Thursday, June 7, 2012

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PERLINDUNGAN GURU DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah
Keberhasilan sebuah kebijakan bidang pendidikan untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya akan sangat ditentukan oleh guru sebagai unsur terdepan dalam pelaksanaan kebijakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan pendidikan yang dihasilkan tidak akan membawa arti apa-apa jika guru sebagai pelaksana tidak mampu melaksanakannya dengan baik. Mengingat begitu penting dan strategisnya posisi guru, sepatutnya hak-hak guru sebagai pribadi dan pemegang profesi keguruan, warga masyarakat, dan sekaligus warga negara perlu mendapat prioritas dalam rangka pembangunan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif sebagai mana visi pembangunan pendidikan nasional.
Posisi guru yang penting dan strategis dalam proses pendidikan telah didasari masyarakat dan pemerintah Indonesia sejak lama. Namun kenyataan lapangan menunjukkan bahwa profesi guru cenderung kehilangan jati diri dan terus terdistori oleh profesi-profesi lain. Fenomena tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek seleksi, selama ini seleksi guru disamakan dengan pegawai negeri sipil non-guru. Bahkan dari waktu ke waktu, terkesan siapa saja mampu menjadi guru, tidak mesti berlatar belakang pendidikan guru. Padahal untuk menjadi guru menurut totoh pendidikan, Supranata dan Udin S. Winatapura, 2006 adalah seseorang tidak bisa mendidik hanya karena ia mau, seseorang tidak bisa mendidik hanya karena ia tahu, seseorang hanya bisa mendidik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai guru profesional. Akibatnya, berdasarkan hasil tes Direktorat Tenaga Kependidikan Tahun 2004 (Diktendik, 2005), tingkat penguasaan subtansi kompetensi profesional guru sebagian besar (sekitar 63.50%) berada pada level kurang menguasai subtansi kompetensi.
Begitu juga pada aspek kesejahteraan dan intensif. Selama ini tingkat kesejahteraan guru paling rendah dibandingkan profesi lain, gaji guru rendah, bahkan lebih rendah dari pada pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan yang sama atau bahkan pendidikan yang lebih rendah (Fasli Jalal dan Dedi Suoriadi (Ed.), 2001).
Indikasi keseriusan pemerintah dalam menata carut-marut dunia keguruan Indonesia paling tidak nampak dari maksud penerbitannya sebagaimana termahtub dalam bagian pertimbangan, yakni:
1.      Dapat memberdayakan dan meningkatkan mutu secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, sehingga guru perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
2.      Memberikan kepastian hukum bagi guru dalam melaksanakan profesinya. Dengan cara memberikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Namun hampir tiga tehun berlalu setelah pemerintah menyatakan keseriusannya untuk menata dunia keguruan melalui UU RI No. 14 Tahun 2005, kondisi guru masih belum mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, bahkan keberadaannya cenderung melahirkan berbagai persoalan baru sehingga sampai saat ini berbagai peraturan pemerintah dan peraturan yang lebih rendah tingkatannya sebagai pedoman teknis pelaksanaannya masih belum disahkan oleh pemerintah. 
Ada beberapa peristiwa yang mengindikasikan kondisi guru masih belum mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Menurut catatan Darmaningtyas (2005) ada peristiwa terjadi di Tanggerang dan Yogyakarta. Di SMPN 3 Tanggerang Banten tahun 2002, beberapa guru dipindah tugaskan tanpa alasan yang jelas, konon disebabkan para guru menuntut tranparansi pengelolaan anggaran oleh kepala sekolah. Pemindahan terjadi karena mendapat dukungan dari pengurus PGRI yang kebetulan memduduki jabatan struktural di Dinas Pendidikan Tanggerang. Pengalaman Kak Wes, seorang pendongeng di Yogyakarta ketika membangun kerjasama dengan salah satu MI swasta di Kecamatan Triharjo, Bantul, DIY, dalam bentuk pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran yang lebih kontekstual, sehingga peserta didik memiliki ketrampilan yang sesuai dengan potensi di wilayahnya. Program ini mendapat sambutan khusus dari orang tua siswa. Tapi program ini harus berhenti, karena kepala sekolah diancam oleh pemilik sekolah tingkat kecamatan dan akan dipindahtugaskan kalau tidak mau menghentikan program tersebut.
Dari beberapa peristiwa ini mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan profesinya sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan sebagai upaya mengembalikan kehormatan dan martabat guru. Oleh karena itu, penelitian tentang bagaimana konsep dan implementasi perlindungan profesi guru di Indonesia penting untuk dilakukan.

1.2.  Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian tantang bagaimana konsep dan implementasi perlindungan profesi guru di Indonesia menarik untuk dilakukan. Untuk lebih jelasnya arah penelitian ini, maka diarahkan pada rumusan masalah berikut:
1.      Bagaimana maksud, tujuan dan orientasi perlindungan profesi guru sebelum adanya UU RI No. 14 Tahun 2005 di Indonesia?
2.      Bagaimana maksud, tujuan dan orientasi perlindungan profesi guru di Indonesia yang diatur dalam UU RI No. 14 Tahun 2005?
3.      Isu-isu kebijaksanaan apa saja yang relevan dalam rangka implementasi konsep perlindungan profesi guru sebagai mana diatur dalam UU RI No. 14 Tahun 2005?
4.      Bagaimana implementasi konsep perlindungan profesi guru di Kabupaten Pasuruan, Popinsi Jawa Timur pada tahun 2008?

