BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan sebuah kebijakan bidang pendidikan untuk mencapai apa
yang menjadi tujuannya akan sangat ditentukan oleh guru sebagai unsur terdepan
dalam pelaksanaan kebijakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan pendidikan yang
dihasilkan tidak akan membawa arti apa-apa jika guru sebagai pelaksana tidak
mampu melaksanakannya dengan baik. Mengingat begitu penting dan strategisnya
posisi guru, sepatutnya hak-hak guru sebagai pribadi dan pemegang profesi
keguruan, warga masyarakat, dan sekaligus warga negara perlu mendapat prioritas
dalam rangka pembangunan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif sebagai
mana visi pembangunan pendidikan nasional.
Posisi guru yang penting
dan strategis dalam proses pendidikan telah didasari masyarakat dan pemerintah
Indonesia sejak lama. Namun kenyataan lapangan menunjukkan bahwa profesi guru
cenderung kehilangan jati diri dan terus terdistori oleh profesi-profesi lain.
Fenomena tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek seleksi, selama ini
seleksi guru disamakan dengan pegawai negeri sipil non-guru. Bahkan dari waktu
ke waktu, terkesan siapa saja mampu menjadi guru, tidak mesti berlatar belakang
pendidikan guru. Padahal untuk menjadi guru menurut totoh pendidikan, Supranata
dan Udin S. Winatapura, 2006 adalah seseorang tidak bisa mendidik hanya karena
ia mau, seseorang tidak bisa mendidik hanya karena ia tahu, seseorang hanya
bisa mendidik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai guru profesional.
Akibatnya, berdasarkan hasil tes Direktorat Tenaga Kependidikan Tahun 2004 (Diktendik,
2005), tingkat penguasaan subtansi kompetensi profesional guru sebagian besar
(sekitar 63.50%) berada pada level kurang menguasai subtansi kompetensi.
Begitu juga pada aspek
kesejahteraan dan intensif. Selama ini tingkat kesejahteraan guru paling rendah
dibandingkan profesi lain, gaji guru rendah, bahkan lebih rendah dari pada
pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan yang sama atau bahkan pendidikan yang
lebih rendah (Fasli Jalal dan Dedi Suoriadi (Ed.), 2001).
Indikasi keseriusan pemerintah dalam menata carut-marut dunia
keguruan Indonesia paling tidak nampak dari maksud penerbitannya sebagaimana
termahtub dalam bagian pertimbangan, yakni:
1.
Dapat memberdayakan dan
meningkatkan mutu secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, sehingga
guru perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
2.
Memberikan kepastian hukum bagi
guru dalam melaksanakan profesinya. Dengan cara memberikan perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Namun hampir tiga tehun
berlalu setelah pemerintah menyatakan keseriusannya untuk menata dunia keguruan
melalui UU RI No. 14 Tahun 2005, kondisi guru masih belum mengalami perubahan
ke arah yang lebih baik, bahkan keberadaannya cenderung melahirkan berbagai
persoalan baru sehingga sampai saat ini berbagai peraturan pemerintah dan
peraturan yang lebih rendah tingkatannya sebagai pedoman teknis pelaksanaannya
masih belum disahkan oleh pemerintah.
Ada beberapa peristiwa
yang mengindikasikan kondisi guru masih belum mengalami perubahan ke arah yang
lebih baik. Menurut catatan Darmaningtyas (2005) ada peristiwa terjadi di
Tanggerang dan Yogyakarta. Di SMPN 3 Tanggerang Banten tahun 2002, beberapa
guru dipindah tugaskan tanpa alasan yang jelas, konon disebabkan para guru menuntut
tranparansi pengelolaan anggaran oleh kepala sekolah. Pemindahan terjadi karena
mendapat dukungan dari pengurus PGRI yang kebetulan memduduki jabatan
struktural di Dinas Pendidikan Tanggerang. Pengalaman Kak Wes, seorang
pendongeng di Yogyakarta ketika membangun kerjasama dengan salah satu MI swasta
di Kecamatan Triharjo, Bantul, DIY, dalam bentuk pengembangan kurikulum dan
metode pembelajaran yang lebih kontekstual, sehingga peserta didik memiliki
ketrampilan yang sesuai dengan potensi di wilayahnya. Program ini mendapat
sambutan khusus dari orang tua siswa. Tapi program ini harus berhenti, karena
kepala sekolah diancam oleh pemilik sekolah tingkat kecamatan dan akan
dipindahtugaskan kalau tidak mau menghentikan program tersebut.
Dari beberapa peristiwa
ini mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan
profesinya sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan sebagai upaya
mengembalikan kehormatan dan martabat guru. Oleh karena itu, penelitian tentang
bagaimana konsep dan implementasi perlindungan profesi guru di Indonesia
penting untuk dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang
masalah penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian tantang
bagaimana konsep dan implementasi perlindungan profesi guru di Indonesia
menarik untuk dilakukan. Untuk lebih jelasnya arah penelitian ini, maka
diarahkan pada rumusan masalah berikut:
1.
Bagaimana maksud, tujuan dan
orientasi perlindungan profesi guru sebelum adanya UU RI No. 14 Tahun 2005 di
Indonesia?
2.
Bagaimana maksud, tujuan dan
orientasi perlindungan profesi guru di Indonesia yang diatur dalam UU RI No. 14
Tahun 2005?
3.
Isu-isu kebijaksanaan apa saja
yang relevan dalam rangka implementasi konsep perlindungan profesi guru sebagai
mana diatur dalam UU RI No. 14 Tahun 2005?
