Paradigma sosiologi didefinisikan sebagai sebuah jendela batin dimana kita dapat melihat hal-hal (paradigm is a mental window through which we see things)
atau dalam definisi panjang ia diartikan sebagai seperangkat
asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan/kepercayaan-kepercayaan yang
berhubungan dengan : the nature/image of human being, the
nature/image of society, the nature/image of sociology and sociological
theory serta implikasi-implikasi metodologinya.
Asumsi disini diartikan sebagai sesuatu yang dianggap benar dan berhubungan dengan pernyataan ilmiah (scientific proposition).
Positivisme (Order Paradigm) : E. Durkheim
Positivisme dalam sosiologi mengacu terhadap pendekatan-pendekatan yang biasanya dipergunakan dalam ilmu alam, positivisme menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu kepastian, yang didasarkan atas pengujian dan pengamatan.
Positivisme dalam sosiologi mengacu terhadap pendekatan-pendekatan yang biasanya dipergunakan dalam ilmu alam, positivisme menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu kepastian, yang didasarkan atas pengujian dan pengamatan.
Bagi para positivis, masyarakat diartikan
sebagai suatu komposisi variabel-variabel bebas yang dapat dijelaskan,
terukur, diisolasi dan dikombinasikan atau kompleksitas kehidupan sosial
suatu masyarakat dapat difragmentasikan kedalam pengujian-pengujian
sederhana dari suatu hubungan variabel-variabel tersebut.
Dalam bukunya Purdue mengistilahkan
positivisme sebagai order paradigm. Para positivis memberi penilaian
bahwa pada dasarnya manusia itu jahat (egoist/selfish), sehingga perlu
diupayakan suatu pengaturan atas dirinya. Pengaturan tersebutpun
menghindarkan apa yang oleh Hobbes disebut sebagai ‘homo homini lupus’,
yaitu manusia akan menjadi serigala pemangsa bagi manusia yang lain.
Pengaturan tersebut dibuatkan dalam suatu
kesadaran bersama yang dinamakan collective consciousness, yang
didalamnya mendalilkan bahwa kepentingan keseluruhan masyarakat jauh
lebih penting dari kepentingan masing-masing individu. Disini terjadi
reification terhadap collective consciousness.
Pengaturan ini mengakibatkan atau
diharapkan tercetaknya individu-individu yang seragam dalam masyarakat
atau paling tidak individu yang satu tidak jauh berbeda dengan individu
yang lain. Collective consciousness ini ditanamkan kepada setiap
individu dalam komunitas, sejak individu masih berada dalam kandungan
ibunya dalam bentuk tekanan-tekanan psikologis terhadap sang ibu.
Individu dalam komunitas ini dapat
dikatakan tak lebih sebagai wayang-wayang sosial yang dikendalikan oleh
collective consciousness.
Sehingga mereka beranggapan bahwa melalui
collective consciousness inilah suatu masyarakat akan bertahan (eksis),
lahir-matinya manusia dalam komunitas tersebut tidak akan mempengaruhi
keberadaan collective consciousness.
Sebagai suatu keseluruhan, positivisme (order paradigm) mencerminkan :
a. The nature/image of human beings.
Jika tidak terdapat suatu pengaturan
kekuatan, maka dikuatirkan kepentingan sendiri manusia dapat mengurangi
hak-hak komunitas, karena pada hakekatnya manusia cenderung bersifat
pribadi, individualis, selalu bersaing dan secara alamiah manusia
diberikan kemampuan dalam wujud bakat, potensi dan kemampuan beradaptasi
dengan cepat;
b. The nature/image of society.
Diperlukan pengaturan dalam suatu
kelembagaan sosial yang terintegrasi dan kuat. Diperlukan suatu
pembagian kerja yang mencerminkan terdapatnya perbedaan antara warga
yang satu dengan yang lain (societal differentiation). Lembaga dan norma
dalam masyarakat terbentuk berdasarkan konsensus bersama (legitimasi).
Perubahan sosial tidak boleh dilakukan secara cepat, tetapi secara
perlahan (evolusioner dan alamiah), karena pada hakekatnya adanya suatu
perubahan sosial mengancam kelangsungan solidaritas anggota-anggotanya;
c. The nature/image of sociology & sociological theory.
