Monday, June 4, 2012

Perlunya Memahami Sosiologi

I. PENDAHULUAN

Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generasasi paling luas,
karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-
akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.
Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan
tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme).
Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi
keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.
Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis, terutama
yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai
menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology)
maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).

Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran
kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan
(trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun
membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering
di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi
pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.
Baca Selengkapnya......

Minggu, 14 Desember 2008

Manfaat Belajar Sosiologi

The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point, however, is to change it. –Karl Marx–

Tidak sedikit mahasiswa baru sosiologi, bahkan yang lama sekalipun bertanya-tanya tentang apa guna ilmu yang dipelajarinya? Apa hubungan sosiologi dengan kehidupan nyata, alias dunia profesi yang akan dihadapinya. Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan motivasi pribadi dan sekaligus nilai-nilai sosial pendukung setiap maha-siswa sosiologi dalam mempelajari ilmunya. Bahwa ternyata cukup banyak hal yang bisa dilakukan setelah mempelajari sosiologi, tentu dengan usaha serius.

Asal Mula ‘Sosiologi’

Sudah banyak tokoh yang mencoba mengamati manusia dan masyarakat. Mulai Konfusius (551-479 SM) di Cina; Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) di Yunani; Ibn Kaldun (1332-1406) di Arab; bahkan sastrawan ternama dari Inggris William Shakespeare (1564-1616) pun telah membuat refleksi tentang kehidupan manusia pada jamannya masing-masing. Namun, tokoh-tokoh tersebut masih lebih tertarik untuk membayangkan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang seharusnya, tanpa melihat masyarakat sebagai apa adanya. Suatu pendekatan yang positivis memang, namun itu adalah lajur yang mungkin harus ditempuh untuk mencapai pada tahap-tahap selanjutnya.

Barulah pada tahun 1838 seorang pe-mikir Perancis Auguste Comte (1798-1853) mematenkan istilah ‘sosiologi’ sebagai cara baru melihat dunia, khususnya masyarakat yang menghidupi dunia itu. Comte menawarkan sebuah cara pandang melihat masyarakat sebagai apa adanya (yang kemudian terkenal dengan aliran positivism). Positivism berusaha menjelaskan sesuatu objek dari apa yang tampak. Positivism, dalam perkembangannya, mendapat kritik tajam dari pemikir. Kemudian muncul aliran baru bernama post-positivism, yang menjelaskan obyek dari hal-hal yang tak tampak. Pertanyaannya dasarnya, “Ada apa di balik peristiwa itu?”

Dari sini kita bisa melihat sosiologi bukanlah ilmu yang statis dan kaku (sak-klek), melainkan selalu dinamis dan bergerak menyesuaikan dengan konteks tempatnya hidup. Bagi sosiolog, permasalahan teknis yang dihadapi bukanlah menentukan aliran mana yang paling tepat untuk digunakan (positivism atau post-positivism), melainkan bagaimana memadukan aliran-aliran yang ada tersebut untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh tentang masyarakat.

Perkembangan Sosiologi

Sosiologi terus berkembang pesat sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi sangat cepat sejak abad ke-17 sampai sekarang. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi variabel penyebab percepatan itu, yaitu:

(1) Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Sampai 1990, bumi ini telah dihuni lebih dari 5,5 milyar manusia. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, sudah lebih dari 200 juta penduduk. Semakin banyak manusia makin kompleks pula interaksi dan masalah sosial yang bakal terjadi. Di sinilah sosiolog dituntut untuk tidak pernah ‘lelah’ untuk terus mengikuti perubahan sosial dan menjelaskannya;

(2) Inovasi teknologi yang terus berganti. Mulai dari terjadinya Revolusi Industri (yaitu penggunaan teknologi dalam industri) mengakibatkan manusia yang bertambah banyak itu kehilangan pekerjaan, masalah sosial baru bermunculan pesat. Hubungan manusia dan teknologi merupakan kajian menarik yang bisa digali lebih dalam, karena pada per-kembangan dan pembuatan teknologi (termasuk di dalamnya adalah budaya atau ‘aturan main’ yang menentukan perilaku) telah menjadi ‘tujuan’ tindakan manusia, bukan sebagai ‘sarana’ untuk mencapai tujuan hidup (Habermas, 1990). Apalagi kini perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara drastis pola-pola interaksi sosial antar-manusia, dari face to face menuju via mass media. Model interaksi baru semacam ini telah menggeser hampir keseluruhan pandangan sosiologis ten-tang bagaimana manusia melakukan ‘kontak’ dan ‘komunikasi’, berinteraksi kata sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto. Padahal, dalam pertemuan face to face terkadang masih dibutuhkan dalam interaksi (dan terkadang model inilah yang paling menentukan);

(3) Perubahan suhu politik ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, mengikuti Karl Marx (1818-1883), mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat. Asumsi Marx ini dikembangkan Michel Foucault yang melihat lahirnya pengetahuan tidak bisa terlepas dari variabel yang bernama kekuasaan. Katanya, ketika ada kekuasaanlah pengetahuan bisa ada. Idealnya, kembali pada Marx, ilmu tidak hanya digunakan untuk menjelaskan realitas sosial yang terjadi, namun yang lebih penting adalah berusaha meniadakan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pertanyaannya, apa guna ilmu pengetahuan terus berkembang (dan dikembangkan) jika ketidakadilan sosial tetap eksis, bahkan semakin besar? Semangat mewujudkan keadilan sosial itulah yang melatarbelakangi meletusnya berbagai macam gerakan sosial. Kata ‘kemerdekaan’ (liberty) menjadi kata yang sakral untuk diperjuangkan, bahkan hingga kini dalam wacana hak asasi manusia (HAM).

No comments:

Post a Comment