4.
Bagaimana implementasi konsep
perlindungan profesi guru di Kabupaten Pasuruan, Popinsi Jawa Timur pada tahun
2008?
1.3. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan pokok
permasalahan penelitian yang telah diidentifikasi sebagaimana dikemukakan di
atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan menyelesaikan dan mencari jawaban
atas permasalahan tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengeksplorasi dan
mengidentifikasi konsep perlindungan profesi guru di Indosnesia sebelum adanya
UU RI No. 14 Tahun 2005.
2.
Mengkonstruksi konsep-konsep
perlindungan profesi guru di Indonesia sesudah adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
3.
Mengkonstruksi isu-isu
kebijaksanaan yang relevan dikembangkan dalam rangka implementasi konsep
perlindungan profesi guru setelah adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
4.
Menjelaskan dan menggambarkan
implementasi konsep perlindungan guru di Kabupaten Pasuruan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat
diambil dari penelitian ini secara teoritis, meliputi:
1.
Memberikan sumbangan pemikiran
tentang konsep perlindungan profesi guru. Konsep ini juga diharapkan dapat
menjadi acuan bagi organisasi profesi guru sehingga dapat melaksanakan tugas
secara lebih mandiri.
2.
Memberikan kontribusi pemikiran
terhadap produk-produk kebijaksanaan apa saja yang dibutuhkan dan unsur-unsur
yang mestinya ada sebagai bagian dalam upaya perlindungan profesi guru.
Adapun secara praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:
1.
Pemahaman pada guru tentang hak
perlindungan profesi yang seharusnya diperoleh dalam melaksanakan profesi
dengan adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
2.
Menjadi bahan pertimbangan bagi
para pengambil kebijaksanaan dalam merancang sistem perlindungan profesi guru
dimasa mendatang. Terutama bagi para pembuat kebijaksanaan yang ada di daerah,
baik pemerintah daerah maupun organisasi profesi, agar lebih menjamin guru
untuk melaksanakan profesinya dengan tetap memperhatikan etika, moral, dan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Analisis Kebijaksanaan Publik
Menurut Wahab (1990), ada
tiga istilah yang sering digunakan secara silih berganti oleh para ahli dalam
buku- buku yang mereka tulis untuk menamakan analisis kebijaksanaan
publik, yakni ilmu-ilmu kebijaksanaan (policy
sciences), studi-studi kebujaksanaan (policy stadies), dan analisis
kebijaksanaan (policy analisys). Kalaupun istilah-istilah tersebut
didefinisikan, jarang sekali para ahli merumukan definisi secara konsisten.
Seperti halnya di Indonesia, terjemahan kata “policy” sebagai bahasa
asalnya ada yang diterjemahkan dengan “kebijakan” dan ada yang mengartikan
dengan “kebijaksanaan” (Nurul Zuriah, 2007),
Peneliti sependapat
dengan Wahab (1990), lebih memilih menggunakan istilah analisis karena dalam
perkembangannya kebijaksanaan publik terbagi menjadi dua bagian, yaitu analisis
tentang kebijaksanaan (analisys of policy) dan analisis untuk
kebijaksanaan (analisys for policy). Sedangkan kata “policy” dalam
bahasa Indonesia peneliti lebih menggunakan kata “kebijaksanaan”.
Dari definisi di atas.
Peneliti memahami lebih dekat dengan pengertian kebijaksanaan dari pada
kebijakan, sebagaimana dibedakan oleh Ali Imron (Nurul Zuriah, 2007).
Kebijaksanaan adalah “suatu kearifan pimpinan kepada bawahan atau
masyarakatnya. Pimpinan yang arif, dapat saja mengucilkan aturan yang baku,
kepada seseorang atau sekelompok orang jika seseorang atu sekelompok orang
tersebut tidak mungkin memenuhi aturan umum tadi”. Sedangkan kebijakan adalah
“sebagai aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengingat
kepada siapapun yang di maksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut”.
2.1.1. Model Kebijaksanaan di Indonesia
Untuk
memahami suatu kebijaksanaan adalah penting memahami bagaimana kebijaksanaan
itu dibuat. Dengan mengetahui bagaimana kebujaksanaan itu dibuat akan nampak
pihak yang lebih dominan pendapatnya diadopsi dalam sebuah kebijaksanaan. Hal
ini juga menandai kecendrungan sebuah kebujaksanaan akan berpihak, kepada para
pembuat kebijaksanaan atau kelompok sasaran kebijaksanaan.
Di
Indonesia ada beberapa model yang dikenal dalam proses penyusunan kebijakan.
Menurut Budi Winarno (2002), model sistem adalah model yang umum digunakan
dalam proses penyusunan kebijaksanaan publik di Indonesia. Model ini dikenalkan
Paine dan Naumes yang merujuk pada model yang ditawarkan David Easton. Model
ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya
yang terjadi dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut model ini, kebijakan
disusun hanya berasal dari sudut pandang pera pembuat kebijakan. Model ini
menurut Winarno (2002), umumnya diterapkan dalam penyusunan kebijakan di
Indonesia sebelum era reformasi.
Sebaliknya
Wahab (1990), menganggap model kebijaksanaan di Indonesia sebelum era reformasi
menerapkan model kelembagaan. Menurut pandangan model ini, kebijaksanaan negara
ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara. Oleh karena itu,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh warga negara baik perseorangan maupun
berkelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintahan.