Hubungan-hubungan sosial menggambarkan
suatu perangkat yang unik yang dapat dijelaskan melalui metode-metode
sosiologi. Sosiologi menghendaki adanya suatu kepastian terhadap
konsensus yang telah ditetapkan bersama, bersifat empiris, dapat diukur
secara kuantitatif serta teori-teori sosiologi harus dinyatakan dalam
bahasa yang jelas.
Conventionalism (Pluralist Paradigm) : Max Weber
Para konvensionalis menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik, mempunyai kecenderungan untuk bernegosiasi dengan orang lain dalam membentuk struktur masyarakat serta dalam diri setiap individu tersimpan potensi tak terhingga yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai macam karya. Jadi disini individu didudukan pada tempat yang tinggi. Karena manusia berkecenderungan untuk menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri, maka tiap individu berhak untuk mengajukan perubahan-perubahan apabila dianggap perlu sesuai dengan kepentingan bersama (tidak terjadi reification atau pengerasan terhadap struktur masyarakat). Dapat dinilai disini bahwa dalam masyarakat yang diikat dalam struktur convensionalism terdapat gejala-gejalan egalitarian yang kuat.
Para konvensionalis menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik, mempunyai kecenderungan untuk bernegosiasi dengan orang lain dalam membentuk struktur masyarakat serta dalam diri setiap individu tersimpan potensi tak terhingga yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai macam karya. Jadi disini individu didudukan pada tempat yang tinggi. Karena manusia berkecenderungan untuk menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri, maka tiap individu berhak untuk mengajukan perubahan-perubahan apabila dianggap perlu sesuai dengan kepentingan bersama (tidak terjadi reification atau pengerasan terhadap struktur masyarakat). Dapat dinilai disini bahwa dalam masyarakat yang diikat dalam struktur convensionalism terdapat gejala-gejalan egalitarian yang kuat.
Dibawah ini akan digambarkan asumsi-asumsi utama pluralist paradigm :
a. The nature/image of human beings,
Terdapat perbedaan yang signifikan antara
manusia sebagai interaksionis dan sebagai pribadi, sehingga bersifat
dualisme. Para pluralis berpendapat bahwa kondisi-kondisi eksternal
manusia tidak begitu saja dapat menentukan sikap-sikapnya, tetapi lebih
didasarkan kepada keinginannya sendiri (sengaja dan sukarela).
b. The nature/image of society
Masyarakat merupakan realitas sosial,
pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide bersama. Hubungan
masyarakat bersifat timbal balik yang dipandu melalui gagasan, hukum dan
peraturan. Kelembagaan masyarakat lain seperti agama, pendidikan,
ekonomi dan keluarga merupakan pengejawantahan perilaku manusia.
Masyarakat pluralis merupakan suatu masyarakat heterogen yang mungkin
mewakili beberapa budaya.
Teori-teori pluralis tidak menghendaki
adanya konflik kelas dalam masyarakat, juga tidak menghendaki konsensus
nilai (social consciousness) seperti dalam order paradigm positivisme.
Sifat masyarakat merupakan dualisme abadi
(kerjasama antagonis). Pada satu pihak kita melihat timbul-tenggelamnya
kepentingan-kepentingan perjuangan organisasi, di pihak lain kita
dapati terdapatnya komitmen umum terhadap order yang lahir dari kontrak
sosial.
c. The nature/image of sociology & sociological theory
Bagi para pluralis, filsafat idealisme
merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Teori-teori yang
didasarkan pada pluralist paradigm biasanya menjelaskan mengenai
kompleksitas dunia sosial, sehingga ia tidak cukup dijelaskan hanya
melalui konsep-konsep hukum atau bahkan ilmu statistik. Penyelidikan
sosiologis difokuskan kepada manusia sebagai individu.
Realism (Conflict Paradigm) : Karl Marx
Para realis berpendapat bahwa manusia
pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah
yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik.
Realisme berpendirian bahwa kehidupan di
dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common
sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan
terdapat hubungan kausal antara keduanya.
Struktur masyarakat menurut para penganut realisme, terdiri dari :
a. Struktur ekonomi;
b. Struktur sosial;
c. Struktur politik;
d. Struktur budaya.
