PARADIGMA SOSIOLOGI
Posted by Zuryawan Isvandiar Zoebir pada 9 Agustus, 2008
Reaction Paper atas Tulisan William
D. Perdue, Eastern Washington University)
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa
Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM.
8399040304
Tulisan ini merupakan suatu reaction
paper terhadap Reaction Paper atas Tulisan William D. Perdue – Eastern
Washington University, merupakan tugas mata kuliah Perubahan Sosial dan
Pembangunan pada Angkatan III MPS-UI yang diberikan oleh Dr. Tamrin A.
Tomagola.
A. SUMMARY
Paradigma sosiologi didefinisikan
sebagai sebuah jendela batin dimana kita dapat melihat hal-hal (paradigm is a mental window through
which we see things) atau dalam definisi panjang ia diartikan
sebagai seperangkat asumsi-asumsi dan
keyakinan-keyakinan/kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan : the nature/image of human being,
the nature/image of
society, the nature/image of sociology and sociological theory
serta implikasi-implikasi metodologinya.
Asumsi disini diartikan
sebagai sesuatu yang dianggap benar dan berhubungan dengan pernyataan ilmiah (scientific proposition).
Positivisme (Order Paradigm) : E.
Durkheim
Positivisme dalam sosiologi mengacu
terhadap pendekatan-pendekatan yang biasanya dipergunakan dalam ilmu alam,
positivisme menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu kepastian,
yang didasarkan atas pengujian dan pengamatan.
Bagi para positivis, masyarakat
diartikan sebagai suatu komposisi variabel-variabel bebas yang dapat
dijelaskan, terukur, diisolasi dan dikombinasikan atau kompleksitas kehidupan
sosial suatu masyarakat dapat difragmentasikan kedalam pengujian-pengujian
sederhana dari suatu hubungan variabel-variabel tersebut.
Dalam bukunya Purdue mengistilahkan
positivisme sebagai order
paradigm. Para positivis memberi penilaian bahwa pada dasarnya
manusia itu jahat (egoist/selfish),
sehingga perlu diupayakan suatu pengaturan atas dirinya. Pengaturan tersebutpun
menghindarkan apa yang oleh Hobbes disebut sebagai ‘homo homini lupus’, yaitu manusia akan
menjadi serigala pemangsa bagi manusia yang lain.
Pengaturan tersebut dibuatkan dalam
suatu kesadaran bersama yang dinamakan collective
consciousness, yang didalamnya mendalilkan bahwa kepentingan
keseluruhan masyarakat jauh lebih penting dari kepentingan masing-masing
individu. Disini terjadi reification terhadap collective consciousness.
Pengaturan ini mengakibatkan atau
diharapkan tercetaknya individu-individu yang seragam dalam masyarakat atau
paling tidak individu yang satu tidak jauh berbeda dengan individu yang lain. Collective consciousness
ini ditanamkan kepada setiap individu dalam komunitas, sejak individu masih
berada dalam kandungan ibunya dalam bentuk tekanan-tekanan psikologis terhadap
sang ibu.
Individu dalam komunitas ini dapat
dikatakan tak lebih sebagai wayang-wayang sosial yang dikendalikan oleh collective consciousness.
Sehingga mereka beranggapan bahwa
melalui collective
consciousness inilah suatu masyarakat akan bertahan (eksis),
lahir-matinya manusia dalam komunitas tersebut tidak akan mempengaruhi
keberadaan collective
consciousness.
Sebagai suatu keseluruhan,
positivisme (order paradigm)
mencerminkan :
a. The nature/image of human beings. Jika tidak terdapat suatu
pengaturan kekuatan, maka dikuatirkan kepentingan sendiri manusia dapat
mengurangi hak-hak komunitas, karena pada hakekatnya manusia cenderung bersifat
pribadi, individualis, selalu bersaing dan secara alamiah manusia diberikan
kemampuan dalam wujud bakat, potensi dan kemampuan beradaptasi dengan cepat;
b. The nature/image of society. Diperlukan pengaturan dalam suatu
kelembagaan sosial yang terintegrasi dan kuat. Diperlukan suatu pembagian kerja
yang mencerminkan terdapatnya perbedaan antara warga yang satu dengan yang lain
(societal differentiation).