1.3.  Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan pokok permasalahan penelitian yang telah diidentifikasi sebagaimana dikemukakan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan menyelesaikan dan mencari jawaban atas permasalahan tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.      Mengeksplorasi dan mengidentifikasi konsep perlindungan profesi guru di Indosnesia sebelum adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
2.      Mengkonstruksi konsep-konsep perlindungan profesi guru di Indonesia sesudah adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
3.      Mengkonstruksi isu-isu kebijaksanaan yang relevan dikembangkan dalam rangka implementasi konsep perlindungan profesi guru setelah adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
4.      Menjelaskan dan menggambarkan implementasi konsep perlindungan guru di Kabupaten Pasuruan.

1.4.  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini secara teoritis, meliputi:
1.      Memberikan sumbangan pemikiran tentang konsep perlindungan profesi guru. Konsep ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi organisasi profesi guru sehingga dapat melaksanakan tugas secara lebih mandiri.
2.      Memberikan kontribusi pemikiran terhadap produk-produk kebijaksanaan apa saja yang dibutuhkan dan unsur-unsur yang mestinya ada sebagai bagian dalam upaya perlindungan profesi guru.
Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:
1.      Pemahaman pada guru tentang hak perlindungan profesi yang seharusnya diperoleh dalam melaksanakan profesi dengan adanya UU RI No. 14 Tahun 2005.
2.      Menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijaksanaan dalam merancang sistem perlindungan profesi guru dimasa mendatang. Terutama bagi para pembuat kebijaksanaan yang ada di daerah, baik pemerintah daerah maupun organisasi profesi, agar lebih menjamin guru untuk melaksanakan profesinya dengan tetap memperhatikan etika, moral, dan perundang-undangan yang berlaku.






BAB II

KAJIAN PUSTAKA


2.1. Analisis Kebijaksanaan Publik
Menurut Wahab (1990), ada tiga istilah yang sering digunakan secara silih berganti oleh para ahli dalam buku- buku yang mereka tulis untuk menamakan analisis kebijaksanaan publik,  yakni ilmu-ilmu kebijaksanaan (policy sciences), studi-studi kebujaksanaan (policy stadies), dan analisis kebijaksanaan (policy analisys). Kalaupun istilah-istilah tersebut didefinisikan, jarang sekali para ahli merumukan definisi secara konsisten. Seperti halnya di Indonesia, terjemahan kata “policy” sebagai bahasa asalnya ada yang diterjemahkan dengan “kebijakan” dan ada yang mengartikan dengan “kebijaksanaan” (Nurul Zuriah, 2007),
Peneliti sependapat dengan Wahab (1990), lebih memilih menggunakan istilah analisis karena dalam perkembangannya kebijaksanaan publik terbagi menjadi dua bagian, yaitu analisis tentang kebijaksanaan (analisys of policy) dan analisis untuk kebijaksanaan (analisys for policy). Sedangkan kata “policy” dalam bahasa Indonesia peneliti lebih menggunakan kata “kebijaksanaan”.
Dari definisi di atas. Peneliti memahami lebih dekat dengan pengertian kebijaksanaan dari pada kebijakan, sebagaimana dibedakan oleh Ali Imron (Nurul Zuriah, 2007). Kebijaksanaan adalah “suatu kearifan pimpinan kepada bawahan atau masyarakatnya. Pimpinan yang arif, dapat saja mengucilkan aturan yang baku, kepada seseorang atau sekelompok orang jika seseorang atu sekelompok orang tersebut tidak mungkin memenuhi aturan umum tadi”. Sedangkan kebijakan adalah “sebagai aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengingat kepada siapapun yang di maksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut”.

2.1.1. Model Kebijaksanaan di Indonesia
            Untuk memahami suatu kebijaksanaan adalah penting memahami bagaimana kebijaksanaan itu dibuat. Dengan mengetahui bagaimana kebujaksanaan itu dibuat akan nampak pihak yang lebih dominan pendapatnya diadopsi dalam sebuah kebijaksanaan. Hal ini juga menandai kecendrungan sebuah kebujaksanaan akan berpihak, kepada para pembuat kebijaksanaan atau kelompok sasaran kebijaksanaan.
            Di Indonesia ada beberapa model yang dikenal dalam proses penyusunan kebijakan. Menurut Budi Winarno (2002), model sistem adalah model yang umum digunakan dalam proses penyusunan kebijaksanaan publik di Indonesia. Model ini dikenalkan Paine dan Naumes yang merujuk pada model yang ditawarkan David Easton. Model ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut model ini, kebijakan disusun hanya berasal dari sudut pandang pera pembuat kebijakan. Model ini menurut Winarno (2002), umumnya diterapkan dalam penyusunan kebijakan di Indonesia sebelum era reformasi.
            Sebaliknya Wahab (1990), menganggap model kebijaksanaan di Indonesia sebelum era reformasi menerapkan model kelembagaan. Menurut pandangan model ini, kebijaksanaan negara ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh warga negara baik perseorangan maupun berkelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintahan.
            Sedangkan Riant (2007) melihat, kebijakan di Indonesia sejak reformasi mulai menerapkan model kebijakan deliberatif. Terutama berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di tanah air. Model kebijakan ini menyertakan partisipasi publik yang akan menerima dampak kebijakan tersebut dalam proses penyusunan kebijakan publik. Model ini mulai diterapkan ketika wacana good governance (pelayanan yang baik) mulai diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Lebuh jauh Riant (2007), menyatakan model ini bahkan pernah diterapkan sebelum orde baru memulai konsep musyawarah untuk mufakat.

