Thursday, May 31, 2012

Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad


Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad

Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad
Oleh : Apip Sohibul Faroji, M.Ag. M.Si
Teori Konstruksi Sosial
Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ’teori makna’ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger.
Ragam Aliran Teori Sosiologi
Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003).
Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini.
Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner.
Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen.
Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer.
Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.8
Kritik Multi-Paradigma Ritzer
Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan.
Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan.
Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak lagi relevan.10
Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik
Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif.
Positivisme
Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif.
Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.13
Humanisme
Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.14
Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena ‘spiritual’ atau ‘ideal’ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).15
Kritis
Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut:
  1. teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus mengalami perubahan.
  2. teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan.
  3. teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami.
  4. pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida).
  5. teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme.
  6. mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia secara dialektis.
  7. teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak pragmatisme revolusioner.
Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis
Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai.
Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.16
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis) kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan.
Metodologi
Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda –walau masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah sebagai bagian dari metodologinya.
Posisi Teori Berger
Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268).
Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan.
Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim.
Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger. Selain konsep diri atau self, makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna;
  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka
  2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain
  3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnometodologi Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa tingkat kolektif.1 Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46).
Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna –yang “bersembunyi”/”melekat”. Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan makna”.
Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi –dari orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi kolektif.
Sosiologi Pengetahuan
Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sorialitas. Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali lagi) menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: 36).
Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan kamu adalah saudari X” (Berger, 1991: 37) Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa yang besar”. Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990).Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.2
Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34). Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuannya. Buku ini terdiri dari tiga bab, yakni; dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas subyektif.
Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi ’lain’, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai ’yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subyektif –yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (hlm. 29).
Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari). Realitas kehidupan sehari-hari merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang) dipermasalahkan oleh individu (Misalnya; civitas kampus FISIP Unair jarang, bahkan belum pernah, menanyakan; mengapa gedung FISIP di Kampus B, mengapa kantor dekan di lantai satu, mengapa kantinnya di sebelah utara. Hal itu sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu dibuktikan kebenarannya). Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan; realitas sosial yang bersifat khas (dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya), dan totalitas yang teratur –terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek yang menyertainya (Samuel, 1993: 9).
Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan obyektivasi yang khas, yang telah memiliki makna intersubyektif –walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka.
Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif
Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan hingga melahirkan –sampai mati. Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus –sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger, 1991: 4-5).
Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum.
Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. Perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu –dan individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi).
Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial. Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya (Samuel, 1993: 16). Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.
Metodologi
Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga poin penting dalam kerangka teori Berger –yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki aktor sosial, yakni: Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam interaksi (misalnya melalui media massa). Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya.
Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari relasi-relasi antar manusia yang (relatif) besar dan berpola (Samuel, 1993: 3).4 Interaksi sosial sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tak hanya bermakna interaksi antar individu dengan individu lainnya, tetapi meliputi kelompok dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat diabaikan. Perjalanan sosial manusia tak lepas dari masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek vertikal (sejarah) menjadi penting. Hal ini tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah dan menyatu dengan ilmu sejarah, tapi sosiologi meminjam data sejarah untuk meningkatkan pemahamannya tentang realitas masa kini.
Jihad sebagai Konstruksi Sosial