Lembaga dan norma dalam masyarakat terbentuk berdasarkan konsensus bersama
(legitimasi). Perubahan sosial tidak boleh dilakukan secara cepat, tetapi
secara perlahan (evolusioner dan alamiah), karena pada hakekatnya adanya suatu
perubahan sosial mengancam kelangsungan solidaritas anggota-anggotanya;
c. The nature/image of sociology
& sociological theory.
Hubungan-hubungan sosial menggambarkan suatu perangkat yang unik yang dapat
dijelaskan melalui metode-metode sosiologi. Sosiologi menghendaki adanya suatu
kepastian terhadap konsensus yang telah ditetapkan bersama, bersifat empiris,
dapat diukur secara kuantitatif serta teori-teori sosiologi harus dinyatakan
dalam bahasa yang jelas.
Conventionalism (Pluralist Paradigm) : Max Weber
Para konvensionalis menganggap bahw` manusia pada dasarnya baik, mempunyai kecenderungan untuk bernegosiasi dengan orang lain dalam membentuk struktur masyarakat serta dalam diri setiap individu tersimpan potensi tak terhingga yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai macam karya. Jadi disini individu didudukan pada tempat yang tinggi. Karena manusia berkecenderungan untuk menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri, maka tiap individu berhak untuk mengajukan perubahan-perubahan apabila dianggap perlu sesuai dengan kepentingan bersama (tidak terjadi reification atau pengerasan terhadap struktur masyarakat). Dapat dinilai disini bahwa dalam masyarakat yang diikat dalam struktur convensionalism terdapat gejala-gejalan egalitarian yang kuat.
Dibawah ini akan digambarkan
asumsi-asumsi utama pluralist
paradigm :
a. The nature/image of human beings,
Terdapat
perbedaan yang signifikan antara manusia sebagai interaksionis dan sebagai
pribadi, sehingga bersifat dualisme.
Para pluralis berpendapat bahwa
kondisi-kondisi eksternal manusia tidak begitu saja dapat menentukan
sikap-sikapnya, tetapi lebih didasarkan kepada keinginannya sendiri (sengaja
dan sukarela).
b. The nature/image of society
Masyarakat
merupakan realitas sosial, pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide
bersama.
Hubungan masyarakat bersifat timbal
balik yang dipandu melalui gagasan, hukum dan peraturan.
Kelembagaan
masyarakat lain seperti agama, pendidikan, ekonomi dan keluarga merupakan
pengejawantahan perilaku manusia.
Masyarakat
pluralis merupakan suatu masyarakat heterogen yang mungkin mewakili beberapa
budaya.
Teori-teori pluralis tidak
menghendaki adanya konflik kelas dalam masyarakat, juga tidak menghendaki
konsensus nilai (social
consciousness) seperti dalam order
paradigm positivisme.
Sifat masyarakat merupakan dualisme
abadi (kerjasama antagonis). Pada satu pihak kita melihat timbul-tenggelamnya
kepentingan-kepentingan perjuangan organisasi, di pihak lain kita dapati
terdapatnya komitmen umum terhadap order
yang lahir dari kontrak sosial.
c. The nature/image of sociology
& sociological theory
Bagi
para pluralis, filsafat idealisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan
manusia.
Teori-teori yang didasarkan pada pluralist paradigm
biasanya menjelaskan mengenai kompleksitas dunia sosial, sehingga ia tidak
cukup dijelaskan hanya melalui konsep-konsep hukum atau bahkan ilmu statistik.
Penyelidikan sosiologis difokuskan
kepada manusia sebagai individu.
Realism (Conflict Paradigm) : Karl Marx
Para
realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau
struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik.
Realisme
berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang
kasat pancaindra (common
sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan
terdapat hubungan kausal antara keduanya.
Struktur masyarakat menurut para
penganut realisme, terdiri dari :
a. Struktur ekonomi;
b. Struktur sosial;
c. Struktur politik;
d. Struktur budaya.
