperasionalkannya sampai ke bawah
dengan memberikan otonomi kepada sekolah (dengan Manajemen Pendidikan
Mutu Berbasis Sekolah), RPP badan hukum pendidikan dan bahkan otonomi guru
(dalam metode dan evaluasi) pembelajaran dengan orientasi KBK, dan RUU Guru)
dan memberikan ruang bagi partisipasi publik (DP dan KS) dan partisipasi
swasta. Ini adalah sharing
tanggungjawab. Pemberian kewenangan
(otonomi) ”ke bawah” tersebut dimodali pembiayaan dari pusat dan disertai
kewenangan untuk mengembangkan kreatifitas program dan kemampuan keuangannya
sendiri, antara lain dengan berhubungan langsung mencari dana ke masyarakat.
Kendati demikian, Pusat memberikan rambu-rambu berupa Standardisasi (Standard
Pelayanan Minimum) dan evaluasi (UN) dan BSNP.
Secara garis besar, regulasi-regulasi di bidang pendidikan bertujuan untuk
membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan
bertolak menuju pendidikan di daerah
yang lebih otonom. Lembaga-lembaga pendidikan di daerah kemampuannya bervariasi
dan berada di antara empat tahap
yaitu: pra-formal, formal, transisional
dan otonom. Menuju pendidikan di daerah yang lebih otonom inilah yang
sedang diupayakan melalui kebijakan-kebijakan di atas. Skenario besarnya
nampaknya adalah bahwa pemerintah Pusat-Daerah, sekolah dan masyarakat perlu
berbagi hak dan tanggungjawab secara lebih seimbang, dengan cara meningkatkan otonomi dan peran
bagi pihak –pihak yang dekat dengan masyarakat yang dilayani. Tujuannya adalah
agar dengan otonomi sekolah, standard-standar pelayanan oleh sekolah dan
‘bantuan’ yang diberikan pemerintah, lembaga pendidikan lebih berhasil
meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan, efisiensi, transparansi dan
demokratisasi. Bila otonomi tercapai di beberapa sekolah, maka pemerintah akan
lebih terfokus untuk mendorong lembaga pendidikan, siswa maupun anak usia
sekolah yang masih tertinggal. Inilah peran sebagai agen ‘keadilan dan
pemerataan’ yang nampaknya akan dimainkan oleh pemerintah.
Kedua rajutan politik itu secara
konsepsional pemerintah menginginkan adanya otonomi penyelenggaraan pendidikan
dengan mengalihkan fungsi pemerintah sebagai operator menjadi fasilitator. Di
lain pihak menjamin lahirnya pendidikan yang dikelola secara nirlaba. Ini mau
tak mau menimbulkan palagan politik baru bagi para pemangku kepentingan
penyelenggaraan pendidikan. Artinya terdapat pihak-pihak stakeholders yang
kemudian tergeser dan pihak-pihak lain yang diuntungkan dan keduanya mencoba
bergulat memperebutkan ruang politik ekonomi pendidikan yang berubah.
Masalah yang dikhawatirkan muncul adalah:
Pertama, akibat desentralisasi adalah melemahnya kemampuan
pemerintah pusat sebagai kekuatan untuk mengurangi gap antara (daerah) yg kaya
dan (daerah) yang miskin. Namun demikian pengurangan ataupun pelebaran gap itu
juga tergantung bagaimana daerah sendiri mengalokasikan dananya, khususnya
kepada kelompok miskin di masing-masing daerah tersebut. Dengan kata lain dari
segi pembiayaan akan tergantung bagaimana APBN dan APBD itu diterapkan.
Kemampuan Pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan tergantung pada
bagaimana kebijakan DAU, perimbangan dan DAKnya. Hasil penelitian (World Bank, 2004) memperlihatkan bahwa
politik DAU oleh Pusat relatif berhasil mengurangi kesenjangan antara daerah
dibandingkan politik APBD di daerah yang terlihat belum berhasil mengurangi
kesenjangan di dalam daerah. Diharapkan dampak
DAK dapat memeratakan, dan dana imbal-swadaya kendati berhasil
memobilisasi dana masyarakat. Namun demikian pengelolaan keduanya masih rentan
terhadap suap-projek (Ade Irawan
(ICW)-diskusi) dan korupsi, karena al.
belum banyak melibatkan akuntan publik dan konsultan konstruksi (Imam Prasojo, dikutip
Kompas, 1-5-04). Di samping itu pemberian block grant juga belum banyak dikaitkan –padahal perlu—dengan upaya
capacity building, terutama untuk memperkuat
lembaga partisipasi publik.
Kedua, apakah upaya mengalihkan tanggungjawab
pembiayaan ke masyarakat oleh pemerintah tidak dijadikan preseden, terlihat pada RPP Wajib Belajar, pemerintah
seperti mengelak dari kewajibannya mendanai wajib belajar sembilan tahun (yang
telah ditentukan Konstitusi dan UU Sisdiknas[5],
(Kompas, 12-5-05). (Upaya untuk mengelak dari alokasi 20 % APBN yang telah
’disalahkan’ Mahkamah Konstitusi ini (Kompas, 25-10-2005), juga terlihat dari skenario lima menteri
jaman Megawati yang ternyata diikuti pemerintah sekarang (Kompas, 23-02-2005).