2.1.2. Jenis Analisis Kebijaksanaan
            Para akademis dan praktisi kebijaksanaan seringkali “kebingungan” membedakan antara analisis kebijaksanaan, monitoring kebijaksanaan, evaliasi kebijaksanaan, dan penelitian kebijaksanaan. Untuk memudahkan dalam memahami analisi kebijaksanaan akan digunakan pemetaan yang dikemukakan Gordon, Lewis, dan Young, Michael Hill (Riant, 2007).
            Menurut tiga ahli tersebut ada dua jenis analisis kebijaksanaan, yaitu analisis tentang kebijaksanaan dan analisis untuk kebijaksanaan. Analisis tentang kebijaksanaan dalam bentuk analisis isi, output, dan analisis prosen kebijaksanaan. Sedangkan analisis untuk kebijaksanaan dalam bentuk evalusi, penyediaan informasi, advokasidan nasehat kebijaksanaan.
            Mengutip Hogwood dan Gunn, yang mendasarkan diri pada pemetaan yang di buat tiga ahli di atas menyebutkan ada tujuh kegiatan variasi analisis kebijaksanaan. Variasi ini sekaligus merupakan ruang lingkup analisis kebijakan. Adapun variasi analisi kebijaksanaan adalh sebagai berikut:
1.      Studi isi kebijaksanaan. Studi ini bermaksud untuk menyajikan gambaran dan penjelasan mengenai asal muasal dan perkembangan suatu kebijaksanaan.
2.      Studi tentang proses kebijaksanaan. Studi ini yang menjadi sorotan utamanya ialah tahap-tahap yang harus dilalui oleh isu-isu kebijaksanaan sebelum menjadi agenda pemerintah dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai pengaruh berbagai faktor.
3.      Studi mengenai output kebijaksanaan. Studi ini bermaksud untuk menjelaskan kenapa tingkat pengeluaran biaya atau penyediaan jasa oleh pemerintah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda.
4.      Studi evaluasi kebijaksanaan. Studi ini merupakan batas antara analisis tentang kebijaksanaan dan analisis untuk kebijaksanaan. Studi ini juga disebut studi dampak kebijakan dan bermaksud untuk menganalisis dampak suatu kebijaksanaan.
5.      Informasi untuk membuat kebijaksanaan. Studi ini memfokuskan diri pada penyusunan data-data guna membantu para pembuat kebijaksanaan. Studi ini dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri.
6.      Proses kepenasehatan (proses advocay). Studi ini merupakan bentuk lain dari analisis untuk kebijaksanaan. Studi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sifat dari sistem-sistem pembuatan kebijaksanaan yang ada.
7.      Nasehat kebijaksanaan, yaitu suatu kegiatan yang melibatkan analisis dalam mendesakan pilihan-pilihan alternatif tertentu dan gagasan-gagasan tertentu dalam proses kebijaksanaan.
Sesuai dengan fokusnya, penelitian ini masuk dalam kelompok pertama, yaitu studi tentang isi kebijaksanaan. Studi semacam ini menurut Riant (2007), analis membatasi diri hanya untuk menilai kebijakan dari segi muatan atau isinya. Metode yang umum digunakan adalah analisis isi, baik yang bersifat kuantitatif (mengetahui frekuensi semantik), kualitatif (mengetahui bingkai, semiotika, kecendrungan politik dan filosofis), maupun komparatif (mengetahui perbandingan muatan satu kebijakan dengan kebijakan lainnya tentang suatu hal).

2.2. Profesi
            Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan baik dalam jalur formal maupun non-formal, guru memegang posisi yang sangat strategis. Dalam tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya. Sebaik apapun kebijaksanaan pendidikan tidak akan memberikan hasil yang optimal sepanjang guru tidak mendapatkan kesempatan untuk mewujutkan kemandirian dalam memerankan fungsinya secara proporsional dan profesional.
            Secara umum setiap karya yang membicarakan guru senantiasa menempatka guru sebagai profesi selayaknya dokter, akuntan, apoteker dan berbagai profesi lain yang sudah lebih dahulu dikenal. Apa dan bagaimana sebuah pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi akan dijelaskan di bawah ini.