Berikut digambarkan kesimpulan
mengenai realism
(conflict paradigm)
yang pendapatnya berasal dari Hegel, Proudhon dan Marx :
a. The nature/image of human beings
Terdapat sifat kerjasama antar manusia sebagai mahluk sosial
Sifat
manusia diasumsikan rasional, sehingga manusia benar-benar memiliki potensi
untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui pengalaman, pemikiran dan
pendidikan.
Pria dan wanita menjadi manusiawi
melalui aktivitas sosial yang nyata, misalnya buruh yang produktif. Kemanusiaan
kita ditemukan dan dikonfirmasikan dalam usaha kolektif untuk membentuk dunia
material.
b. The nature/image of society
Masyarakat
merupakan realitas struktural, merupakan suatu kondisi yang muncul sesuai
dengan hukum-hukum sejarah. Keberadaan manusia mengintepretasikan kenyataan
yang terkadang benar atau terkadang salah.
Berdasarkan sifat dasar eksistensi
kehidupan sosial, setiap masyarakat berkecenderungan bersifat manusiawi
sepanjang infra dan suprastruktur sosialnya mendukung kearah tersebut.
Masyarakat dianggap timpang apabila
terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara satu dengan yang lain dalam hal
kekayaan, kekuatan dan status, dan realisme menolak secara tegas
kondisi-kondisi ini.
c. The nature/image of sociology
& sociological theory
Karena
manusia merupakan mahluk obyektif yang hidup dalam dunia sosial, maka filsafat
materialisme merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan.
Sejarah memiliki tempat yang sangat
menentukan dalam ilmu pengetahuan, karena ia dapat mengungkapkan hukum secara umum
dimana masyarakat berubah.
Ilmu pengetahuan sangat perlu
dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Lembaga, organisasi, kelas
tidak dapat dipelajari sendiri-sendiri, karena masyarakat secara struktural
merupakan keseluruhan yang terkait yang harus dipelajari secara holistik.
Berdasarkan teori-teori realisme yang
bersifat holistik dan historis, maka akan dialami bentuk makro dari sosiologi.
Penjelasan-penjelasan akan difokuskan pada metode abstraksi. Didasarkan atas
perubahan yang konstan, kenyataan adanya konflik dan kenyataan bahwa gejala
sosial lebih banyak berupa kasus dan dampaknya, maka teori-teori realisme
banyak didasarkan pada logika dialektika.
Salah satu kriteria penilaian
penerapan ilmu pengetahuan adalah kemampuannya membuat kondisi dunia lebih
baik, maka sosiologi tidak dapat dan tidak seharusnya bersifat ‘bebas nilai’.
B. TANGGAPAN
Setelah
digambarkan secara singkat pemikiran para ‘nabi sosiologi’ di atas, dengan
segala kelebihan dan kelemahannya, maka dibawah ini giliran kami yang akan
menggambarkan bahwa dalam kenyataannya, teori-teori di atas masih memerlukan
suatu alat bantu lain dalam melakukan analisis-analisisnya. Ia masih harus
diperkaya dengan penilaian keadaan/situasi yang lebih bersifat kualitatif, yang
lebih menyentuh perasaan kemanusiaan seseorang yang akan melakukan penelitian
keadaan masyarakat, berdasarkan suatu konsep yang dinamakan sociological imagination (C.
Wright Mills), sebagaimana diilustrasikan di bawah ini :
Menjelang
ditutupnya abad XX, dan memasuki abad XXI, kita semua menyaksikan dan merasakan
perubahan yang sangat cepat (revolusioner), penuh warna (kompleks) dan baru
sama sekali. Hal ini mengakibatkan apa yang ada dalam bangunan pemikiran kita
selama ini, baik berupa konsep ataupun paradigma berpikir, menjadi tidak
relevan lagi dalam menjelaskan, mengantisipasi dan memecahkan
persoalan-persoalan sosial yang muncul dihadapan kita
Adalah
Naisbitt yang pernah ‘meramal’ kehadiran kejaiban Asia yang berporos pada tiga
negara yaitu Hong Kong, Tokyo dan Singapura. Ketiga negara ini akan menjadi
macan Asia, karena laju pertumbuhan ekonominya yang sangat fantastis. Indonesia
pun tidak ketinggalan, selama dasawarsa terakhir mengalami angka pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6-7%. Para pengamat atau pakar dalam berbagai bidang disiplin
ilmu, berlomba-lomba membuat kajian mengenai hal-hal yang akan terjadi di
negara-negara dunia ketiga, misalnya William Liddle, meramalkan masih sangat
kuatnya posisi Soeharto, satu minggu sebelum ‘lengser keprabon’.