Demikian pula dengan dibentuknya lembaga pendidikan sebagai BHP maka
tanggungjawab pendidikan pada akhirnya dilimpahkan kepada masyarakat, pemerintah
dan orangtua.
Ketiga, apakah kebijakan pemerintah tidak memperlebar
kesenjangan dan diskriminatif dalam memberikan ruang politik dan fasilitas baik
secara regional, negara-swasta,
sekolah/keluarga kaya dan miskin, mayoritas-minoritas dll. Kekhawatiran akan
diskriminasi muncul al karena pada RPP Wajib Belajar misalnya, terdapat ayat
yang menyebutkan : ”pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menjamin
pendanaan penyelenggaraan wajib belajar pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah”. Ini akan melestarikan diskriminasi
pada sekolah swasta. Demikian pula,
seperti kata Utomo Dananjaya, RPP Standar Nasional Pendidikan dengan pembagian
dua jalur pendidikan menyiratkan diskriminasi dan upaya pemerintah melepaskan
tanggungjawab dari jalur pendidikan yang telah dianggapnya kuat (Kompas,
25-05-2005), kendati bagi pemerintah dua jalur itu untuk pemetaan (Kompas,
27-05-2005). “Bagi penyelenggara pendidikan swasta yang mempunyai
sekolah-sekolah, keharusan tiap sekolah mempunyai badan hukum sendiri bisa
dipandang menciptakan semacam “Negara dalam Negara” dan merepotkan kordinasi
dan hierarkhi lembaga swasta (Kompas 6-3-04). Di samping itu pilihan model
otonomi daerah di daerah terutama di daerah yang kaya PAD cenderung lebih
menekankan peran (rowing) pemerintah
(sekolah negeri) sehingga menimbulkan ekses antara lain mematikan lembaga
pendidikan swasta yang telah berhasil melibatkan partisipasi masyarakat dini.
Kekhawatiran akan terjadinya pelebaran kesenjangan juga dipicu kenyataan bahwa
sekolah dengan basis sosial ekonomi yang lemah biasanya juga mempunyai Komite
Sekolah, proposal pengembangan dan
network (politik dan ekonomi) termasuk alumni
yang lebih lemah dibandingkan sekolah yang berbasis sosial ekonomi kuat.
Sehingga keberadaan komite-komite sekolah secara natural cenderung berdampak
pada pelebaran kesenjangan.
Keempat,
apakah reformasi sistem governance dan
managerial itu akan menjamin efektifitas dan efisiensi terutama secara
eksternal, yaitu mampu menyiapkan anak didik/lulusan yang demokratis dan secara
sosial-ekonomi relevan dan kompetitif.
Kekhawatiran tentang ini cukup besar, oleh karena baik pemerintah,
penyelenggara dan pelaksana (guru) pendidikan lebih tertarik pada isu in-put (finansial), proses pembelajaran
dan manajemen daripada out-put pendidikan/pembelajaran. Di samping itu
pasang naik politik guru (apalagi kelak dengan disyahkannya UU Guru &
Dosen) agaknya akan mampu secara politik untuk mengesampingkan isu ini, karena
kekuatan publik (civil society) yang
dapat memperjuangkan masalah ini juga sangat lemah. Sejalan dengan ini, isu-isu evaluasi hasil pendidikan juga hanya
menjadi wacana yang diperebutkan oleh pemerintah dan guru[6],
sedangkan publik (dan juga dunia industri pengguna lulusan sekolah) yang
seharusnya diwakili oleh lembaga evaluasi yang independen belum juga mampu
membuat lembaga tersebut sehingga terpinggirkan dalam perebutan wacana.
Dari kondisi di atas (butir keempat)
maka harapan masyarakat terhadap transparansi dan efektifitas–efisiensi ekternal hanyalah disandarkan
kepada iktikad baik terutama pemerintah
daerah dan sekolah/ guru. Namun demikian apakah terdapat sistem manajerial yang
akan menjamin harapan tersebut?
Agaknya harapan itu akan kandas karena transparansi
dan efektifitas-efisiensi eksternal pendhdikan itu tidak juga diberikan secara memadai kepada masyarakat oleh sistem
manajemen pendidikan kita sekarang. Hal ini karena disebabkan oleh dinamika
lini manajemen dan lini governance
yang belum kondusif;
1.