Berikut digambarkan kesimpulan mengenai realism (conflict paradigm) yang pendapatnya berasal dari Hegel, Proudhon dan Marx :
a. The nature/image of human beings
Terdapat sifat kerjasama antar manusia
sebagai mahluk sosial. Sifat manusia diasumsikan rasional, sehingga
manusia benar-benar memiliki potensi untuk mengungkapkan
gagasan-gagasannya melalui pengalaman, pemikiran dan pendidikan.
Pria dan wanita menjadi manusiawi melalui
aktivitas sosial yang nyata, misalnya buruh yang produktif. Kemanusiaan
kita ditemukan dan dikonfirmasikan dalam usaha kolektif untuk membentuk
dunia material.
b. The nature/image of society
Masyarakat merupakan realitas struktural,
merupakan suatu kondisi yang muncul sesuai dengan hukum-hukum sejarah.
Keberadaan manusia mengintepretasikan kenyataan yang terkadang benar
atau terkadang salah.
Berdasarkan sifat dasar eksistensi
kehidupan sosial, setiap masyarakat berkecenderungan bersifat manusiawi
sepanjang infra dan suprastruktur sosialnya mendukung kearah tersebut.
Masyarakat dianggap timpang apabila
terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara satu dengan yang lain
dalam hal kekayaan, kekuatan dan status, dan realisme menolak secara
tegas kondisi-kondisi ini.
c. The nature/image of sociology & sociological theory
Karena manusia merupakan mahluk obyektif
yang hidup dalam dunia sosial, maka filsafat materialisme merupakan
dasar bagi ilmu pengetahuan.
Sejarah memiliki tempat yang sangat
menentukan dalam ilmu pengetahuan, karena ia dapat mengungkapkan hukum
secara umum dimana masyarakat berubah.
Ilmu pengetahuan sangat perlu dipahami
dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Lembaga, organisasi, kelas
tidak dapat dipelajari sendiri-sendiri, karena masyarakat secara
struktural merupakan keseluruhan yang terkait yang harus dipelajari
secara holistik.
Berdasarkan teori-teori realisme yang
bersifat holistik dan historis, maka akan dialami bentuk makro dari
sosiologi. Penjelasan-penjelasan akan difokuskan pada metode abstraksi.
Didasarkan atas perubahan yang konstan, kenyataan adanya konflik dan
kenyataan bahwa gejala sosial lebih banyak berupa kasus dan dampaknya,
maka teori-teori realisme banyak didasarkan pada logika dialektika.
Salah satu kriteria penilaian penerapan
ilmu pengetahuan adalah kemampuannya membuat kondisi dunia lebih baik,
maka sosiologi tidak dapat dan tidak seharusnya bersifat ‘bebas nilai’.
Setelah digambarkan secara singkat
pemikiran para ‘nabi sosiologi’ di atas, dengan segala kelebihan dan
kelemahannya, maka dibawah ini giliran kami yang akan menggambarkan
bahwa dalam kenyataannya, teori-teori di atas masih memerlukan suatu
alat bantu lain dalam melakukan analisis-analisisnya. Ia masih harus
diperkaya dengan penilaian keadaan/situasi yang lebih bersifat
kualitatif, yang lebih menyentuh perasaan kemanusiaan seseorang yang
akan melakukan penelitian keadaan masyarakat, berdasarkan suatu konsep
yang dinamakan sociological imagination (C. Wright Mills), sebagaimana
diilustrasikan di bawah ini :
Menjelang ditutupnya abad XX, dan
memasuki abad XXI, kita semua menyaksikan dan merasakan perubahan yang
sangat cepat (revolusioner), penuh warna (kompleks) dan baru sama
sekali. Hal ini mengakibatkan apa yang ada dalam bangunan pemikiran kita
selama ini, baik berupa konsep ataupun paradigma berpikir, menjadi
tidak relevan lagi dalam menjelaskan, mengantisipasi dan memecahkan
persoalan-persoalan sosial yang muncul dihadapan kita
Adalah Naisbitt yang pernah ‘meramal’
kehadiran kejaiban Asia yang berporos pada tiga negara yaitu Hong Kong,
Tokyo dan Singapura. Ketiga negara ini akan menjadi macan Asia, karena
laju pertumbuhan ekonominya yang sangat fantastis. Indonesia pun tidak
ketinggalan, selama dasawarsa terakhir mengalami angka pertumbuhan
ekonomi rata-rata 6-7%. Para pengamat atau pakar dalam berbagai bidang
disiplin ilmu, berlomba-lomba membuat kajian mengenai hal-hal yang akan
terjadi di negara-negara dunia ketiga, misalnya William Liddle,
meramalkan masih sangat kuatnya posisi Soeharto, satu minggu sebelum
‘lengser keprabon’.