2.2.1. Pengertian dan syarat profesi
Secara populer suatu pekerjaan di bidang apapun sering diberi predikat profesional. Dalam keseharian orang yang terampil dan cakap dalam kerjanya, meskipun ketrampilan dan kecakapannya  diperoleh tanpa melalui pendidikan secara sistematis atau hanya berdasarkan minat dan kebiasaan. Apakah dapat dipersamakan antara pekerja bangian yang sudah berpengalaman dengan seorang pendidikan teknik yang berpengalaman meski sama-sama bekerja pada bidang bangunan? Tentu tidak. Jadi apa sesungguhnya suatu pekerjaan yang dapat di sebut profesi?
Pengertian profesinal perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang dapat dipenuhi melalui pembiasaan untuk memperoleh suatu ketrampilan. Menurut T. Raka Jono seperti dikutip (A. Sanana, 1994), seorang pekerja profesinal mesti dibedakan dari teknisi, meski kedua dapat menunjukkan unjuk kerja yang sama, dapat memecahkan masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya, tapi pekerja profesinal dituntut menguasai visi yang mendasari ketrampilannya, pertimbangan rasional dan memiliki sikap positif dalam melaksanakan dan mengembangkan mutu kerjanya.
Pendapat lain dalam mendefinisikan profesi, seperti dikutip Muhammad nurdin (2004) antara lain: Peter Salim, lebih memandang bahwa suatu pekerjaan dikatakan profesi jika dilakukan berdasarkan pendidikan keahlian tertentu, sikap pribadi, lebih melihat pada pernyataan sikap berupa kesungguhan dari seseorang untuk mengabdikan dirinya kepada suatu pekerjaan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk melakukannya. Dari definisi di atas, memberikan gambaran bahwa suatu pekerjaan profesi adalah pelayanan atau pengabdian yang dilandasi kemampuan profesional serta falsafah hidup yang mantap (Muhamad Nurdin, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapatlah profesi diberi batasan sebagai pekerjaan bidang jasa yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehlian yang diperoleh secara sistematis, pandangan hidup, dan rasa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap bidang tersebut, yang diterapkan untuk membantu klien.
Sardiman mengutip Wolver (Muhamad Nurdin, 2004), menyatakan bahwa suatu pekerjaan dikatan profesi jika memenuhi syarat-syarat berikut.
§  Memiliki pengetahuan umum dan keahlian khusus
§  Karier yang dibina secara organisatoris
§  Diakui oleh masyarakat
Menurut Sikun Pribadi dalam Muhammad Nurdin (2004), profesi harus didukung beberapa komponen berikut.
·         Spesialisasi ilmu atau keahlian dari pelakunya
·         Kode etik
·         Organisasi profesi
·         Mesyarakat yang memanfaatkan profesi
·         Pemerintah yang melindungi profesi melalui undang-undang.
Syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi memiliki pertanggungjawaban yang jelas, yakni dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian khusus sehingga mendapat pengakuan dari masyarakat yang menerima layanannya. Oleh karena itu, suatu pekerjaan dapat dikatakan profesi apabila memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.

2.2.2. Perlindungan Profesi
Pekerjaan yang di pandang sebagai profesi tertentu, resikonya sangat besar apabila dilakukan oleh seseorang yang tidak dipersiapkan secara benar. Misalnya profesi dokter dan farmasi yang berhubungan dengan nyawa manusia akan kehilangan nyawa manusia. Untuk itu, profesi memerlukan suatu koridor sebagai suatu perlindungan bagi pelaku profesi dan masyarakat penerima layanan profesi (klien) agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat layanan yang diberikan.
Menurut Hhadari Nawawi dan Mimi Martini (1994) dan Az. Nasution (1995), ada dua bentuk kontrol dan pengawasan dalam profesi, yakni upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pelaksanaan kewenangannya dalam bidang hukum publik dan regulasi sendiri (self regulation), yakni pelaksanaan kontrol yang dilaksanakan oleh kalangan profesi itu sendiri. Regulasi sendiri pada prinsipnya bertumpu pada hati nurani, moral dan etika.
Kontrol oleh pemerintah umumnya dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang harus diterima oleh masyarakat. Menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1994), ketaatan sebagai wujud penerimaan terhadap norma-norma di dalam ketetapan berbentuk undang-undang, pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor.
1.      Faktor kekuasaan disebut juga kekuasaan hukum
Faktor ini berbentuk tingkat kemampuan norma-norma di dalam ketentuan perundang-undangan memaksa anggota masyarakat untuk mentaatinya. Ketaatan itu, timbul bukan karena sanksi, tetapi disebabkan anggota masyarakat  merasa norma-norma tersebut dapat menciptakan ketertiban, keadilan, dan kedamaian. Oleh karenanya, anggota masyarakat akan merasa rugi jika tidak mentaati norma-norma tersebut.
2.      Faktor kekuatan yang disebut juga kekuatan hukum
Faktor ini berbentuk tingkat kemampuan suatu lembaga atau orang memaksa agar anggota masyarakat mentaati dan malaksanakan norma-norma sebagai kaidah hukum di dalam suatu ketentuan perundang-undangan. Ketaatan itu lebih dikarenakan adanya badab atau orang yang memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaannya dan menjatuhkan sanksi bilamana anggota masyarakat tidak mematuhinya.
Pada masyarakat yang sederhana faktor kekuasaan hukum lebih dominan dari pada kekuatan hukum untuk memaksa masyarakat mentaati norma-norma yang ada dalam ketentuan suatu perundang-undangan.
2.3. Guru sebagai Profesi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung oleh The World Bank, mengkaji permasdalahan bidang pendidikan yang secara garis besar terbagi dalam bidang-bidang, dimana setiap bidang dikaji dan dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) sesuai dengan bidang permasalahannya. Adapun bidang-bidang tersebut mencakup: Pokja filosofi dan kebijaksanaan pendidikan, Pokja pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan, pokja pendidikan tinggi, dan Pokja pendanaan pendidikan (Fasli jalal dan Dedi supriadi (Ed.), 2001).
Hasil kerja Pokja-pokja tersebut menunjukkan banyak persoalan bidang pendidikan tanah air sudah sangat memprihatinkan, termasuk dalam pengembangan guru dan tenaga kependidikan. Hasil kerja Pokja pemberdayaan guru dan tenaga pendidikan dituangkan dalam rekomendasirekomendasi yang meliputi: (1) kesejahteraan guru. Dalam hal ini tingkat kesejahteraan guru tergolong rendah, tidak setara dengan pengapdian yang diberikannya; (2) pendidikan prajabatan guru; (3) rekrutmen dan penetapan guru. Dalam rekrutmen dan penempatan guru ada ketidak-konsistenan dalam pola rekrutmen dan penempatan guru; (4) pembinaan mutu guru. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa penguasaan bahan ajar dan ketrampilan dalam menggunakan metode yang inovatif masih kurang; (5) pengembangan karier guru. Ada kecendrungan minat basar dari para guru untuk beralih tempat tugas ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kelima persoalan memperlihatkan bahwa persoalan dunia keguruan di Indonesia sangat kompleks dan saling keterkaitan antara satu aspek dengan aspek yang lain. Jika dicermati lebih jauh, pada mulanya persoalan keguruan belum kompleks seperti sekatang. Seiring perjalanan waktu, persoalan menjadi semakin kompleks sehingga setiap aspek ibarat menjadi jalinan matarantai persoalan yang tidak akan dapat diselesaikan tanpa menyelasaikan persoalan pada matarantai lainnya.