Pada lini manajemen
adalah:
Pertama, sistem
akuntabilitas-transparansi lebih bersifat vertikal, yaitu ke jenjang birokrasi
di atasnya, kurang diimbangi akuntabilitas ke samping (yaitu ke masyarakat atau
lembaga yang mewakilinya) dan transparansi
atasan ke samping dan ke bawah (lihat PP 11/2001 tentang Informasi
Keuangan Daerah). PP ini mewajibkan jenjang pemerintah sub-nasional untuk
memberikan informasi khusus kepada Depdiknas dan Depag). Sebaiknya sekolah juga
mendapatkan informasi itu. Lemahnya transparansi oleh jenjang pemerintahan yang
lebih tinggi ke samping (ke masyarakat melalui Dewan Pendidikan misalnya) dan
ke bawah (sampai ke sekolah) juga menyulitkan perencanaan keuangan oleh
sekolah. Belum lagi sekolah juga dihadapkan pada perbedaan antara kalender
anggaran dan kalender tahun ajaran yang menyulitkan pembuatan rencana
anggaran. Akibatnya, sekolah bersama
Komite Sekolah mengalami ketidakpastian menyangkut berapa dana non-rutin yang
akan diberikan sehingga sekolah mengambil tindakan antisipatif dengan
menetapkan garis aman anggaran yang diusahakan Komite Sekolah dari
masyarakat. Lemahnya transparansi
top-down pada lini manajemen pemerintah ini juga mengakibatkan lemahnya
transparansi horisontal oleh sekolah/Komite Sekolah ke masyarakat.
Kedua, Standard Pelayanan Minimum yang ada (indikatornya
mencapai 197 butir) lebih banyak mengacu pada kondisi input di suatu lembaga pendidikan (seperti angka partisipasi kasar
(APK), kualifikasi guru yang mengajar,
rasio-guru-murid, transisi lulusan, rasio perkapita bangunan dst).
Akibatnya, desakan untuk meningkatkan peringkat (standard) oleh sekolah
mendorong pencarian lebih besar in-put, terutama dana. Padahal yang sebenarnya lebih
dibutuhkan para orang tua sejak akan mendaftar untuk anaknya adalah out-put yang telah dan kira-kira akan dihasilkan sekolah
itu. Tetapi sejauh ini Badan Akreditasi
Nasional Pendidikan (BAN) dengan
indikator yang in-put oriented
itu pun belum (sepenuhnya) mengklasifikasi semua sekolah. Terdapat gejala umum
resistensi pihak penyelenggara dan pelaku pendidikan terhadap klasifikasi,
terutama bila evaluasi out-put ini
diterapkan.
Resistensi
terhadap Ujian Akhir Nasional-UAN 2004 dan 2005 beserta ambang kelulusannya
yang diutarakan para guru dan penyelenggara pendidikan, adalah cermin kecil
keengganan untuk mempertanggung-jawabkan
out-put itu. Ungkapan ”UN akan
mengecilkan peran sekolah menjadi lembaga bimbingan test’, ’UN mengecilkan
makna proses dari pendidikan’ atau ’UN melucuti hak (evaluatif) yang dimiliki
guru’ sering diungkapkan oleh unsur guru. ’Beri kami (sekolah) realisasi
anggaran 20 persen (APBN/D) itu dulu dan ratakan fasilitas baru silahkan
evaluasi’ dan yang terakhir ”syahkan
dulu Undang-undang Guru & Dosen” disuarakan elemen guru. Sikap
enggan mempertanggungjawabkan out-put
nampaknya juga diidap pemerintah Pusat, karena
’sifat independen’ yang dituntut UU Sisdiknas pada Badan Standard Nasional Pendidikan (BSNP)
hilang dari PP nya (PP 19/2005 pasal 73 (3)). Di samping itu sampai sekarang
pemerintah belum juga berusaha memfasilitasi lahirnya lembaga evaluasi
pendidikan yang independen yang mewakili kepentingan (evaluasi oleh)
masyarakat seperti diamanatkan undang-undang itu. Dengan demikian, alur
akuntabilitas-transparansi yang mekanismenya bergerak lebih vertikal ke atas
daripada horizontal (ke masyarakat atau yang mewakilinya) dan standard
pelayanan minimum yang indikatornya lebih in-put
oriented daripada out-put oriented, maka boleh dikatakan, kendati mulai terdengar
frasa ’anggaran berbasis kinerja’,
manajemen pelayanan pendidikan kita masih didorong untuk berorientasi
kepada birokrasi dan penyelenggara tetapi kurang berorientasi pada hasil dan kepuasan pengguna (masyarakat). Kondisi
ini, di samping kurang mendorong efektifitas-efisiensi, juga mencerminkan adanya gap yang besar antara
bentuk kebutuhan masyarakat sebagai konsumen dengan sistem manajemen pendidikan kita.
Kondisi di atas juga mencerminkan terjadinya ’pergulatan atas ruang politik dan
sumberdaya’, terutama diantara fasilitator dan pelaksana pada lini manajemen,
tetapi ruang partisipasi publik (masih)
kurang termanfaatkan untuk kepentingan masyarakat pengguna. Dengan kata lain, ruang politik yang terbuka
akibat reposisi pemerintah (pusat) lebih banyak membuka ruang negosiasi bagi
pasang naik politik guru/sekolah dan penyelenggara pendidikan untuk
mengakumulasi ruang politik, namun kurang diisi upaya pertahanan apalagi
partisipasi pro-aktif oleh (kepentingan) masyarakat melalui partisipasi publik
yang efektif.
Sangat kuat semangat pemerintah
daerah dan sekolah untuk mengkonversi kewenangannya yang baru menjadi dana
segar, termasuk dengan cara menggunakan
lembaga seperti Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk melegitimasi
usulan, pencairan dan pembelanjaan bantuan dari atas atau dari masyarakat.