Sedangkan
Riant (2007) melihat, kebijakan di Indonesia sejak reformasi mulai menerapkan
model kebijakan deliberatif. Terutama berkaitan dengan penyelesaian berbagai
konflik yang terjadi di tanah air. Model kebijakan ini menyertakan partisipasi
publik yang akan menerima dampak kebijakan tersebut dalam proses penyusunan
kebijakan publik. Model ini mulai diterapkan ketika wacana good governance
(pelayanan yang baik) mulai diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Lebuh jauh Riant (2007), menyatakan model ini bahkan pernah diterapkan sebelum
orde baru memulai konsep musyawarah untuk mufakat.
2.1.2. Jenis Analisis Kebijaksanaan
Para
akademis dan praktisi kebijaksanaan seringkali “kebingungan” membedakan antara
analisis kebijaksanaan, monitoring kebijaksanaan, evaliasi kebijaksanaan, dan
penelitian kebijaksanaan. Untuk memudahkan dalam memahami analisi kebijaksanaan
akan digunakan pemetaan yang dikemukakan Gordon, Lewis, dan Young, Michael Hill
(Riant, 2007).
Menurut
tiga ahli tersebut ada dua jenis analisis kebijaksanaan, yaitu analisis tentang
kebijaksanaan dan analisis untuk kebijaksanaan. Analisis tentang kebijaksanaan
dalam bentuk analisis isi, output, dan analisis prosen kebijaksanaan. Sedangkan
analisis untuk kebijaksanaan dalam bentuk evalusi, penyediaan informasi,
advokasidan nasehat kebijaksanaan.
Mengutip
Hogwood dan Gunn, yang mendasarkan diri pada pemetaan yang di buat tiga ahli di
atas menyebutkan ada tujuh kegiatan variasi analisis kebijaksanaan. Variasi ini
sekaligus merupakan ruang lingkup analisis kebijakan. Adapun variasi analisi
kebijaksanaan adalh sebagai berikut:
1.
Studi isi kebijaksanaan. Studi
ini bermaksud untuk menyajikan gambaran dan penjelasan mengenai asal muasal dan
perkembangan suatu kebijaksanaan.
2.
Studi tentang proses
kebijaksanaan. Studi ini yang menjadi sorotan utamanya ialah tahap-tahap yang
harus dilalui oleh isu-isu kebijaksanaan sebelum menjadi agenda pemerintah dan
usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai pengaruh berbagai faktor.
3.
Studi mengenai output
kebijaksanaan. Studi ini bermaksud untuk menjelaskan kenapa tingkat pengeluaran
biaya atau penyediaan jasa oleh pemerintah antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain berbeda.
4.
Studi evaluasi kebijaksanaan.
Studi ini merupakan batas antara analisis tentang kebijaksanaan dan analisis
untuk kebijaksanaan. Studi ini juga disebut studi dampak kebijakan dan
bermaksud untuk menganalisis dampak suatu kebijaksanaan.
5.
Informasi untuk membuat
kebijaksanaan. Studi ini memfokuskan diri pada penyusunan data-data guna
membantu para pembuat kebijaksanaan. Studi ini dapat dilakukan oleh pemerintah
sendiri.
6.
Proses kepenasehatan (proses
advocay). Studi ini merupakan bentuk lain dari analisis untuk
kebijaksanaan. Studi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sifat dari sistem-sistem
pembuatan kebijaksanaan yang ada.
7.
Nasehat kebijaksanaan, yaitu
suatu kegiatan yang melibatkan analisis dalam mendesakan pilihan-pilihan
alternatif tertentu dan gagasan-gagasan tertentu dalam proses kebijaksanaan.
Sesuai dengan fokusnya,
penelitian ini masuk dalam kelompok pertama, yaitu studi tentang isi
kebijaksanaan. Studi semacam ini menurut Riant (2007), analis membatasi diri
hanya untuk menilai kebijakan dari segi muatan atau isinya. Metode yang umum
digunakan adalah analisis isi, baik yang bersifat kuantitatif (mengetahui
frekuensi semantik), kualitatif (mengetahui bingkai, semiotika, kecendrungan
politik dan filosofis), maupun komparatif (mengetahui perbandingan muatan satu
kebijakan dengan kebijakan lainnya tentang suatu hal).
2.2. Profesi
Dalam
keseluruhan kegiatan pendidikan baik dalam jalur formal maupun non-formal, guru
memegang posisi yang sangat strategis. Dalam tingkat operasional, guru
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya. Sebaik apapun
kebijaksanaan pendidikan tidak akan memberikan hasil yang optimal sepanjang
guru tidak mendapatkan kesempatan untuk mewujutkan kemandirian dalam memerankan
fungsinya secara proporsional dan profesional.
Secara
umum setiap karya yang membicarakan guru senantiasa menempatka guru sebagai
profesi selayaknya dokter, akuntan, apoteker dan berbagai profesi lain yang
sudah lebih dahulu dikenal. Apa dan bagaimana sebuah pekerjaan dapat dikatakan
sebagai profesi akan dijelaskan di bawah ini.
2.2.1. Pengertian dan syarat profesi
Secara populer suatu
pekerjaan di bidang apapun sering diberi predikat profesional. Dalam keseharian
orang yang terampil dan cakap dalam kerjanya, meskipun ketrampilan dan
kecakapannya diperoleh tanpa melalui
pendidikan secara sistematis atau hanya berdasarkan minat dan kebiasaan. Apakah
dapat dipersamakan antara pekerja bangian yang sudah berpengalaman dengan
seorang pendidikan teknik yang berpengalaman meski sama-sama bekerja pada
bidang bangunan? Tentu tidak. Jadi apa sesungguhnya suatu pekerjaan yang dapat
di sebut profesi?