2.3.1. Pengertian dan kualifikasi guru profesional
Guru sebagai salah satu komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar (pembelajaran), memiliki posisi strategis dalam menentukan keberhasilan pembelajaran, karena guru memiliki fungsi untuk merancang, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Posisi strategis karena guru menentukan kedalaman dan keluasan bahan pelajaran yang akan disajikan. Oleh karena itu, posisi guru sangat penting dalam pembelajaran.
Rice dan Bishoprick (1971) dan Glickman (1981), sebagaimana dikutip Ibrahim Bafadal (2003), keduanya guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Profesional dipandang keduanya sebagai proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidakmatangan menjadi matang, dari diarahkan orang lain menjadi mengarahkan diri sendiri.
Sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) mendefinisikan guru sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada mesyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Lebih tegas UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1) membatasi guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kualifikasi gurun profesional adalah guiru yang memiliki kompetensi keilmuan yang memadai, memiliki sikap untuk selalu lebih baik dalam melakuakan tugasnya dari waktu ke waktu, kepribadian yang kuat, dan terbuka tehadap kritik bersifat membangun. Hal ini didukung pendapat Maister dalam Suparlan (2005) yaitu profesionalisme sama sekali bukan masalah kompetensi melainkan semata-mata masalah sikap, yakni sikap guru untuk mau dan mampu menjadi guru yang profesional dengan satu sistem yang mengutamakan profesionalisme.
Berkaitan dengan pembangunan sistem yang mendukung profesionalisme, pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menggariskan bahwa untuk disebut sebagai pendidik profesional, seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 9). Kompetensi meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10), dan memiliki sertifikat sebagai pendidik (Pasal 11)
Dilihat dari kondisi guru yang ada saat ini, baik aspek kesejahteraan, kegiatan prajabatan, rekruitmen dan penempatan, pembinaan mutu, dan pengembangan karir belum menunjukkan kepada kualifikasi profesional seperti dipaparkan Fasli Jalal dan Dedi Supriadi pada bagian sebelumnya, namun pemerintah secara tegas menyatakan guru sebagai tenaga profesional. Untuk itu, hendaknya kelima aspek tersebut diarahkan untuk memenuhi kualifikasi profesional sebagaimana diuraikan di atas.