Bertolak dari UU 22/1999 kemudian UU 32/2004 dan UU 20 Sisdiknas 2003, daerah dan sekolah serta guru, dengan
’otonomi’ sebagai kewenangan barunya, kompetisi sebagai wataknya serta
’peningkatan mutu’ sebagai janjinya
bergerak sedemikian rupa mencari
sumberdaya. Sekolah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama –terutama pada
masa-masa penerimaan siswa baru—, dengan berbagai tampilan seperti kartel
mendiktekan ’harga pembukaan’ dari layanan jasanya ke masyarakat. Dengan jumlah
sekolah dan bangku yang relatif tetap (fixed
supply) di suatu wilayah yang biaya transport-logistiknya meningkat tajam
untuk memilih sekolah yang lain, terutama di perdesaan, tokh masyarakat tidak punya
alternatif pilihan selain menerima harga sekolah yang ’disepakati’ Komite
Sekolah. Lebih dari itu, tebaran janji
peningkatan mutu yang disertai pungutan-pungutan dadakan di tengah jalan tetapi
kurang disertai akuntabilitas kinerja dan transparansi, telah mencitrakan politik otonomi sekolah
sebagai kebijakan yang melampaui daya dukung sebagian besar masyarakat menengah ke bawah.
2. Pada lini pemerintahan adalah:
Dalam perjalanan waktu kemudian
menjadi jelas bahwa model governance yang mencoba memberikan akses politik
pendidikan bagi masyarakat melalui lembaga yang mewakilinya (Komite Sekolah dan
Dewan Pendidikan) tidak mampu melaksanakan fungsi check and balances terhadap lini manajemen pemerintah (baca
eksekutif, dari Pusat sampai ke sekolah dan guru). Hal ini karena berbeda dengan lini manajemen
pemerintah yang ’diberdayakan’ oleh paket kebijakan otonomi-desentralisasi,
lembaga governance yang merepresentasikan kepentingan (kewenangan)
masyarakat lebih bersifat (menampung)
reaksi atas beban masyarakat daripada membuat antisipasi atau mengajukan
tuntutan pertanggungjawaban publik
kepada lembaga pemerintah, sehingga kurang berkembang. Dari hasil penelitian di
beberapa lokasi terlihat bahwa KS dan DP (karena unsur-unsur anggota dan
pengurusnya lebih didominasi PNS dan pensiunan PNS) lebih mampu berperan
sebagai lini manajerial yang membantu
penyelenggara pendidikan daripada berperan sebagai lembaga yang
memperjuangkan kepentingan publik pengguna pendidikan, sehingga partisipasi
publik itu lebih menjadi ’pengabdian publik’ kepada negara dan swasta.
Jabarannya adalah antara lain karena lemahnya organisasi civil society,
lemahnya design lembaga governance untuk partisipasi publik (misalnya DP dan
KS) dan lemahnya komitmen dana pemerintah (pada semua tingkatannya) untuk
mengembangkannya. Lebih dari itu, bahkan kemudian terlihat bahwa design, proses pembentukan dan unsur
anggota Komite Sekolah dan Dewan
Pendidikan yang semula dimaksudkan sebagai lembaga (governance oleh)
masyarakat, itu lebih berpotensi sebagai lembaga manajemen yang berfungsi
instrumental terhadap eksekutif dan sekolah. Fungsi untuk merepresentasikan kepentingan
masyarakat untuk melakukan tawar menawar tidak berjalan baik.
Akibat dinamika yang tidak
seimbang antara lini manajemen dan lini governance
itu, maka, di tengah hantaman beberapa krisis, akumulasi sumberdana yang tinggi
dari masyarakat tanpa disertai peluang
partisipasi politik masyarakat yang cukup menimbulkan kesan di masyarakat bahwa
pemerintah save the best shoot the rest,
neo-liberalistik dan membiarkan berlangsungnya survival
of the fittest: yang tidak mampu minggir dan yang mampu dapat terus. Oleh
karena itu untuk memperbaiki citranya, pemerintah tidaklah cukup dengan menerapkan anggaran (pendidikan) 20 persen APBN. Hal ini karena,
kendati pemerintah mencoba membatasi kutipan kepada masyarakat menyusul
diturunkannya BOS (Oktober 2005) ke sekolah-sekolah, otonomi yang diberikan
kepada sekolah (oleh Undang-undang) tetap memberikan ruang bagi sekolah melalui
komite sekolah untuk terus mengakumulasi sumberdana tambahan dari
masyarakat. Diperlukan pengembangan sistem governance untuk mengembangkan check and balances dan perbaikan tata
manajemen (akuntabilitas-transparansi) agar lebih mampu ’berkomunikasi’ secara
efektif dengan masyarakat.
Problem
Ekonomi-Demografis, Kebijakan dan Prioritas Program
Isu
ekonomi-demografis antara lain kewajiban untuk mengangsur hutang luar negeri
yang besar (hampir spertiga APBN untuk membayar utang), rendahnya kualitas dan partisipasi pendidikan
terutama di tingkat menengah /atas,
ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan tantangan’ lost generation’
seperti drop-out akibat krisis, globalisasi dan pasar bebas.