Pengertian profesinal
perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang dapat dipenuhi melalui pembiasaan
untuk memperoleh suatu ketrampilan. Menurut T. Raka Jono seperti dikutip (A.
Sanana, 1994), seorang pekerja profesinal mesti dibedakan dari teknisi, meski
kedua dapat menunjukkan unjuk kerja yang sama, dapat memecahkan masalah-masalah
teknis dalam bidang kerjanya, tapi pekerja profesinal dituntut menguasai visi
yang mendasari ketrampilannya, pertimbangan rasional dan memiliki sikap positif
dalam melaksanakan dan mengembangkan mutu kerjanya.
Pendapat lain dalam
mendefinisikan profesi, seperti dikutip Muhammad nurdin (2004) antara lain:
Peter Salim, lebih memandang bahwa suatu pekerjaan dikatakan profesi jika
dilakukan berdasarkan pendidikan keahlian tertentu, sikap pribadi, lebih
melihat pada pernyataan sikap berupa kesungguhan dari seseorang untuk
mengabdikan dirinya kepada suatu pekerjaan karena orang tersebut merasa
terpanggil untuk melakukannya. Dari definisi di atas, memberikan gambaran bahwa
suatu pekerjaan profesi adalah pelayanan atau pengabdian yang dilandasi
kemampuan profesional serta falsafah hidup yang mantap (Muhamad Nurdin, 2004).
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas dapatlah profesi diberi batasan sebagai pekerjaan bidang
jasa yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehlian yang diperoleh secara
sistematis, pandangan hidup, dan rasa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap
bidang tersebut, yang diterapkan untuk membantu klien.
Sardiman mengutip Wolver
(Muhamad Nurdin, 2004), menyatakan bahwa suatu pekerjaan dikatan profesi jika
memenuhi syarat-syarat berikut.
§ Memiliki pengetahuan umum dan keahlian khusus
§ Karier yang dibina secara organisatoris
§ Diakui oleh masyarakat
Menurut Sikun Pribadi
dalam Muhammad Nurdin (2004), profesi harus didukung beberapa komponen berikut.
·
Spesialisasi ilmu atau keahlian
dari pelakunya
·
Kode etik
·
Organisasi profesi
·
Mesyarakat yang memanfaatkan
profesi
·
Pemerintah yang melindungi
profesi melalui undang-undang.
Syarat-syarat di atas
menunjukkan bahwa suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi memiliki
pertanggungjawaban yang jelas, yakni dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu
pengetahuan dan keahlian khusus sehingga mendapat pengakuan dari masyarakat
yang menerima layanannya. Oleh karena itu, suatu pekerjaan dapat dikatakan
profesi apabila memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.
2.2.2. Perlindungan Profesi
Pekerjaan yang di pandang
sebagai profesi tertentu, resikonya sangat besar apabila dilakukan oleh
seseorang yang tidak dipersiapkan secara benar. Misalnya profesi dokter dan
farmasi yang berhubungan dengan nyawa manusia akan kehilangan nyawa manusia.
Untuk itu, profesi memerlukan suatu koridor sebagai suatu perlindungan bagi
pelaku profesi dan masyarakat penerima layanan profesi (klien) agar tidak ada
pihak yang dirugikan akibat layanan yang diberikan.
Menurut Hhadari Nawawi
dan Mimi Martini (1994) dan Az. Nasution (1995), ada dua bentuk kontrol dan
pengawasan dalam profesi, yakni upaya perlindungan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui pelaksanaan kewenangannya dalam bidang hukum publik dan
regulasi sendiri (self regulation), yakni pelaksanaan kontrol yang
dilaksanakan oleh kalangan profesi itu sendiri. Regulasi sendiri pada
prinsipnya bertumpu pada hati nurani, moral dan etika.
Kontrol oleh pemerintah
umumnya dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang harus diterima oleh
masyarakat. Menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1994), ketaatan sebagai
wujud penerimaan terhadap norma-norma di dalam ketetapan berbentuk
undang-undang, pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor.
1.
Faktor kekuasaan disebut juga
kekuasaan hukum
Faktor ini berbentuk
tingkat kemampuan norma-norma di dalam ketentuan perundang-undangan memaksa
anggota masyarakat untuk mentaatinya. Ketaatan itu, timbul bukan karena sanksi,
tetapi disebabkan anggota masyarakat
merasa norma-norma tersebut dapat menciptakan ketertiban, keadilan, dan
kedamaian. Oleh karenanya, anggota masyarakat akan merasa rugi jika tidak
mentaati norma-norma tersebut.
2.
Faktor kekuatan yang disebut
juga kekuatan hukum
Faktor ini berbentuk
tingkat kemampuan suatu lembaga atau orang memaksa agar anggota masyarakat
mentaati dan malaksanakan norma-norma sebagai kaidah hukum di dalam suatu
ketentuan perundang-undangan. Ketaatan itu lebih dikarenakan adanya badab atau
orang yang memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaannya dan menjatuhkan sanksi
bilamana anggota masyarakat tidak mematuhinya.
Pada masyarakat yang
sederhana faktor kekuasaan hukum lebih dominan dari pada kekuatan hukum untuk
memaksa masyarakat mentaati norma-norma yang ada dalam ketentuan suatu
perundang-undangan.