(Sebuah Contoh Analisa Sederhana dengan Sosiologi Pengetahuan) Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Muhammad dan kaumnya empat belas abad silam, sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula jihad menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi realitas bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain.5 Jihad telah menjadi makanan sehari-hari umat Islam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu lagi menerjemahkan jihad dalam bahasa ibunya. Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana kata islam itu sendiri. Karena itu fenomena jihad selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam menyimpan pengalaman tentang jihad sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Mengikuti konstruksi sosial Berger, realitas sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter’bahasa’kannya dalam Alquran, hadits, buku-buku/manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini. Agama (Islam) berhasil melegitimasikan jihad, terlebih dengan menjadikan agama sebagai ideologi negara. Alhasil, bersatunya dua kekuatan besar (agama dan negara) selama berabad-abad (selama imperium Islam) menjadikan jihad sebagai realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh individu muslim, sehingga menjadi realitas subyektif.
Realitas subyektif itu terus dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena jihad memiliki makna yang luas, sehingga dapat dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang kehidupan kaum muslim. Jihad mengisi keseharian rakyat Palestina yang mengangkat senjata melawan Israel, menjadi titik tolak muslimin Irak mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan muslimin Amerika menyebarkan Islam rahmatan lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah mubaligh-mubaligh Muhammadiyah dan kyai-kyai NU, perjuangan politik kader-kader PKS, dan perjuangan mengakkan syariat Islam bagi para mujahid-mujahid MMI.
Jihad adalah sahabat umat Islam saat menunaikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja menghidupi keluarga, saat membantu mengentaskan rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya dalam ibadah, dimana pun dan kapan pun. Tak pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang tak bisa dinihilkan. Namun di sisi lain, jihad adalah kenyataan subyektif –yang relatif, plural, dan dinamis. Jihad qital bisa menjadi nyata bagi sebagian orang, tapi bisa tidak menjadi ’nyata’ bagi sebagian yang lain. Jihad memiliki keragaman makna (subyektif), tiap individu memiliki penafsiran sendiri-sendiri, dan penafsiran (makna subyektif) itu terus berproses –dan memungkinkan untuk berubah.
=================================================================
Muhammad Arwan Rosyadi
=================================================================
Catatan Kaki
1 Identifikasi teori dan kelompok teori menjadi; fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolik, dan konflik, mengacu pada pembagian dalam standard buku teks untuk pemula di Amerika tahun 1970-an (Agger, 2003:7)
2 Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004
3 George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,1985
4 Menurut Happy Susanto dalam Menggagas Sosiologi Profetik, kurang tepat jika Ritzer menempatkan Teori Konflik ke dalam Paradigma Fakta Sosial yang disandingkan dengan Fungsionalisme Struktural, karena Karl Marx, sebagai salah satu penggagas teori ini lebih menekankan pada paradigma “aksi sosial-kritis”. Serta dalam buku Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Ritzer tidak membahas tentang pemikiran Karl Marx secara utuh tersendiri –kecuali dalam buku teori sosiologinya–, dan juga tidak ditaruh pada paradigma tertentu, sehingga terkesan kurang jelas.
5 Goodman, op.cit.
6 Lihat Menggagas Sosiologi Profetik, Happy Susanto (dalam Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of Islamic Thought Indonesia)
.
7 Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, op.cit. hlm. 476. Kontinum Mikroskopik-Makroskopik dengan beberapa masalah utama di tengahnya adalah; dimulai dari pikiran dan tindakan individu, interaksi, kelompok, organisasi, masyarakat, dan sistem dunia.
8 Ibid, hlm.478
9 Teori pertukaran, dalam pandangan Ben Agger (2003) merupakan varian baru dari ilmu sosial positif yang menantang postmodernis-feminis teori kritis. Selain teori pertukaran, adalah neofungsionalisme dan teori pilihan rasional yang menyerang balik gempuran teori kritis itu.
10 Ben Agger (1989) mengkritik keras pendekatan tripartit ini, karena menggabungkan (menyamakan) konflik dengan Marxisme. Juga, mengabaikan perspektif lain, seperti teori feminis.
11 Novri Susan, Diskursus metodologi Dalam Ilmu-ilmu Sosial, makalah ilmiah, tanpa tahun, belum dipublikasikan.
12 Penemuan itu pula yang membuat sebagian kalangan sosiologi menobatkannya sebagai “Bapak Sosiologi’.
13 Novri Susan, op.cit. hlm.3
14 Menurut Anthony Giddens (1985), Max Weber adalah pioner humanisme dalam sosiologi (Lihat Novri Susan, op.cit. hlm. 4). Namun, hal ini dibantah oleh Ben Agger. Menurut Agger, walaupun teori sosial interpretatif diterjemahkan dari usaha Weber untuk memahami tindakan sosial “pada level makna” dengan menggunakan teknik Verstehen (empati) yang sistematis, teoretisi interpretatif membedakan dirinya, karena menganut konsepsi yang secara esensial positivis dari Weber tentang penteorian sosial sebagai sesuatu yang obyektif, suatu aktivitas yang bebas nilai (Agger, 2003:62-63). Weber juga dianggap Agger turut merumuskan apolitisnya positivis, dan ketidakterlibatannya dalam advokasi partisan. Apolitis dan nonpartisan positivis ini dimulai oleh Comte; sosiologi adalah bentuk fisika sosial, kemudian diteruskan oleh Durkheim; fakta sosial sebagai determinasi eksternal, dan dikuti Weber; keterbatasan obyektivitas dalam ilmu sosial.
15 Poloma dalam Sosiologi Kontemporer, menempatkan Goffman dalam bab tersendiri; “Bergaya di Atas Panggung Sandiwara Kehidupan: Dramaturgi sebagai Teori (Erving Goffman).” –yang terpisah dengan Interaksionisme Simbolik. Sementara Tom Campbell dalam Tujuh Teori Sosial menempatkan Goffman sebagai bagian dari pemikir Interaksionime Simbolik. Campbell secara jelas menyatakan, “Para Interaksionisme Simbolik seperti Anselm Strauss dan Erving Goffman percaya bahwa manusia ingin menciptakan pemikirannya sendiri tentang sebuah kenyataan sosial yang pada dirinya merupakan hasil interaksi-interaksi sebelumnya.
16 Hal ini senada dengan Berger. Berger berpendapat, sosiolog semestinya menekuni makna dalam interaksi sosial. Interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tak hanya bermakna interaksi antar individu ’disini dan sekarang’, tetapi meliputi kelompok dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik pun turut terlibat dalam membangun dan memelihara makna.
==================================================================
Daftar Pustaka Buku
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002.
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988. Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. ____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990.
Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985
Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995

No comments:

Post a Comment