Secara garis besar, regulasi-regulasi di bidang pendidikan adalah untuk
membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan
beranjak menuju penyelenggaraan pendidikan
yang lebih otonom di daerah. Berbeda dengan jaman pemerintahan sebelumnya (Orde
Baru) yang menempatkan pemerintah sebagai perancang dan aktor pembangunan
pendidikan (rowing), maka dengan dana terbatas, tuntutan
demokratisasi serta pasar bebas (globalisasi), pemerintah sekarang lebih
menekankan perannya sebagai fasilitator & regulator.
Manifestasi kebijakannya terlihat
pada upaya untuk menjamin (pemerataan) pelayanan pendidikan dasar serta
pengembangan pendidikan lanjutannya dan untuk memberikan ruang (otonomi) bagi
sekolah, Daerah dan perguruan tinggi bersama masyarakatnya, untuk berkompetisi
menyelenggarakan pelayanan plus (di atas standar) dan spesifik sesuai dengan
kebutuhan masyarakat/pasar. Secara umum, rasionalitasnya adalah bahwa pertama,
di tengah dana yang terbatas (krisis), sasaran harus lebih difokuskan, terutama
untuk kelompok yang paling rentan, kedua,
tuntutan demokratisasi mendorong pemerintah memberikan hak-hak
pendidikan masyarakat dan memberikan ruang partisipasi (politik pendidikan dan
dana) masyarakat, dan ketiga, pasar
bebas yang mengecilkan relevansi perencanaan terpusat mendorong pemerintah
untuk memberikan kesempatan Daerah dan sekolah untuk menanggapi ’pasarnya’ yang
khas.
Dengan kebijakan tersebut terdapat prioritas program terhadap isu
ekonomi-demografis utama yang hendak dibidik adalah: penanganan trade-off antara peningkatan mutu dan
pemerataan, terjaminnya mutu (standardized)
pelayanan pendidikan (nasional) kepada masyarakat sampai ke daerah-daerah,
penggalian dana/inisiatif masyarakat (untuk menambah anggaran dan peningkatan
mutu), otonomi (sekolah/PT bersama-sama Daerah) agar lebih kreatif dalam
mendekati tuntutan kebutuhan spesifik masyarakat dan dunia usaha (relevansi,
flexible).
Program-programnya antara lain penekanan pada Wajar 9 tahun, otonomi
sekolah-perguruan tinggi (menjadikan lembaga pendidikan sebagai badan hukum),
peranserta (pembiayaan dan inisiatif)
oleh masyarakat melalui DP dan KS dan standardisasi dan akredetisasi (melalui
SPM, BSNP, BAN). Khususnya meningkatkan
relevansi dengan tuntutan pengembangan ekonomi adalah dengan penekanan Broad based education untuk menjamin
flesibilitas tenaga kerja dan life skill
yang berdasarkan inisiatif lembaga pendidikan untuk mengembangkan program
sendiri yang relevan dengan (prospek) kebutuhan tenaga kerja spesifik
daerah.
Dengan wajar 9 tahun yang ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah,
dan bantuan khusus yang diberikan kepada
lembaga pendidikan/daerah yang tertinggal maka
diharapkan terjadi pemerataan akses pelayanan, sesuai kemampuan
pemerintah sekarang adalah pendidikan dasar, bagi semua kelompok masyarakat.
Sedangkan dengan standardisasi dan
akreditasi diharapkan diperoleh, di samping kualitas pelayanan pendidikan yang
kurang lebih sama sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, dan memberikan
jaminan peluang mobilitas horisontal ke sekolah/daerah lain (integrasi
nasional), juga adanya pembedaan peringkat sekolah-sekolah diharapkan
memberikan peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (untuk peningkatan daya
saing nasional).
Dukungan pendanaannya (utamanya DAU-Bos, DAK,-block-grant-imbal-swadaya,
dan prioritas APBD (di daerah) serta
terakhir, BTL untuk menahan laju penurunan daya beli masyarakat. Namun
demikian, anggaran pendidikan sekitar 4 persen (13.8 triliun ) masih jauh dari
tuntutan Konstitusi (20 %, atau 80 triliun dari) APBN (Kompas, 29-08-2004).
Kendati dalam design kebijakan di atas nampak bagus, namun demikian muncul
beberapa kekhawatiran.
1.
Kekhawatiran yang menonjol menyangkut pemerataan adalah:
Paket kebijakan yang menkombinasikan pemberian dana BOS dengan tidak lagi membeda-bedakan antara
sekolah/madrasah negri dan swasta untuk Wajar 9 tahun, dan peluncuran dana DAK,
block-grant, serta dana
”imbal-swadaya” guna memberikan kepada sekolah/madrasah/daerah yang ’lemah’
adalah kebijakan yang sangat maju dibanding sebelumnya. Namun demikian, manfaat
paket kebijakan bagi mereka yang tidak mampu bersekolah, pada umumnya kelompok
miskin masih belum jelas. Padahal jumlah mereka yanmg tidak bersekolah, jika
tingkat APK, dan drop-out terutama di
SD dan SMK tidak diredam, akan meningkat (Kompas, 13-05-2005). Peningkatan itu
sejalan dengan proporsi penduduk usia 15 – 64 tahun, terutama pada kohort yang
lebih muda yang juga akan meningkat pesat[7].
