Thursday, May 31, 2012

Paradigma Sosiologi


PARADIGMA SOSIOLOGI

Posted by Zuryawan Isvandiar Zoebir pada 9 Agustus, 2008
Reaction Paper atas Tulisan William D. Perdue, Eastern Washington University)
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304
Tulisan ini merupakan suatu reaction paper terhadap Reaction Paper atas Tulisan William D. Perdue – Eastern Washington University, merupakan tugas mata kuliah Perubahan Sosial dan Pembangunan pada Angkatan III MPS-UI yang diberikan oleh Dr. Tamrin A. Tomagola.
A. SUMMARY
Paradigma sosiologi didefinisikan sebagai sebuah jendela batin dimana kita dapat melihat hal-hal (paradigm is a mental window through which we see things) atau dalam definisi panjang ia diartikan sebagai seperangkat asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan/kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan : the nature/image of human being, the nature/image of society, the nature/image of sociology and sociological theory serta implikasi-implikasi metodologinya.
Asumsi disini diartikan sebagai sesuatu yang dianggap benar dan berhubungan dengan pernyataan ilmiah (scientific proposition).
Positivisme (Order Paradigm) : E. Durkheim
Positivisme dalam sosiologi mengacu terhadap pendekatan-pendekatan yang biasanya dipergunakan dalam ilmu alam, positivisme menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu kepastian, yang didasarkan atas pengujian dan pengamatan.
Bagi para positivis, masyarakat diartikan sebagai suatu komposisi variabel-variabel bebas yang dapat dijelaskan, terukur, diisolasi dan dikombinasikan atau kompleksitas kehidupan sosial suatu masyarakat dapat difragmentasikan kedalam pengujian-pengujian sederhana dari suatu hubungan variabel-variabel tersebut.
Dalam bukunya Purdue mengistilahkan positivisme sebagai order paradigm. Para positivis memberi penilaian bahwa pada dasarnya manusia itu jahat (egoist/selfish), sehingga perlu diupayakan suatu pengaturan atas dirinya. Pengaturan tersebutpun menghindarkan apa yang oleh Hobbes disebut sebagai ‘homo homini lupus’, yaitu manusia akan menjadi serigala pemangsa bagi manusia yang lain.
Pengaturan tersebut dibuatkan dalam suatu kesadaran bersama yang dinamakan collective consciousness, yang didalamnya mendalilkan bahwa kepentingan keseluruhan masyarakat jauh lebih penting dari kepentingan masing-masing individu. Disini terjadi reification terhadap collective consciousness.
Pengaturan ini mengakibatkan atau diharapkan tercetaknya individu-individu yang seragam dalam masyarakat atau paling tidak individu yang satu tidak jauh berbeda dengan individu yang lain. Collective consciousness ini ditanamkan kepada setiap individu dalam komunitas, sejak individu masih berada dalam kandungan ibunya dalam bentuk tekanan-tekanan psikologis terhadap sang ibu.
Individu dalam komunitas ini dapat dikatakan tak lebih sebagai wayang-wayang sosial yang dikendalikan oleh collective consciousness.
Sehingga mereka beranggapan bahwa melalui collective consciousness inilah suatu masyarakat akan bertahan (eksis), lahir-matinya manusia dalam komunitas tersebut tidak akan mempengaruhi keberadaan collective consciousness.
Sebagai suatu keseluruhan, positivisme (order paradigm) mencerminkan :
a. The nature/image of human beings. Jika tidak terdapat suatu pengaturan kekuatan, maka dikuatirkan kepentingan sendiri manusia dapat mengurangi hak-hak komunitas, karena pada hakekatnya manusia cenderung bersifat pribadi, individualis, selalu bersaing dan secara alamiah manusia diberikan kemampuan dalam wujud bakat, potensi dan kemampuan beradaptasi dengan cepat;
b. The nature/image of society. Diperlukan pengaturan dalam suatu kelembagaan sosial yang terintegrasi dan kuat. Diperlukan suatu pembagian kerja yang mencerminkan terdapatnya perbedaan antara warga yang satu dengan yang lain (societal differentiation). Lembaga dan norma dalam masyarakat terbentuk berdasarkan konsensus bersama (legitimasi). Perubahan sosial tidak boleh dilakukan secara cepat, tetapi secara perlahan (evolusioner dan alamiah), karena pada hakekatnya adanya suatu perubahan sosial mengancam kelangsungan solidaritas anggota-anggotanya;
c. The nature/image of sociology & sociological theory. Hubungan-hubungan sosial menggambarkan suatu perangkat yang unik yang dapat dijelaskan melalui metode-metode sosiologi. Sosiologi menghendaki adanya suatu kepastian terhadap konsensus yang telah ditetapkan bersama, bersifat empiris, dapat diukur secara kuantitatif serta teori-teori sosiologi harus dinyatakan dalam bahasa yang jelas.