2.3. Guru sebagai Profesi
Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) dan didukung oleh The World Bank, mengkaji permasdalahan bidang
pendidikan yang secara garis besar terbagi dalam bidang-bidang, dimana setiap
bidang dikaji dan dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) sesuai dengan bidang
permasalahannya. Adapun bidang-bidang tersebut mencakup: Pokja filosofi dan
kebijaksanaan pendidikan, Pokja pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan,
pokja pendidikan tinggi, dan Pokja pendanaan pendidikan (Fasli jalal dan Dedi
supriadi (Ed.), 2001).
Hasil kerja Pokja-pokja
tersebut menunjukkan banyak persoalan bidang pendidikan tanah air sudah sangat
memprihatinkan, termasuk dalam pengembangan guru dan tenaga kependidikan. Hasil
kerja Pokja pemberdayaan guru dan tenaga pendidikan dituangkan dalam rekomendasirekomendasi
yang meliputi: (1) kesejahteraan guru. Dalam hal ini tingkat kesejahteraan guru
tergolong rendah, tidak setara dengan pengapdian yang diberikannya; (2)
pendidikan prajabatan guru; (3) rekrutmen dan penetapan guru. Dalam rekrutmen
dan penempatan guru ada ketidak-konsistenan dalam pola rekrutmen dan penempatan
guru; (4) pembinaan mutu guru. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa
penguasaan bahan ajar dan ketrampilan dalam menggunakan metode yang inovatif
masih kurang; (5) pengembangan karier guru. Ada kecendrungan minat basar dari
para guru untuk beralih tempat tugas ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kelima persoalan
memperlihatkan bahwa persoalan dunia keguruan di Indonesia sangat kompleks dan
saling keterkaitan antara satu aspek dengan aspek yang lain. Jika dicermati
lebih jauh, pada mulanya persoalan keguruan belum kompleks seperti sekatang.
Seiring perjalanan waktu, persoalan menjadi semakin kompleks sehingga setiap
aspek ibarat menjadi jalinan matarantai persoalan yang tidak akan dapat
diselesaikan tanpa menyelasaikan persoalan pada matarantai lainnya.
2.3.1. Pengertian dan kualifikasi guru
profesional
Guru sebagai salah satu
komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar (pembelajaran), memiliki
posisi strategis dalam menentukan keberhasilan pembelajaran, karena guru
memiliki fungsi untuk merancang, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi
pembelajaran. Posisi strategis karena guru menentukan kedalaman dan keluasan
bahan pelajaran yang akan disajikan. Oleh karena itu, posisi guru sangat
penting dalam pembelajaran.
Rice dan Bishoprick
(1971) dan Glickman (1981), sebagaimana dikutip Ibrahim Bafadal (2003),
keduanya guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri
dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Profesional dipandang keduanya sebagai
proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidakmatangan
menjadi matang, dari diarahkan orang lain menjadi mengarahkan diri sendiri.
Sedangkan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 39 ayat (2) mendefinisikan guru sebagai tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada mesyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Lebih tegas UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1) membatasi guru
sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Kualifikasi gurun
profesional adalah guiru yang memiliki kompetensi keilmuan yang memadai,
memiliki sikap untuk selalu lebih baik dalam melakuakan tugasnya dari waktu ke
waktu, kepribadian yang kuat, dan terbuka tehadap kritik bersifat membangun.
Hal ini didukung pendapat Maister dalam Suparlan (2005) yaitu profesionalisme
sama sekali bukan masalah kompetensi melainkan semata-mata masalah sikap,
yakni sikap guru untuk mau dan mampu menjadi guru yang profesional dengan satu sistem
yang mengutamakan profesionalisme.
Berkaitan dengan
pembangunan sistem yang mendukung profesionalisme, pemerintah Indonesia
menerbitkan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menggariskan bahwa
untuk disebut sebagai pendidik profesional, seorang guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
(Pasal 9). Kompetensi meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,
dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10), dan memiliki
sertifikat sebagai pendidik (Pasal 11)
Dilihat dari kondisi guru
yang ada saat ini, baik aspek kesejahteraan, kegiatan prajabatan, rekruitmen
dan penempatan, pembinaan mutu, dan pengembangan karir belum menunjukkan kepada
kualifikasi profesional seperti dipaparkan Fasli Jalal dan Dedi Supriadi pada
bagian sebelumnya, namun pemerintah secara tegas menyatakan guru sebagai tenaga
profesional. Untuk itu, hendaknya kelima aspek tersebut diarahkan untuk
memenuhi kualifikasi profesional sebagaimana diuraikan di atas.
2.3.2. Perlindungan profesi guru
Membangun kemandirian
guru dalam melaksanakan profesi adalah penting menempatkan guru sebagai
individu multidimensi. Di satu sisi guru adalah individu dan warga negara dan
pemegang profesi guru (mikro) yang memiliki hak asasi dan hak warga negara
lainnya dan di sisi lain guru sebagai bagian masyarakat (makro) yang
keberadaannya tidak dapat terpisah dari aspek-aspek lain dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara suatu bangsa.