Hal yang menghawatirkan adalah jikaa kelompok yang tidak bersekolah kurang
mendapat pelatihan, maka para pencari kerja pemula ini akan memicu peningkatan juvenile deliquency.
Paket kebijakan yang mengkombinasikan beberapa program di atas juga kurang
mampu memberdayakan lembaga pendidikan yang lemah. Hal ini karena, di luar dana
BOS pada umumnya diraih melalui pengajuan proposal. Sekolah/madrasah yang
lemah, apalagi kebanyakan pesantren (dipadati kelompok miskin,
terutama berasal dari
perdesaan/pertanian) pada umumnya lemah pula informasi, proposal, dana pendamping, maupun lobi politiknya, sehingga dana-dana di
luar BOS itu cenderung tidak dimenangkan oleh sekolah/madrasah/pesantren yang
lemah tersebut. Sekolah/madrasah yang lemah biasanya juga tidak mampu melaksanakan
subsidi silang. Lebih dari itu, kebijakan daerah, di samping pada umumnya
rendah anggaran pembangunannya untuk
pendidikan, juga cenderung mengalokasikan anggaran ke daerah ”aman”, yaitu ke
sekolah - sekolah negeri (biasanya siswa berasal dari keluarga yang relatif
mapan) dan menghindari tuduhan ”partisan” (membantu sekolah madrasah swasta
yang biasanya dikelola lembaga keagamaan tertentu, dan biasanya lebih
memberikan kesempatan kepada kelompok miskin.
Padahal sejak jaman reformasi, dukungan partisipasi masyarakat terhadap
sekolah/madrasah swasta melemah. Pada jaman orde baru, partisipasi terhadap
lembaga pendidikan swasta itu tinggi, antara lain karena organisasi untuk
mewadahi partisipasi (politik) warga
sangat terbatas. Pada masa asekarang ketika
partisipasi publik lebih terbuka, sekolah/madrasah swasta harus bersaing
memperebutan partisipasi warga dengan pesaing beratnya yaitu sekolah/madrasah
negeri yang dilengkapi komite sekolah yang ”disuruh” pemerintah merebut
”dana/daya” milik masyarakat.
Kesenjangan di daerah akan lebih
lengkap manakala Undang-undang guru & dosen yang disyahkan berdampak pada
marginalisasi guru ’di bawah standard sertifikasi’, kebanyakan guru swasta.
Dengan kata lain, di tengah kebijakan
pemerintah ’memeratakan’, kenyataan di daerah adalah ’persaingan tidak
seimbang’ untuk memperebutkan kue pemerataan dan berdampak kesenjangan. Secara umum kenyataan
di atas juga mempertanyakan model yang ideal bagi kemitraan antara negara dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan.
2. Kekhawatiran yang menonjol menyangkut
peningkatan mutu
Kekhawatiran
menonjol yang berkaitan dengan upya peningkatan mutu antara lain menyangkut
lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran (yang
masih tradisional, khususnya untuk tujuan
demokratisasi), dan lemahnya sistem evaluasi dan orientasi efisiensi
eksternal, khususnya relevansinya dengan kebutuhan demokratisasi masyarakat dan
pengembangan dunia usaha. Rencana perbaikan kesejahteraan guru (sesuai UU
Guru), sertifikasi tenaga kependidikan dan akreditasi lembaga pendidikan adalah
langkah maju. Namun belum diketahui apakah ketiga rencana ini akan lebih
membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang lemah, terutama
swasta, di samping apakah akan lebih mendesakkan tolok ukur lingkungan sekolah
yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan kesetaraan,
toleransi dan terutama solidaritas melalui proses belajar. Pertanyaan ini
penting, terutama karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bias kelas
ekonomi dan kurang pluralistis.
Demikian
pula, kendati otonomi Daerah/sekolah telah
memunculkan inisiatif untuk mengembangkan program pendidikan atau ekstra
kurikuler (misalnya life skill), inisiatif itu nampaknya lebih didorong oleh
ketersediaan guru/pelatihnya atau bahkan semata-mata keinginan sekolah /daerah
untuk mendapatkan in-put tambahan,
daripada didasari oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yang matang
(efisiensi eksternal). Di pihak lain, khususnya pada sekolah-sekolah kejuruan
dan pendidikan luar sekolah, on-the job
training dan standardisasi organisasi profesi serta sertifikasi
pelatihannya belumlah tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan keyakinan
tentang tingkat kualitas lulusannya bagi calon penggunanya. Di tengah peningkatan angka pengangguran
(600 ribu dalam setahun (April 2004-2005), kedua kebijakan seperti itu
meningkatkan resiko terhadap nilai balik investasinya yang mahal. Siapa yang
harus bertanggungjawab bila harapan masyarakat yang begitu tinggi terhadap
nilai balik investasi (return on
investment) tidak terujud kelak?