Conventionalism (Pluralist Paradigm) : Max Weber

Para konvensionalis menganggap bahw` manusia pada dasarnya baik, mempunyai kecenderungan untuk bernegosiasi dengan orang lain dalam membentuk struktur masyarakat serta dalam diri setiap individu tersimpan potensi tak terhingga yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai macam karya. Jadi disini individu didudukan pada tempat yang tinggi. Karena manusia berkecenderungan untuk menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri, maka tiap individu berhak untuk mengajukan perubahan-perubahan apabila dianggap perlu sesuai dengan kepentingan bersama (tidak terjadi reification atau pengerasan terhadap struktur masyarakat). Dapat dinilai disini bahwa dalam masyarakat yang diikat dalam struktur convensionalism terdapat gejala-gejalan egalitarian yang kuat.

Dibawah ini akan digambarkan asumsi-asumsi utama pluralist paradigm :
a. The nature/image of human beings,
Terdapat perbedaan yang signifikan antara manusia sebagai interaksionis dan sebagai pribadi, sehingga bersifat dualisme.
Para pluralis berpendapat bahwa kondisi-kondisi eksternal manusia tidak begitu saja dapat menentukan sikap-sikapnya, tetapi lebih didasarkan kepada keinginannya sendiri (sengaja dan sukarela).

b. The nature/image of society

Masyarakat merupakan realitas sosial, pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide bersama.
Hubungan masyarakat bersifat timbal balik yang dipandu melalui gagasan, hukum dan peraturan.
Kelembagaan masyarakat lain seperti agama, pendidikan, ekonomi dan keluarga merupakan pengejawantahan perilaku manusia.
Masyarakat pluralis merupakan suatu masyarakat heterogen yang mungkin mewakili beberapa budaya.
Teori-teori pluralis tidak menghendaki adanya konflik kelas dalam masyarakat, juga tidak menghendaki konsensus nilai (social consciousness) seperti dalam order paradigm positivisme.
Sifat masyarakat merupakan dualisme abadi (kerjasama antagonis). Pada satu pihak kita melihat timbul-tenggelamnya kepentingan-kepentingan perjuangan organisasi, di pihak lain kita dapati terdapatnya komitmen umum terhadap order yang lahir dari kontrak sosial.
c. The nature/image of sociology & sociological theory
Bagi para pluralis, filsafat idealisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia.
Teori-teori yang didasarkan pada pluralist paradigm biasanya menjelaskan mengenai kompleksitas dunia sosial, sehingga ia tidak cukup dijelaskan hanya melalui konsep-konsep hukum atau bahkan ilmu statistik.
Penyelidikan sosiologis difokuskan kepada manusia sebagai individu.