Lengkah pemerintah
menerbitkan UU no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen antara lain dimaksudkan
membangun kemandirian guru secara mikro maupun makro. Hal ini tidak nampak dari
maksud penerbitannya, yakni memberdayakan dan meningkatkan mutu secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan sehingga guru perlu dikembangkan
sebagai profesi yang bermartabat dan memberikan kepastian hukum bagi guru dalam
melaksanakan profesinya. Dengan cara memberikan perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja [Pasal
39 Ayat (2)].
Bagi guru keberadaan UU
No. 14 Tahun 2005 selain memberikan penguatan upanya perlindungan yang
dilakukan oleh pemerintah, terutama dari sisi kekuasaan hukum, sekaligus
penguatan atas regulasi sendiri yang diatur melalui kode etik guru yang di buat
oleh berbagai organisasi guru. Sehingga perlindungan guru menjadi komplit baik
dari sisi pemerintah melalui kewenangan ketentuan perundang-undangan dan sumpah
jabatan bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil, serta sisi regulasi
sendiri.
Berkaitan dengan hak perlindungan profesi,
pemerintah menjamin hak-hak guru untuk memperoleh perlindungan profesi
sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 bagian Ketujuh Pasal 39 Ayat (4),
yang mencakup aspek-aspek berikut:
1.
Perlindungan terhadap pemutusan
hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Pemberian imbalan yang tidak
wajar.
3.
Pembatasan dalam menyampaikan
pandangan.
4.
Pelecehan terhadap profesi
5.
Pembatasan/pelarangan lain yang
dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
Sedangakan berkaitan
dengan perlindungan regulasi sendiri, guru diwajibkan menjadi anggota salah
satu organisasi profesi [Pasal 41 Ayat (3)]. Karena organisasi profesi itulah
yang nanti akan membantu guru dalam memenuhi haknya atas perlindungan profesi [
Pasal 42 butir ©] melalui kode etik profesi yang dalam pelaksanaanya diawasi
oleh Dewan Kehormatan Guru yang dibentuk oleh organisasi profesi [Pasal 44 Ayat
(1)].
Dengan demikian
perlindungan profesi guru, jika dilihat dari pra syarat ketentuan hukum telah
dapat ditaati dan dilaksanakan. Kerena secara komperhensif telah diatur baik
dari segi kekuasaan dan kekuatan hukumnya. Segi kekuasaan hukum, perlindungan
profesi merupakan kebutuhab bagi guru demi kelancaran dalam melaksanakan tugas.
Sedangkan dari segi kekuatan hukum telah ada perangkat undang-undang yang
mengatur. Perlu diperhatikan bahwa berkaitan perlindungan guru dalam UU No. 14
Tahun 2005 tidak memerlukan adanya peraturan pemerintah sebagai penjelasan
lebih teknis dalam penerapannya.
Kemungkinannya perlindungan
profesi guru belum begitu mendapat perhatian untuk dilaksanakan adalah kesiapan organisasi profesi sendiri, baik
dalam hal kode etik dan Dewan Kehormatan Guru yang menjadi pengawas pelaksanaan
kode etik tersebut. Sebagai mana penilaian Suparlan (2006) bahwa dari segi kode
etik guru di Indonesia belum secara rinci menjelaskan tanggung jawab guru
terhadap murid, guru terhadap orang tua, guru terhadap masyarakat dan negara
dan guru dengan teman seprofesi.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian tahap I
menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian
kepustakaan yang dihadapi adalah dokumen-dokumen, maka teknik yang digunakan
adalah analisis isi (content analysis). Teknik ini digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik khusus sebuah teks dengan memanfaatkan semua
pengetahuan yang dimiliki oleh analis. Sebagaimana pendapat Stone, dkk dalam
Klaus Krippendorff (1991), analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi dengan identifikasi secara sistematik dan objek
karakteristik khusus dalam sebuah teks, dimana analis memanfaatkan semua
pengetahuan yang dimiliki tentang sistem gejala yang menjadi perhatiannya dalam
menginterpretasikan serangkaian data yang tidak tersetruktur atau bersifat
simbolik.
Di samping itu,
penggunaan teknik ini karena dianggap sebagai langkah paling awal dalam
melakukan analisis kebijakan. Analisis ini dikelompokkan dalam analisis
deskriptif. Meski analisis ini masih sangat jarang mendapat perhatian karena
pekerjaannya yang detail dan rumit.
Mengingat fokus
penelitian ini merupakan kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, yakni UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang
telah disahkan, namun belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena belum adanya
peraturan yang lebih rendah sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya, maka
pilihan pada penelitian kepustakaan pada tahap I penelitian merupakan suatu
keniscayaan. Penelitian tahap I menggunakan penelitian kepustakaan untuk
manjawab fokus permasalahan satu, dua, tiga.
Penelitian tahap II
menggunakan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi
dan wawancara mendalam (indepth interview). Teknik dokumentasi dilakukan
untuk mengumpulkan informasi dari pemberitaan-pemberitaan media massa seputar
gerakan-gerakan yang dilakukan guru pada tahun 2006. Sedangkan wawancara
mendalam dilakukan untuk mengeksplorasi ide-ide dan pemikiran para guru, para
pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif. Studi kasus ini dilakukan
untuk menjawab permasalahan keempat.
Adanya aksi yang pro dan
kontra terhadap UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang telah
disahkan, berdampak pada akan adanya pihak yang akan dirugikan maupun
diuntungkan. Kedua pihak tersebut adalah pemangku profesi guru. Bagaimana kedua
pihak yang pro dan kontra ini memposisikan diri? Bagaimana konstalasi keduanya
dalam melaksanakan profesinya? Menarik untuk dikaji lebih jauh dalam kaitannya
dengan perlindungan profesi guru.
Adapun yang menjadi fokus
dalam studi kasus ini adalah implementasi konsep perlindungan profesi guru.