Dengan
membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dengan
kendala (kekhawatiran) terhadap upaya
peningkatan mutu di atas menjadi jelas bahwa penanganan trade-off antara keduanya adalah masalah yang krusial. Kendati dalam design pemerintah keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata
dan meningkat mutunya), namun secara umum terdapat prognosa bahwa mengingat
kemampuan pendanaan untuk pemerataan-peningkatan mutu dan manajement oleh
pemerintah yang masih lemah, maka
realitas politik Daerah dan persaingan antar (otonomi) sekolah/madrasah
memperebutkan akses politik dan daya
masyarakatnya itulah yang akan lebih
menentukan pemerataan vis a vis
peningkatan mutu pendidikan kita.
Dinamika yang sekarang terlihat adalah begitu pemerintah sedikit saja
melepas bagian tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, maka oleh (otonomi)
sekolah yang lebih kuat bagian itu direbut dan dijadikan komoditi yang syah
bagi yang mampu. Kesenjangan agaknya akan melebar, pendidikan ’bermutu’ akan
lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali pemerintah meningkat kemampuan
(terutama dana) dan komitmennya untuk meredam hal tersebut. Oleh karena itu
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen pada saat sekarang adalah dua
’telor’ yang mendesak untuk dibuat.
Namun demikian, pertanyaannya saat ini adalah: pertama, Bila sekarang
negara belum mampu berperan sebagai equalizing
factor, apakah civil society
(lembaga sosial kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara
yang terkesan kurang menekankan partnership seperti di atas, masih dapat
berperan emansipatorik, atau malahan telah ikut menjadi penjual komoditi
pendidikan untuk mempertahankan hidupnya? Kedua,
apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah terreduksi
menjadi alat legitimasi pemilah klas sosial (sorting mechanism) dan alat reproduksi tata hubungan (kuasa)
sosial-ekonomi belaka? Bila jawabnya ’ya’, maka di tengah pasang naik peran
pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok yang lemah,
diperlukan peran partisipasi
/solidaritas publik (dan civil society)
melalui lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.
Penutup
Pemerintahan SBY-JK, di samping secara umum menindaklanjuti dan
memperkuat kebijakan desentralisasi /otonomi daerah/sekolah dari pemerintah
sebelumnya, juga mengisi lebih konkrit sebagian tuntutan pemenuhan pendidikan
dasar sebagai babak baru. Namun demikian penanganan pemerataan-peningkatan mutu
di daerah dan pelibatan otonomi sekolah/madrasah untuk menggali dana lebih
tinggi dari masyarakat nampak diikuti oleh kecenderungan pelebaran kesenjangan,
ketidakpastian mutu, dan lemahnya akuntabilitas dan partisipasi publik.
Di tengah merebaknya kolusi eksekutif-legislatif, upaya untuk
menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan efektif melayani publik membutuhkan
partisipasi (non-finansial) yang kuat dari
publik. Tetapi ini belum ada, sehingga citra ’strong government’ yang menempatkan masyarakat sebagai mitra--,
masih lemah. Slogan ‘Bersama, Kita Bisa’ dalam konteks state and society relation itulah yang
dalam setahun ini baru terdengar seperti ’Bersama
Kami, Bisa’ .
Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan oleh pemerintahan SBY-JK
empat tahun ke depan, tiga agenda di
bawah ini mungkin perlu dipikirkan.
1. Pelaksanaan desentralisasi politik
pendanaan sampai ke tingkat sekolah yang telah meningkatkan partisipasi
finansial masyarakat sudah waktunya diimbangi pelaksanaan desentralisasi
politik pendidikan sampai ke tingkat masyarakat sesuai UU Sisdiknas (pasal 9),
melalui komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
2. Kebijakan yang selama ini lebih menekankan in-put sudah saatnya diimbangi secara
bertahap dengan kebijakan yang menekankan juga out-put dan efisiensi eksternal melalui upaya perbaikan kurikulum,
mutu guru dan pembentukan sistem evaluasi dengan melibatkan lembaga independen
yang mewakili publik (sesuai pasal 11) yang mendesak untuk segera dibentuk.
3. Kesenjangan aksesibilitas pendidikan terutama
bagi kelompok miskin agaknya tidak melemah setelah diterapkannya paket
kebijakan pendanaan sekarang. Sehingga sudah waktunya dirancang kebijakan
affirmatif yang mencakup kelompok yang berada di luar sekolah/madrasah, dan
kebijakan kemitraan pemerintah dan pendidikan swasta yang lebih baik, sejalan
dengan peningkatan alokasi APBN untuk pendidikan ke depan.
Daftar Pustaka
Aronowitz, Stanley and Henry A .Giroux,
1990. Post-Modern Education: Politics,
Culture dan Social Criticism. Oxford: University of Minessota Press.
Aronowitz, Stanley
& Henry Giroux, 1987. Education Under
Siege: The
Consevative, Liberal, and Radical Debate Over
Schooling. London &
Hanley: Routledge & Kegan Paul.
