Thursday, June 7, 2012

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) DAN AKSES TERHADAP PENDIDIKAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN


BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) DAN
AKSES TERHADAP PENDIDIKAN DASAR BAGI 
MASYARAKAT MISKIN

Kemiskinan dan Ketimpangan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, masih banyak orang miskin yang memiliki akses terbatas dalam memperoleh pendidikan bermutu, antara lain karena mahalnya biaya pendidikan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), untuk kelompok 20% rumah tangga termiskin, misalnya, persentase biaya pendidikan per anak terhadap total pengeluaran mencapai 10% untuk murid SD, 18,5% untuk murid SMP, dan 28,4% untuk murid SMA (Bappenas 2005). Pemerintah dan berbagai pihak, termasuk masyarakat, telah memberikan kontribusi bagi penyediaan fasilitas dan pembiayaan pendidikan, sehingga saat ini lebih dari 90% anak usia 7–12 tahun sudah bersekolah. Namun, data Susenas 2004 menunjukkan bahwa proporsi anak dari keluarga miskin yang dapat menikmati pendidikan masih lebih rendah dibandingkan anak dari keluarga mampu. Angka Partisipasi Murni (APM) antargolongan ekonomi rumah tangga, khususnya untuk anak usia SMP (13-15 tahun), yang disajikan pada Gambar 1 memperlihatkan kesenjangan akses pada pendidikan tersebut. Anak usia SMP dari kelompok 20% termiskin hanya 56,6% yang bersekolah, sedangkan anak dari kelompok 20% rumah tangga terkaya 73,2%.
Menyadari pentingnya menjaga agar anak-anak dari keluarga miskin dapat tetap bersekolah dan setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, berbagai pihak, khususnya pemerintah, memberikan bantuan beasiswa sekolah. Sejak Tahun Ajaran (TA) 1998/1999 hingga 2002/2003, pemerintah memberikan beasiswa bagi murid miskin dalam jumlah cukup besar melalui Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan. Program ini dirancang untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang terjadi mulai 1997 yang mengancam keberlanjutan pendidikan bagi anak-anak keluarga miskin dan keluarga yang jatuh miskin akibat krisis tersebut.
Setelah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2001, pemerintah juga memberikan beasiswa serupa melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) Bidang Pendidikan, yang dikenal dengan sebutan Bantuan Khusus Murid (BKM). Program beasiswa dari JPS dialokasikan untuk mencakup sekitar 6% murid SD, 17% murid SMP, dan 9% murid SMA. Sedangkan BKM dialokasikan kepada sekitar 20% murid di tingkat SD, SMP, dan SMA. Berbeda dari cakupan alokasi tersebut, data Susenas yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase rumah tangga miskin yang anaknya mendapat beasiswa relatif kecil, yaitu kurang dari 15% (lihat Gambar 2).

Program BOS
Menyusul pengurangan subsidi BBM secara drastis pada Maret dan Oktober 2005, sejak TA 2005/2006 pemerintah melakukan perubahan konsep dan rancangan PKPS-BBM Bidang Pendidikan untuk tingkat SD dan SMP secara mendasar. Program BKM untuk tingkat SD dan SMP diubah menjadi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berbeda dengan BKM yang langsung diberikan kepada murid miskin, yang dipilih oleh sekolah sesuai alokasi yang diterimanya, BOS diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.
Perbandingan nilai bantuan yang diberikan JPS, PKPS-BBM Bidang Pendidikan, dan BOS dari 1998 hingga 2005 disajikan di Tabel 1.1 Semua sekolah tingkat SD dan SMP, yang meliputi SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, baik negeri, swasta, maupun salafiyah2 yang menyelenggarakan program wajib belajar setara SD dan SMP, berhak menerima BOS. Namun, sekolah yang merasa mampu boleh menolak Program BOS. Dengan adanya perubahan konsep dan rancangan tersebut, jumlah siswa yang menjadi sasaran PKPS-BBM Bidang Pendidikan tingkat SD dan SMP meningkat hampir lima kali lipat dan nilai anggarannya meningkat sekitar delapan kali lipat pada Semester I TA 2005/2006, dibandingkan dengan Semester II TA 2004/2005 (Tabel 2). Kehadiran Program BOS diharapkan akan mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid, dan bahkan agar murid miskin dapat memperoleh pendidikan secara gratis. Walaupun tujuan program, sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) BOS 2005 (lihat Boks 1), tidak secara spesifik menekankan pendidikan gratis bagi siswa miskin, hal ini ditekankan dalam aturan pelaksanaan program. Aturan pelaksanaan program mengharuskan penghapusan iuran siswa bagi sekolah yang sebelum menerima BOS memiliki iuran siswa lebih kecil dari dana BOS. Sedangkan sekolah yang sebelum menerima BOS iuran siswanya lebih besar dari dana BOS masih boleh menarik iuran siswa, tetapi harus membebaskan iuran bagi siswa miskin dan mengurangi iuran siswa lainnya. Selain mengatur mengenai iuran siswa, dalam aturan penggunaan dana juga disebutkan bahwa sekolah dapat menggunakan dana untuk memberikan bantuan khusus berupa uang transpor kepada siswa miskin yang dianggap membutuhkan.