Kejelasan fokus dalam studi kasus menjadi sangat penting. Sebagaimana pendapat
Nana Syaodih Sukmadinata (2006: 99), bahwa “penelitian studi kasus adalah
penelitian yang difokuskan pada satu fenomena yang dipilih dan dipahami secara
mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainya”.
Dalam penjelasan di atas,
maka dapatlah penelitian ini dikelompok dalam penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini merupakan subjek yang berfungsi sebagai instrumen penelitian.
Dengan kata lain, peneliti dalam penelitian kualitatif memiliki peran yang
sangat penting.
3.2. Jenis Data dan Key Informan
Untuk
penelitian tahap I yang merupakan studi kepustakaan, karenanya objek penelitian
ini adalah dokumentasi kebijakan berupa undang-undang, maka data pokoknya
adalah salinan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang
disahkan di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yodhoyono
pada tanggal 30 desember 2005 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 30
Desember 2005 oleh Menteri Hukum dan HAM Ad Interim, Yusril Ihza Mahendra dan
tercatat pada Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 157 dan berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait secara langsung dengan undang-undang tersebut,
antara lain: UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta; UU No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan; UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian serta berbagai
peraturan pemerintah yang menjelaskannya. Sedangkan data pendukung adalah opini
pendapat para ahli yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian ini.
Sumber
informasi untuk memperoleh data berupa buku, jurnal, koran, yang diperoleh
secara langsung maupun dalam bentuk dokumentasi yang diperoleh melalui internet
dan berbagai publikasi lain sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian
serta memiliki sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk
penelitian tahap II yang merupakan studi kasus dengan fokus konsep perlindungan
profesi guru. Jenis data yang digunakan adalah data yang diperoleh langsung
dari para narasumber yang terlibat langsung dalam gerakan-gerakan yang
dilakukan guru pada tahun 2006. Di samping itu, tahap II ini menggunakan
dokumentasi berbagai media massa. Dokumentasi media ini juga digunakan untuk
mengidentifikasi narasumber yang akan di wawancarai.
3.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis
Data
Penelitian tahap I,
pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi dokumentasi terhadap
dokumen-dokumen kebijakan yang berkaitan dengan UU No. 14 Tahun 2005, khususnya
dalam kaitannya dengan perlindungan profesi guru dengan teknik analisis isi.
Adapun variabel yang akan
diteliti dalam tahap I, meliputi:
a.
Latar
belakang dan proses penerbitan UU No. 14 Tahun 2005
b.
Maksud,
definisi masalah, tujuan, dan orientasi perlindungan profesi guru sebelum dan
sesudah adanya UU No. 14 Tahun 2005.
c.
Isu-isu
kebijakan yang relevan dalam menunjang implementasi UU No. 14 Tahun 2005.
Sedangkan penelitian tahap II yang merupakan pengayaan penelitian
kepustakaan yang dilakukan pada tahap I dan sekaligus menjawab permasalahan
keempat, maka dilakukan penelitian lapangan (field research). Penelitian yang digunakan adalah penelitian studi
kasus dengan penelitian yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview).
Adapun wawancara dan studi dokumen media massa digunakan untuk
mengumpulkan data:
a.
Kondisi sosial politik di
Kabupaten Pasuruan dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
b.
Peran dan inspirasi para guru
dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
c.
Dukungan pihak lain baik
eksekutif, legislatif, organisasi massa maupun lembaga swadaya masyarakat.
d.
Dampak positif dan negatif
dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
Dalam menentukan informan pertama akan dilakukan identifikasi dari studi
dokumen terhadap berita media massa tentang gerakan guru yang dilakukan sebelum
kerja lapangan. Di samping itu, penentuan partisipan dilakukan dengan teknik
bola salju (snowball method), yakni
penentuan informan ditentukan sesuai informasi yang diberikan oleh informan
sebelumnya sampai data yang diperoleh sampai pada titik jenuh.
Selanjutnya setelah data terkumpul, baik dari dokumen kebijakan maupun
dokumen dan hasil wawancara mendalam lainnya akan diolah dengan menentukan
kategori terlebih dahulu, sesuai denga fokus penelitian. Dalam menentukan
kategori, menurut Moleong (2006) harus memperhatikan aturan berikut:
1.
Kategori
harus berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.
2.
Kategori
harus tuntas dalam artian setiap data ditempatkan pada salah satu kategori.
3.
Tidak
saling tergantung dalam pengertian tidak boleh ada satu pun isi data yang dapat
dimasukkan dalam kategori yang lain.
4.
Kategori
bebas dalam pengertian pemasukan data dengan cara apapun tidak boleh mengganggu
kategori yang telah dibuat.
5.
Kategori
diperoleh atas dasar prinsip kategori tunggal.
Adapun
analisis data dengan memanfaatkan kategori induktif yang dikembangkan Philipp
Mayring sebagaimana dikuti Moleong (2006), adapun langkah-langkah kategori
induktif sebagi berikut. Penyususnan kategori sesuai dengan fokus penelitian.
Selanjutnya kategori diformulasikan dengan mempertimbangkan definisi kategori
untuk menghasilkan kategori baru yang bersifat ajeg. Kategori yang sudah ajeg
selanjutnya diinterpretasi.
Selain itu, penggunaan analisis secara induktif didasari pada keberagaman
data yang diperoleh dilapangan sehingga memerlukan pengelompokan dalam kategori
yang lebih spesifik sesuai dengan fokus penelitian. Analisis ini menurut Lexy
J. Moleong (2006), merupakan analisis yang jamak digunakan dalam penelitian
kualitatif karena salah satunya dapat menentukan kenyataan-kenyataan jamak
sebagaimana terdapat dalam data.