Realism (Conflict Paradigm) : Karl Marx

Para realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik.
Realisme berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan terdapat hubungan kausal antara keduanya.
Struktur masyarakat menurut para penganut realisme, terdiri dari :
a. Struktur ekonomi;
b. Struktur sosial;
c. Struktur politik;
d. Struktur budaya.
Berikut digambarkan kesimpulan mengenai realism (conflict paradigm) yang pendapatnya berasal dari Hegel, Proudhon dan Marx :
a. The nature/image of human beings

Terdapat sifat kerjasama antar manusia sebagai mahluk sosial

Sifat manusia diasumsikan rasional, sehingga manusia benar-benar memiliki potensi untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui pengalaman, pemikiran dan pendidikan.
Pria dan wanita menjadi manusiawi melalui aktivitas sosial yang nyata, misalnya buruh yang produktif. Kemanusiaan kita ditemukan dan dikonfirmasikan dalam usaha kolektif untuk membentuk dunia material.
b. The nature/image of society
Masyarakat merupakan realitas struktural, merupakan suatu kondisi yang muncul sesuai dengan hukum-hukum sejarah. Keberadaan manusia mengintepretasikan kenyataan yang terkadang benar atau terkadang salah.
Berdasarkan sifat dasar eksistensi kehidupan sosial, setiap masyarakat berkecenderungan bersifat manusiawi sepanjang infra dan suprastruktur sosialnya mendukung kearah tersebut.
Masyarakat dianggap timpang apabila terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara satu dengan yang lain dalam hal kekayaan, kekuatan dan status, dan realisme menolak secara tegas kondisi-kondisi ini.
c. The nature/image of sociology & sociological theory
Karena manusia merupakan mahluk obyektif yang hidup dalam dunia sosial, maka filsafat materialisme merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan.
Sejarah memiliki tempat yang sangat menentukan dalam ilmu pengetahuan, karena ia dapat mengungkapkan hukum secara umum dimana masyarakat berubah.
Ilmu pengetahuan sangat perlu dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Lembaga, organisasi, kelas tidak dapat dipelajari sendiri-sendiri, karena masyarakat secara struktural merupakan keseluruhan yang terkait yang harus dipelajari secara holistik.
Berdasarkan teori-teori realisme yang bersifat holistik dan historis, maka akan dialami bentuk makro dari sosiologi. Penjelasan-penjelasan akan difokuskan pada metode abstraksi. Didasarkan atas perubahan yang konstan, kenyataan adanya konflik dan kenyataan bahwa gejala sosial lebih banyak berupa kasus dan dampaknya, maka teori-teori realisme banyak didasarkan pada logika dialektika.
Salah satu kriteria penilaian penerapan ilmu pengetahuan adalah kemampuannya membuat kondisi dunia lebih baik, maka sosiologi tidak dapat dan tidak seharusnya bersifat ‘bebas nilai’.
B. TANGGAPAN
Setelah digambarkan secara singkat pemikiran para ‘nabi sosiologi’ di atas, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, maka dibawah ini giliran kami yang akan menggambarkan bahwa dalam kenyataannya, teori-teori di atas masih memerlukan suatu alat bantu lain dalam melakukan analisis-analisisnya. Ia masih harus diperkaya dengan penilaian keadaan/situasi yang lebih bersifat kualitatif, yang lebih menyentuh perasaan kemanusiaan seseorang yang akan melakukan penelitian keadaan masyarakat, berdasarkan suatu konsep yang dinamakan sociological imagination (C. Wright Mills), sebagaimana diilustrasikan di bawah ini :
Menjelang ditutupnya abad XX, dan memasuki abad XXI, kita semua menyaksikan dan merasakan perubahan yang sangat cepat (revolusioner), penuh warna (kompleks) dan baru sama sekali. Hal ini mengakibatkan apa yang ada dalam bangunan pemikiran kita selama ini, baik berupa konsep ataupun paradigma berpikir, menjadi tidak relevan lagi dalam menjelaskan, mengantisipasi dan memecahkan persoalan-persoalan sosial yang muncul dihadapan kita