Tabel 1.1
1.      Pada Semester I TA 2005/2006, dana untuk satu semester diberikan sekaligus, dan umumnya diterima sekolah sekitar Agustus–September 2005. Namun, beberapa sekolah ada yang baru menerima dana BOS pada November atau Desember 2005.
2.      Salafiyah adalah Pondok Pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas Pondok Pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Salafiyah Ula atau dasar adalah program pendidikan dasar pada Pondok Pesantren yang setara dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), sedangkan Salafiyah Wustho atau lanjutan, setara dengan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) (Departemen Agama2003).

Penerima Manfaat BOS

Dalam konsep dan desain penyelenggaraan program, tidak secara tegas ditentukan apakah BOS merupakan subsidi umum atau subsidi khusus yang diarahkan untuk siswa miskin. Hasil kajian cepat SMERU pada Februari-Maret 2006 (Suharyo et al 2006) memperlihatkan bahwa dalam pelaksanaannya Program BOS cenderung diperlakukan sebagai subdisi umum untuk membiayai kegiatan operasional sekolah. Sebagian besar murid SD dan SMP menerima manfaat Program BOS karena hanya sedikit sekolahyang menolak BOS. Secara konseptual, sekolah menempati posisi kunci dalam penentuan penggunaan dana BOS, termasuk dalam kebijakan pemberian bantuan khusus untuk siswa miskin. Menurut ketentuan program, dana BOS dikelola oleh kepala sekolah dan guru atau tenaga administrasi yang ditunjuk sebagai bendahara, yang selanjutnya disebut Bendahara BOS. Uang dikirimkan langsung ke rekening sekolah oleh lembaga penyalur yang ditentukan oleh Tim PKPS-BBM (Satker) Provinsi. Sekolah boleh menggunakan dana tersebut untuk beberapa jenis pengeluaran sesuai juklak program (lihat Boks 2) dan berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang disusun oleh sekolah dan komite sekolah. RAPBS, yang merupakan salah satu persyaratan untuk menerima BOS, harus
mendapat persetujuan ketua komite sekolah. Namun, hasil kajian cepat yang dilaksanakan SMERU memperlihatkan dominasi kepala sekolah dalam penyusunan RAPBS maupun dalam pengelolaan dana BOS di hampir semua sekolah. Guru dan orang tua murid hampir tidak pernah diikutsertakan dalam proses penyusunan RAPBS tersebut, sedangkan komite sekolah umumnya hanya ikut menandatangani RAPBS yang telah disusun sekolah. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban dana BOS di 40 sekolah sampel, sebagian besar dana BOS digunakan untuk pembayaran honor guru, kegiatan belajar mengajar (KBM), pembelian alat tulis kantor (ATK), dan pembelian buku pelajaran pokok.
Sekolah tidak selalu menggunakan dana BOS sesuai aturan dalam juklak. Hal ini terjadi karena sebagian besar pelaksana program menilai ketentuan penggunaan dana dalam juklak terlalu membatasi pemanfaatan dana BOS dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah. Ada beberapa pengeluaran sekolah yang harus dipenuhi dan biasa dibiayai dari iuran siswa, yang tidak termasuk dalam ketentuan penggunaan dana BOS. Bagi sekolah yang memiliki sumber penerimaan selain BOS, hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, tetapi hal ini menimbulkan masalah di sekolah yang hanya mengandalkan BOS sebagai sumber penerimaan. Karena sekolah penerima BOS menggunakan sebagian besar dana untuk kegiatan operasional yang menunjang kegiatan belajar-mengajar, maka dana BOS dinikmati oleh semua siswa, baik yang berasal dari keluarga mampu maupun dari keluarga tidak mampu. Sebagian besar sekolah juga memutuskan untuk memberi perlakuan yang sama kepada semua
siswa dalam pembebanan biaya-biaya sekolah yang masih ditarik dari siswa.