Ternyata, hampir seluruh prediksi itu meleset.
Ekonomi Asia terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan, Soeharto
menyatakan berhenti sebagai presiden karena desakan mahasiswa. Padahal, analisis ramalan para
pakar itu tidak kurang
kadar ilmiahnya, karena didukung analisis
dan data yang
canggih, serta dilakukan oleh para pakar yang tidak diragukan lagi dalam
mengulas analisis-analisisnya. Apakah ini pertanda atau gejala, betapa bangunan
pemikiran yang ada, apalagi paradigma pemikiran yang mapan, semuanya telah
usang dan tidak memadai lagi?
Dalam filsafat dikatakan bahwa bahasa adalah baju dari pikiran.
Seseorang yang menggunakan bahasa yang nylimet,
seringkali menggambarkan dengan nyata adanya keruwetan dalam
pemikirannya. Demikian juga halnya, bahasa yang sarat dengan data dan hitungan fisik, biasanya
disebabkan dimensi fisik
telah menguasai pikiran seseorang dan menjadikannya sebagai ukuran
bagi paradigmanya, sehingga dimensi non-fisiknya nyaris tidak terlihat.
Bahasa ilmu yang selama ini
berkembang, telah dikuasai oleh paradigma rasionalisme
empiris (yang berbasis pada data-data empiris). Data-data empiris
dimasa lalu menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi, sains, teknologi dan ilmu
sosial, yang selanjutnya digambarkan dalam tabel-tabel, yang sarat dengan
muatan statistik dan matematik. Tanpa angka seolah-olah dirasakan kurang
berbobot ilmiah. Dengan data-data empiris itu, berbagai ilmu mencoba
memprediksi masa depan, dan seolah-olah perjalanan ke masa depan bergerak
secara beraturan dan linier. Keadaan hari esok seolah sepenuhnya ditentukan
oleh keadaan hari ini dan kemarin.
Ilustrasi masa depan linier berjalan
berkesinambungan di atas grafik yang terus bergerak naik dengan runtut. Tetapi
keadaan kini sudah berubah, realitas sudah jungkir balik, perubahan terjadi
makin cepat, “ramalan” jangka panjang tidak bisa dilakukan lagi. Ketidakpastian
tampil dalam garis yang lebih tegas.
Menghadapi situasi sekarang ini, yang
dibutuhkan adalah kesediaan untuk mengubah pola pikir lama yang bersandar pada
paradigma realisme empiris kepada pola
pikir baru yang imajinatif (sociological imagination), yang
pergerakannya bisa jadi melompat-lompat dan tidak beraturan, namun lebih
memberikan peluang membuka dan menemukan pilihan-pilihan baru yang lebih hidup.
Konsep
pengetahuan yang berbasis pada paradigma realisme empiris sudah saatnya
diperkecil perannya, karena seperti telah digambarkan di atas ia terbukti
kurang memadai lagi untuk memahami dan menguasai perubahan serta ekses-ekses
yang ditimbulkannya.
Sedangkan
konsep pengetahuan yang imajinatif (yang dikemukakan oleh ahli sosiologi
Amerika C. Wright Mills), sepenuhnya bersandar pada kreativitas bebas dengan
memberikan ruang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru yang sama sekali
lain dari yang sudah ada dan sudah dipikirkan sebelumnya, serta didasarkan atas
kesadaran bahwa hakekat realitas kehidupan adalah bersifat plural, multidimensi
dan spiritual.
Konsep
pemikiran sociological
imagination diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan dalam
setiap jenjang kehidupan manusia disamping pemanfaatan pengukuran secara
kuatitatif, oleh karena dalam setiap krisis senantiasa terdapat peluang-peluang
bagi pemecahannya.
No comments:
Post a Comment