Adalah Naisbitt yang pernah ‘meramal’ kehadiran kejaiban Asia yang berporos pada tiga negara yaitu Hong Kong, Tokyo dan Singapura. Ketiga negara ini akan menjadi macan Asia, karena laju pertumbuhan ekonominya yang sangat fantastis. Indonesia pun tidak ketinggalan, selama dasawarsa terakhir mengalami angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7%. Para pengamat atau pakar dalam berbagai bidang disiplin ilmu, berlomba-lomba membuat kajian mengenai hal-hal yang akan terjadi di negara-negara dunia ketiga, misalnya William Liddle, meramalkan masih sangat kuatnya posisi Soeharto, satu minggu sebelum ‘lengser keprabon’.
Ternyata, hampir seluruh prediksi itu meleset. Ekonomi Asia terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden karena desakan mahasiswa. Padahal, analisis ramalan para pakar itu tidak kurang kadar ilmiahnya, karena didukung analisis dan data yang canggih, serta dilakukan oleh para pakar yang tidak diragukan lagi dalam mengulas analisis-analisisnya. Apakah ini pertanda atau gejala, betapa bangunan pemikiran yang ada, apalagi paradigma pemikiran yang mapan, semuanya telah usang dan tidak memadai lagi?
Dalam filsafat dikatakan bahwa bahasa adalah baju dari pikiran. Seseorang yang menggunakan bahasa yang nylimet, seringkali menggambarkan dengan nyata adanya keruwetan dalam pemikirannya. Demikian juga halnya, bahasa yang sarat dengan data dan hitungan fisik, biasanya disebabkan dimensi fisik telah menguasai pikiran seseorang dan menjadikannya sebagai ukuran bagi paradigmanya, sehingga dimensi non-fisiknya nyaris tidak terlihat.
Bahasa ilmu yang selama ini berkembang, telah dikuasai oleh paradigma rasionalisme empiris (yang berbasis pada data-data empiris). Data-data empiris dimasa lalu menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi, sains, teknologi dan ilmu sosial, yang selanjutnya digambarkan dalam tabel-tabel, yang sarat dengan muatan statistik dan matematik. Tanpa angka seolah-olah dirasakan kurang berbobot ilmiah. Dengan data-data empiris itu, berbagai ilmu mencoba memprediksi masa depan, dan seolah-olah perjalanan ke masa depan bergerak secara beraturan dan linier. Keadaan hari esok seolah sepenuhnya ditentukan oleh keadaan hari ini dan kemarin.
Ilustrasi masa depan linier berjalan berkesinambungan di atas grafik yang terus bergerak naik dengan runtut. Tetapi keadaan kini sudah berubah, realitas sudah jungkir balik, perubahan terjadi makin cepat, “ramalan” jangka panjang tidak bisa dilakukan lagi. Ketidakpastian tampil dalam garis yang lebih tegas.
Menghadapi situasi sekarang ini, yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk mengubah pola pikir lama yang bersandar pada paradigma realisme empiris kepada pola pikir baru yang imajinatif (sociological imagination), yang pergerakannya bisa jadi melompat-lompat dan tidak beraturan, namun lebih memberikan peluang membuka dan menemukan pilihan-pilihan baru yang lebih hidup.
Konsep pengetahuan yang berbasis pada paradigma realisme empiris sudah saatnya diperkecil perannya, karena seperti telah digambarkan di atas ia terbukti kurang memadai lagi untuk memahami dan menguasai perubahan serta ekses-ekses yang ditimbulkannya.
Sedangkan konsep pengetahuan yang imajinatif (yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika C. Wright Mills), sepenuhnya bersandar pada kreativitas bebas dengan memberikan ruang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru yang sama sekali lain dari yang sudah ada dan sudah dipikirkan sebelumnya, serta didasarkan atas kesadaran bahwa hakekat realitas kehidupan adalah bersifat plural, multidimensi dan spiritual.
Konsep pemikiran sociological imagination diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan dalam setiap jenjang kehidupan manusia disamping pemanfaatan pengukuran secara kuatitatif, oleh karena dalam setiap krisis senantiasa terdapat peluang-peluang bagi pemecahannya.


No comments:

Post a Comment