2.3.2. Perlindungan profesi guru
Membangun kemandirian guru dalam melaksanakan profesi adalah penting menempatkan guru sebagai individu multidimensi. Di satu sisi guru adalah individu dan warga negara dan pemegang profesi guru (mikro) yang memiliki hak asasi dan hak warga negara lainnya dan di sisi lain guru sebagai bagian masyarakat (makro) yang keberadaannya tidak dapat terpisah dari aspek-aspek lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara suatu bangsa.
Lengkah pemerintah menerbitkan UU no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen antara lain dimaksudkan membangun kemandirian guru secara mikro maupun makro. Hal ini tidak nampak dari maksud penerbitannya, yakni memberdayakan dan meningkatkan mutu secara terencana, terarah, dan berkesinambungan sehingga guru perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat dan memberikan kepastian hukum bagi guru dalam melaksanakan profesinya. Dengan cara memberikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja [Pasal 39 Ayat (2)].
Bagi guru keberadaan UU No. 14 Tahun 2005 selain memberikan penguatan upanya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama dari sisi kekuasaan hukum, sekaligus penguatan atas regulasi sendiri yang diatur melalui kode etik guru yang di buat oleh berbagai organisasi guru. Sehingga perlindungan guru menjadi komplit baik dari sisi pemerintah melalui kewenangan ketentuan perundang-undangan dan sumpah jabatan bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil, serta sisi regulasi sendiri.
 Berkaitan dengan hak perlindungan profesi, pemerintah menjamin hak-hak guru untuk memperoleh perlindungan profesi sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 bagian Ketujuh Pasal 39 Ayat (4), yang mencakup aspek-aspek berikut:
1.      Perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Pemberian imbalan yang tidak wajar.
3.      Pembatasan dalam menyampaikan pandangan.
4.      Pelecehan terhadap profesi
5.      Pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
Sedangakan berkaitan dengan perlindungan regulasi sendiri, guru diwajibkan menjadi anggota salah satu organisasi profesi [Pasal 41 Ayat (3)]. Karena organisasi profesi itulah yang nanti akan membantu guru dalam memenuhi haknya atas perlindungan profesi [ Pasal 42 butir ©] melalui kode etik profesi yang dalam pelaksanaanya diawasi oleh Dewan Kehormatan Guru yang dibentuk oleh organisasi profesi [Pasal 44 Ayat (1)].
Dengan demikian perlindungan profesi guru, jika dilihat dari pra syarat ketentuan hukum telah dapat ditaati dan dilaksanakan. Kerena secara komperhensif telah diatur baik dari segi kekuasaan dan kekuatan hukumnya. Segi kekuasaan hukum, perlindungan profesi merupakan kebutuhab bagi guru demi kelancaran dalam melaksanakan tugas. Sedangkan dari segi kekuatan hukum telah ada perangkat undang-undang yang mengatur. Perlu diperhatikan bahwa berkaitan perlindungan guru dalam UU No. 14 Tahun 2005 tidak memerlukan adanya peraturan pemerintah sebagai penjelasan lebih teknis dalam penerapannya.
Kemungkinannya perlindungan profesi guru belum begitu mendapat perhatian untuk dilaksanakan adalah  kesiapan organisasi profesi sendiri, baik dalam hal kode etik dan Dewan Kehormatan Guru yang menjadi pengawas pelaksanaan kode etik tersebut. Sebagai mana penilaian Suparlan (2006) bahwa dari segi kode etik guru di Indonesia belum secara rinci menjelaskan tanggung jawab guru terhadap murid, guru terhadap orang tua, guru terhadap masyarakat dan negara dan guru dengan teman seprofesi.

