Ternyata, hampir seluruh prediksi itu
meleset. Ekonomi Asia terpuruk akibat krisis moneter yang
berkepanjangan, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden karena
desakan mahasiswa. Padahal, analisis ramalan para pakar itu tidak kurang
kadar ilmiahnya, karena didukung analisis dan data yang canggih, serta
dilakukan oleh para pakar yang tidak diragukan lagi dalam mengulas
analisis-analisisnya. Apakah ini pertanda atau gejala, betapa bangunan
pemikiran yang ada, apalagi paradigma pemikiran yang mapan, semuanya
telah usang dan tidak memadai lagi?
Dalam filsafat dikatakan bahwa bahasa
adalah baju dari pikiran. Seseorang yang menggunakan bahasa yang
nylimet, seringkali menggambarkan dengan nyata adanya keruwetan dalam
pemikirannya. Demikian juga halnya, bahasa yang sarat dengan data dan
hitungan fisik, biasanya disebabkan dimensi fisik telah menguasai
pikiran seseorang dan menjadikannya sebagai ukuran bagi paradigmanya,
sehingga dimensi non-fisiknya nyaris tidak terlihat.
Bahasa ilmu yang selama ini berkembang,
telah dikuasai oleh paradigma rasionalisme empiris (yang berbasis pada
data-data empiris). Data-data empiris dimasa lalu menjadi pusat
perhatian ilmu ekonomi, sains, teknologi dan ilmu sosial, yang
selanjutnya digambarkan dalam tabel-tabel, yang sarat dengan muatan
statistik dan matematik. Tanpa angka seolah-olah dirasakan kurang
berbobot ilmiah. Dengan data-data empiris itu, berbagai ilmu mencoba
memprediksi masa depan, dan seolah-olah perjalanan ke masa depan
bergerak secara beraturan dan linier. Keadaan hari esok seolah
sepenuhnya ditentukan oleh keadaan hari ini dan kemarin.
Ilustrasi masa depan linier berjalan
berkesinambungan di atas grafik yang terus bergerak naik dengan runtut.
Tetapi keadaan kini sudah berubah, realitas sudah jungkir balik,
perubahan terjadi makin cepat, “ramalan” jangka panjang tidak bisa
dilakukan lagi. Ketidakpastian tampil dalam garis yang lebih tegas.
Menghadapi situasi sekarang ini, yang
dibutuhkan adalah kesediaan untuk mengubah pola pikir lama yang
bersandar pada paradigma realisme empiris kepada pola pikir baru yang
imajinatif (sociological imagination), yang pergerakannya bisa jadi
melompat-lompat dan tidak beraturan, namun lebih memberikan peluang
membuka dan menemukan pilihan-pilihan baru yang lebih hidup.
Konsep pengetahuan yang berbasis pada
paradigma realisme empiris sudah saatnya diperkecil perannya, karena
seperti telah digambarkan di atas ia terbukti kurang memadai lagi untuk
memahami dan menguasai perubahan serta ekses-ekses yang ditimbulkannya.
Sedangkan konsep pengetahuan yang
imajinatif (yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika C. Wright
Mills), sepenuhnya bersandar pada kreativitas bebas dengan memberikan
ruang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru yang sama sekali lain
dari yang sudah ada dan sudah dipikirkan sebelumnya, serta didasarkan
atas kesadaran bahwa hakekat realitas kehidupan adalah bersifat plural,
multidimensi dan spiritual.
Konsep pemikiran sociological imagination
diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan dalam setiap jenjang
kehidupan manusia disamping pemanfaatan pengukuran secara kuatitatif,
oleh karena dalam setiap krisis senantiasa terdapat peluang-peluang bagi
pemecahannya.
Sumber : Paradigma Sosiologi
No comments:
Post a Comment