Terhadap dokumen-dokumen kebijakan berupa peraturan perundang-undangan,
dalam melakukan interpretasi didukung metode hermeneutika. Terutama
hermeneutika dari Geiteswissenschaften.
Hermeneutika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh
makna kehidupan secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata
interpretasi teks, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk
simbol, praktik sosial, kejadia-kejadian sejarah, termasuk juga karya seni.
Beberapa metode interpretasi (penafsiran) yang akan digunakan dalam
penelitian ini (Jazim Hamidi, 2005) antara lain:
1.
Interpretasi
sistematis
Interpretasi
sistematis adalah metode manafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan. Dalam penerapan metode ini, peraturan
perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri,
melainkan harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
2.
Interpretasi
futuristik
Interpretasi
futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum. Metode ini digunakan mengingat peraturan perundang-undangan
sebagai pedoman pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2005.
3.4. Uji Keabsahan Data
Keabsahan data adalah masalah yang
sangat penting dalam penelitin kualitatif. Sebab pada hakikatnya, penelitian
merupakan aktifitas penilaian, pengukuran dan pemahaman. Agar data yang
digunakan dalam penelitian memiliki keabsahan yang tinggi, maka untuk uji
keabsahan (trustworthiness). Dalam
penelitian kualitatif, uji keabsahan data menggunakan empat kriteria, yaitu
derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability),
kebergantungan (dependebelity), dan
kepastian (confirmability) (Lexy J.
Moleong, 2006).
Penelitian tahap I untuk menjamin
data yang diperoleh mempunyai derajat kepercayaan tinggi akan menggunakan
validitas isi (konsep) dan tahun terbit. Validitas konsep artinya hanya akan
menggunakan konsep sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan validitas tahun
terbit, sumber informasi yang digunakan adalah dokumen yang terbit masih dalam
masa pengyususnan dan penerapan UU No. 14 Tahun 2005. Ini berarti sumber
informasi yang diutamakan adalah yang terbit dari tahun 2000 sampai sekarang.
Menurut Budiyanto (2006), penggunaan validitas di atas termasuk dalam uji
keabsahan menggunakan standar kualitas (quality assurance), yang meliputi:
validitas isi (konsep), validitas pengarang, validitas penerbit, tahun terbit,
tim editor, kejujuran ilmiah, organisasi profesi, dan relevansi.
Penggunaan kedua jenis validitas di
atas juga mempertimbangkan pendapat Sutrisno Hadi dalam Ida Bagoes Mantra
(2004), bahwa dalam memilih kepustakaan yang akan dikaji harus mempedomani tiga
hal, yakni relevansi, kemutakhiran, dan adekuasi. Relevansi adalah keterkaitan
yang erat antara kepustakaan dan permasalan penelitian. Kemutakhiran adalah
sumber-sumber kepustakaan yang terbaru untuk menghindari teori-teori atau
pendapat yang tidak relevan.
Untuk menjamin keteralihan dan
ketergantungan penelitian ini, peneliti akan membuat deskripsi sedetail mungkin
tentang masing-masing dokumen yang digunakan sebagai sumber data. Sedangkan
jaminan kepastian dengan menggunakan berbagai dokumen kebijakan utama yang
menjadi pokok kajian dan juga menggunakan pendapat berbagai ahli sumber yang
terkait fokus penelitian.
Dalam penelitian tahap II (studi
kasus), uji keabsahan untuk untuk menjamin derajat kepercayaan yang tinggi,
peneliti menggunakan triangulasi dengan validasi sumber. Validasi dilakukan
melalui cara, informasi diperoleh dari sumber pertama akan dipertanyakan ulang
pada sumber berikutnya sampai informasi yang diperoleh seragam (titik jenuh).
Informasi yang telah mencapai titik jenuh dalam penelitian ini disebut dengan
data.
Untuk menjamin keteralihan
penelitian ini, peneliti akan membuat deskripsi sedetail mungkintentang
masing-masing dokumenyang digunakan sebagai sumber data. Sedangkan jaminan
kebergantungan peneliti akan menggunakan alat bantu berupa digital voice
recorder dan foto. Untuk menjamin kepastian, peneliti akan mengkonfirmasi
laporan yang sudah dibuat kepada para nara sumber yang dianggap mewakili semua
unsur yang terlibat. Selanjutnya data tersebut dianalisis untuk mencapai suatu
kesimpulan.
DAFTAR PUFTAKA
Bafadhal, Ibrahim. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar dalam Kerangka
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bina aksara: Jakarta.
Hamidi, Jasim. 2005. Hermeneutika Hukum: Teori
penemuan hukum baru dengan interpretasi
teks. UII Press: Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi revisi). Remaja Rosda Karya:
Bandung.
Nurdin Muhammad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Prismashopie: Yogyakarta.
Riant, Nugroho
Dwidjowijoto. 2007. Analisis Kebijakan.
Gramedia: Jakarta.
Samana. A.
1994. Profesionalisme Keguruan.
Kanasius: yogyakarta.
Suparlan.
2005. Menjadi Guru Efektif. Hikayat
Publishing: Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen.
Wahab, Solichin Abdul. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta: Jakarta.
Mas saya baru baca bagus kalau mau komunikasi bagaimana Muriyat ketua DKGI PGRI Kabupaten Pasuruan
ReplyDelete