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Penelitian tahap I menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian kepustakaan yang dihadapi adalah dokumen-dokumen, maka teknik yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik khusus sebuah teks dengan memanfaatkan semua pengetahuan yang dimiliki oleh analis. Sebagaimana pendapat Stone, dkk dalam Klaus Krippendorff (1991), analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan identifikasi secara sistematik dan objek karakteristik khusus dalam sebuah teks, dimana analis memanfaatkan semua pengetahuan yang dimiliki tentang sistem gejala yang menjadi perhatiannya dalam menginterpretasikan serangkaian data yang tidak tersetruktur atau bersifat simbolik.
Di samping itu, penggunaan teknik ini karena dianggap sebagai langkah paling awal dalam melakukan analisis kebijakan. Analisis ini dikelompokkan dalam analisis deskriptif. Meski analisis ini masih sangat jarang mendapat perhatian karena pekerjaannya yang detail dan rumit.
Mengingat fokus penelitian ini merupakan kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan, namun belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena belum adanya peraturan yang lebih rendah sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya, maka pilihan pada penelitian kepustakaan pada tahap I penelitian merupakan suatu keniscayaan. Penelitian tahap I menggunakan penelitian kepustakaan untuk manjawab fokus permasalahan satu, dua, tiga.
Penelitian tahap II menggunakan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan wawancara mendalam (indepth interview). Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dari pemberitaan-pemberitaan media massa seputar gerakan-gerakan yang dilakukan guru pada tahun 2006. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan untuk mengeksplorasi ide-ide dan pemikiran para guru, para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif. Studi kasus ini dilakukan untuk menjawab permasalahan keempat.
Adanya aksi yang pro dan kontra terhadap UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan, berdampak pada akan adanya pihak yang akan dirugikan maupun diuntungkan. Kedua pihak tersebut adalah pemangku profesi guru. Bagaimana kedua pihak yang pro dan kontra ini memposisikan diri? Bagaimana konstalasi keduanya dalam melaksanakan profesinya? Menarik untuk dikaji lebih jauh dalam kaitannya dengan perlindungan profesi guru.
Adapun yang menjadi fokus dalam studi kasus ini adalah implementasi konsep perlindungan profesi guru. Kejelasan fokus dalam studi kasus menjadi sangat penting. Sebagaimana pendapat Nana Syaodih Sukmadinata (2006: 99), bahwa “penelitian studi kasus adalah penelitian yang difokuskan pada satu fenomena yang dipilih dan dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainya”.
Dalam penjelasan di atas, maka dapatlah penelitian ini dikelompok dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini merupakan subjek yang berfungsi sebagai instrumen penelitian. Dengan kata lain, peneliti dalam penelitian kualitatif memiliki peran yang sangat penting.
3.2. Jenis Data dan Key Informan
            Untuk penelitian tahap I yang merupakan studi kepustakaan, karenanya objek penelitian ini adalah dokumentasi kebijakan berupa undang-undang, maka data pokoknya adalah salinan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang disahkan di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 30 desember 2005 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005 oleh Menteri Hukum dan HAM Ad Interim, Yusril Ihza Mahendra dan tercatat pada Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 157 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait secara langsung dengan undang-undang tersebut, antara lain: UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta; UU No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan; UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian serta berbagai peraturan pemerintah yang menjelaskannya. Sedangkan data pendukung adalah opini pendapat para ahli yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian ini.
            Sumber informasi untuk memperoleh data berupa buku, jurnal, koran, yang diperoleh secara langsung maupun dalam bentuk dokumentasi yang diperoleh melalui internet dan berbagai publikasi lain sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian serta memiliki sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Untuk penelitian tahap II yang merupakan studi kasus dengan fokus konsep perlindungan profesi guru. Jenis data yang digunakan adalah data yang diperoleh langsung dari para narasumber yang terlibat langsung dalam gerakan-gerakan yang dilakukan guru pada tahun 2006. Di samping itu, tahap II ini menggunakan dokumentasi berbagai media massa. Dokumentasi media ini juga digunakan untuk mengidentifikasi narasumber yang akan di wawancarai.
3.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian tahap I, pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi dokumentasi terhadap dokumen-dokumen kebijakan yang berkaitan dengan UU No. 14 Tahun 2005, khususnya dalam kaitannya dengan perlindungan profesi guru dengan teknik analisis isi.
Adapun variabel yang akan diteliti dalam tahap I, meliputi:
a.       Latar belakang dan proses penerbitan UU No. 14 Tahun 2005
b.      Maksud, definisi masalah, tujuan, dan orientasi perlindungan profesi guru sebelum dan sesudah adanya UU No. 14 Tahun 2005.
c.       Isu-isu kebijakan yang relevan dalam menunjang implementasi UU No. 14 Tahun 2005.
Sedangkan penelitian tahap II yang merupakan pengayaan penelitian kepustakaan yang dilakukan pada tahap I dan sekaligus menjawab permasalahan keempat, maka dilakukan penelitian lapangan (field research). Penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus dengan penelitian yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview).
Adapun wawancara dan studi dokumen media massa digunakan untuk mengumpulkan data:
a.       Kondisi sosial politik di Kabupaten Pasuruan dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
b.      Peran dan inspirasi para guru dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
c.       Dukungan pihak lain baik eksekutif, legislatif, organisasi massa maupun lembaga swadaya masyarakat.
d.      Dampak positif dan negatif dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005.
Dalam menentukan informan pertama akan dilakukan identifikasi dari studi dokumen terhadap berita media massa tentang gerakan guru yang dilakukan sebelum kerja lapangan. Di samping itu, penentuan partisipan dilakukan dengan teknik bola salju (snowball method), yakni penentuan informan ditentukan sesuai informasi yang diberikan oleh informan sebelumnya sampai data yang diperoleh sampai pada titik jenuh.
Selanjutnya setelah data terkumpul, baik dari dokumen kebijakan maupun dokumen dan hasil wawancara mendalam lainnya akan diolah dengan menentukan kategori terlebih dahulu, sesuai denga fokus penelitian. Dalam menentukan kategori, menurut Moleong (2006) harus memperhatikan aturan berikut:
1.      Kategori harus berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.
2.      Kategori harus tuntas dalam artian setiap data ditempatkan pada salah satu kategori.
3.      Tidak saling tergantung dalam pengertian tidak boleh ada satu pun isi data yang dapat dimasukkan dalam kategori yang lain.
4.      Kategori bebas dalam pengertian pemasukan data dengan cara apapun tidak boleh mengganggu kategori yang telah dibuat.
5.      Kategori diperoleh atas dasar prinsip kategori tunggal.
Adapun analisis data dengan memanfaatkan kategori induktif yang dikembangkan Philipp Mayring sebagaimana dikuti Moleong (2006), adapun langkah-langkah kategori induktif sebagi berikut. Penyususnan kategori sesuai dengan fokus penelitian. Selanjutnya kategori diformulasikan dengan mempertimbangkan definisi kategori untuk menghasilkan kategori baru yang bersifat ajeg. Kategori yang sudah ajeg selanjutnya diinterpretasi.
Selain itu, penggunaan analisis secara induktif didasari pada keberagaman data yang diperoleh dilapangan sehingga memerlukan pengelompokan dalam kategori yang lebih spesifik sesuai dengan fokus penelitian. Analisis ini menurut Lexy J. Moleong (2006), merupakan analisis yang jamak digunakan dalam penelitian kualitatif karena salah satunya dapat menentukan kenyataan-kenyataan jamak sebagaimana terdapat dalam data.
Terhadap dokumen-dokumen kebijakan berupa peraturan perundang-undangan, dalam melakukan interpretasi didukung metode hermeneutika. Terutama hermeneutika dari Geiteswissenschaften. Hermeneutika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk simbol, praktik sosial, kejadia-kejadian sejarah, termasuk juga karya seni.
Beberapa metode interpretasi (penafsiran) yang akan digunakan dalam penelitian ini (Jazim Hamidi, 2005) antara lain:
1.      Interpretasi sistematis
Interpretasi sistematis adalah metode manafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Dalam penerapan metode ini, peraturan perundang-undangan tidak dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, melainkan harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.