Dewantara, Ki Hadjar, 1945 [1963]. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama:
Pendidikan. Yogjakarta: Taman Siswa.
Gardono, Iwan. “Wacana
“Civil Society “ di Indonesia” dalam Burhanuddin (ed.), 2003. Mencari Akar Kultural Civil Society di
Indonesia. T.t.
INCIS-CSSP-USAID, hal.40-56.
Giroux, Henry A., 1981. Ideology, Culture and the Process of
Schooling. Falmer Press, Washington
DC.
Gouldner, Alvin W., 1979. The Future of Intellectuals and the Rise of
the New Class. London: The Macmillan.
Hinchliffe, J.K., 1987. ‘Education and
Labor Market’, in George Psacharopoulos (ed.), Economics of Education: Research and Studies. Pergamon Press,
Washington DC: 141-5.
Permatasari, Indira
& Bambang Wisudo, 2004. ”Pendidikan dalam program 100 Hari Mendiknas” Kompas, 23 November.
Suparno, Paul, 2000. “Kurikulum SMU yang Menunjang
Pandidikan Demokrasi” dalam Sindhunata (ed.) Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad
XXI. Yogyakarta: Kanisius,
hal.50-67.
World Bank (second draft). t.t. Draft Indonesia Education Sector Review 2004, Chapter
II,
2-7 s/d 2-8).
[1] Paper disampaikan pada Seminar Refleksi Akhir Tahun
2005 dengan tema ”Satu Tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono”
diselenggarakan oleh Kedeputian IPSK-LIPI, Jakarta: Widya Graha Lt I, 13
Desember 2005
*
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI
[2] “Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air’ (Undang-undang tahun 1954) “Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan” (Undang-undang 1989)
”.......bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU20/2003,
ps 3).
[3]
Seharusnya dalam Renstra, namun Mendiknas sampai dengan April 2005 enggan
menjelaskan drafnya dan bahkan menilai
yang memberitakan hal itu dapat dikategorikan sebagai tindakan membocorkan
rahasia negara ( Media Indonesia, 18-04-2005). Oleh karena itu tulisan ini lebih
bertumpu pada media dan pengalaman lapangan.
[4] Kebijakannya 1.Perbukuan SD s/d SLTA berorientasi
konsumen, 2. SPP subsidi silang dgn menyertakan governance yang baik, 3.
Mendorong daerah memberlakukan wajar 9 tahun, 4. Mencanangkan guru sbg profesi
5. Magang kepala sekolah lemah pada sekolah maju dan 6. Memecah Dirjen
Dikdasmen menjadi dua (Kompas,
23-11-2004).
[5] Kendati pasal 13 mengakui pemerintah wajib menjamin
pendanaan penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun, namun pada bagian akhir pasal
memberi ruang bagi pemerintah untuk
mengelak dari kewajibannya dengan menggiring masyarakat mendanai wajib
belajar” (Kompas, 12-5-05). Di samping itu ayat (4) menunjukkan tanda-tanda
kelonggaran pada komitmen di atas ” Pemerintah dan pemerintah daerah membantu
pembiayaan penyelenggaraan program wajib belajar yang di selenggarakan
masyarakat” ayat (7) ”pendanaan wajib
belajar dapat berasal dari masyarakat atau sumbangan lain yang tidak mengikat”
Ayat ini dipandang Abdurrochman Gintings menggiring masyarakat untuk mengambil
alih tanggungjawab pemerintah dalam membiayai wajib belajar.
[6] Menurut Lody
Paat, penerbitan PP 19/2005 tentang SNP
yang disusul dengan pengukuhan BSNP
hanya sebagian kecil dari begitu banyak hal yang bertentangan dengan
semangat UU Sisdiknas (khususnya pasal 63 ayat (1)yang memberikan kewenagan
kepada pemerintah untuk menilai hasil belajar peserta didik seperti hak yang
melekat pada pendidik (guru) dan satuan pendidikan. Pasal ini dinilai
mengintervensi otonomi guru. Padahal pasal 58 (1) UU Sisdiknas memberikan
kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran
siswanya mulai dari awal hingga akhir penentuan kelulusannya. Menurut Lody,
keikursertaan pemerintah dan lembaga mandiri dalam melakukan evaluasi –seperti
diatur pada pasal 58 (2) dan pasal 59n(1) UU Sisdiknas adalah dalam konteks
evaluasi terhadap pengelola, satuan, jejnang dan jenis pendidikan. Para peserta
diskusi juga menyoal hilangnya kata
’independen’ pada pasal 73 (3) PP SNP (tentang sifat BSNP) (Kompas 4 juni
2005 (bold oleh penulis)).
[7] Dalam 15-20 tahun kedepan penduduk usia produkyif
(15-64 tahun) meningkat signifikan, bahkan proporsinya mencapai tingkat
tertinggi. Sebaliknya penduduk usia muda (0-14 tahun) mengalami penurunan
secara berarti.Penduduk usia lanjut lambat laun akan bertambahkendti
proporsinya jauh lebih rendah dibanding negara-negara maju (Kompas 5 Agustus 2005)
No comments:
Post a Comment