2.      Interpretasi futuristik
Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Metode ini digunakan mengingat peraturan perundang-undangan sebagai pedoman pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2005.

3.4. Uji Keabsahan Data
            Keabsahan data adalah masalah yang sangat penting dalam penelitin kualitatif. Sebab pada hakikatnya, penelitian merupakan aktifitas penilaian, pengukuran dan pemahaman. Agar data yang digunakan dalam penelitian memiliki keabsahan yang tinggi, maka untuk uji keabsahan (trustworthiness). Dalam penelitian kualitatif, uji keabsahan data menggunakan empat kriteria, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependebelity), dan kepastian (confirmability) (Lexy J. Moleong, 2006).
            Penelitian tahap I untuk menjamin data yang diperoleh mempunyai derajat kepercayaan tinggi akan menggunakan validitas isi (konsep) dan tahun terbit. Validitas konsep artinya hanya akan menggunakan konsep sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan validitas tahun terbit, sumber informasi yang digunakan adalah dokumen yang terbit masih dalam masa pengyususnan dan penerapan UU No. 14 Tahun 2005. Ini berarti sumber informasi yang diutamakan adalah yang terbit dari tahun 2000 sampai sekarang. Menurut Budiyanto (2006), penggunaan validitas di atas termasuk dalam uji keabsahan menggunakan standar kualitas (quality assurance), yang meliputi: validitas isi (konsep), validitas pengarang, validitas penerbit, tahun terbit, tim editor, kejujuran ilmiah, organisasi profesi, dan relevansi.
            Penggunaan kedua jenis validitas di atas juga mempertimbangkan pendapat Sutrisno Hadi dalam Ida Bagoes Mantra (2004), bahwa dalam memilih kepustakaan yang akan dikaji harus mempedomani tiga hal, yakni relevansi, kemutakhiran, dan adekuasi. Relevansi adalah keterkaitan yang erat antara kepustakaan dan permasalan penelitian. Kemutakhiran adalah sumber-sumber kepustakaan yang terbaru untuk menghindari teori-teori atau pendapat yang tidak relevan.
            Untuk menjamin keteralihan dan ketergantungan penelitian ini, peneliti akan membuat deskripsi sedetail mungkin tentang masing-masing dokumen yang digunakan sebagai sumber data. Sedangkan jaminan kepastian dengan menggunakan berbagai dokumen kebijakan utama yang menjadi pokok kajian dan juga menggunakan pendapat berbagai ahli sumber yang terkait fokus penelitian.
            Dalam penelitian tahap II (studi kasus), uji keabsahan untuk untuk menjamin derajat kepercayaan yang tinggi, peneliti menggunakan triangulasi dengan validasi sumber. Validasi dilakukan melalui cara, informasi diperoleh dari sumber pertama akan dipertanyakan ulang pada sumber berikutnya sampai informasi yang diperoleh seragam (titik jenuh). Informasi yang telah mencapai titik jenuh dalam penelitian ini disebut dengan data.
            Untuk menjamin keteralihan penelitian ini, peneliti akan membuat deskripsi sedetail mungkintentang masing-masing dokumenyang digunakan sebagai sumber data. Sedangkan jaminan kebergantungan peneliti akan menggunakan alat bantu berupa digital voice recorder dan foto. Untuk menjamin kepastian, peneliti akan mengkonfirmasi laporan yang sudah dibuat kepada para nara sumber yang dianggap mewakili semua unsur yang terlibat. Selanjutnya data tersebut dianalisis untuk mencapai suatu kesimpulan.
DAFTAR PUFTAKA

Bafadhal, Ibrahim. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar dalam Kerangka Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bina aksara: Jakarta.
Hamidi, Jasim. 2005. Hermeneutika Hukum: Teori penemuan hukum baru dengan interpretasi teks. UII Press: Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi revisi). Remaja Rosda Karya: Bandung.
Nurdin Muhammad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Prismashopie: Yogyakarta.
Riant, Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Analisis Kebijakan. Gramedia: Jakarta.
Samana. A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Kanasius: yogyakarta.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Hikayat Publishing: Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Wahab, Solichin Abdul. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta: Jakarta.





1 comment:

  1. Mas saya baru baca bagus kalau mau komunikasi bagaimana Muriyat ketua DKGI PGRI Kabupaten Pasuruan

    ReplyDelete