Boks 1. Apa Tujuan Program BOS?
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
bertujuan untuk memberikan bantuan kepada
sekolah dalam rangka membebaskan iuran
siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan
mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat.”
Buku Petunjuk Pelaksanaan 2005)
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan
bagi siswa tidak mampu dan meringankan
bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh
layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu
sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib
belajar 9 tahun.” (Buku Panduan 2006)

Bantuan Khusus bagi Siswa Miskin

Berdasarkan data yang disusun sekolah, jumlah siswa miskin di sekolah sampel di masing-masing provinsi, berkisar antara 17%- 34% dari total siswa. Dari total siswa miskin tersebut hanya sekitar 12%-33% yang mendapat bantuan khusus. Di antara lima provinsi sampel kajian cepat SMERU, cakupan pemberian manfaat tambahan bagi siswa miskin yang terendah adalah di Provinsi Banten, sementara yang tertinggi di Provinsi Sumatera Utara. Secara total, dari semua sekolah sampel yang tersedia datanya, siswa miskin yang mendapat bantuan khusus hanya sekitar 22,6% dari jumlah siswa miskin (lihat Tabel 3).
Selain cakupan yang terhitung rendah, nilai bantuan khusus bagi siswa miskin pun pada umumnya kecil. Sebagai contoh, uang transpor yang diberikan kepada siswa miskin hanya berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000 per siswa per bulan. Terdapat dua sekolah yang menyediakan biaya transpor sebesar Rp50.000 per siswa per bulan, namun jumlah penerimanya sedikit, yaitu hanya lima dan tujuh siswa di masing-masing sekolah.
Alokasi sekolah untuk bantuan khusus bagi siswa miskin pada umumnya memang rendah. Dari 43 sekolah sampel penerima BOS, hanya empat sekolah yang mengalokasikan dana BOS untuk bantuan khusus bagi siswa miskin dalam proporsi cukup besar (9,2%- 19,8%). Sedangkan di 16 sekolah lain, yang juga memberikan bantuan khusus untuk siswa miskin, pengeluaran untuk pos ini proporsinya relatif kecil. Bentuk bantuan tambahan yang diberikan bervariasi antarsekolah dan tidak selalu mengikuti juklak. Bantuan khusus tersebut di antaranya diberikan dalam bentuk pemberian uang transpor, baju seragam, sepatu, tas, alat tulis, atau membebaskan/ mengurangi iuran sekolah. Di sekolah yang memberikan bantuan khusus bagi siswa miskin, jumlah siswa miskin yang memperoleh bantuan pada umumnya berkisar antara 3%-25% dari jumlah siswa masing-masing sekolah. Hanya ada satu sekolah yang memberikan bantuan khusus kepada 51% dari total siswa, namun bantuan yang diberikan hanya berupa pemberian alat tulis.
Dari 32 sekolah yang penerimaan dari iuran bulanan siswanya tidak termasuk penerimaan dari siswa baru) sebelumnya lebih kecil dari BOS, hanya enam sekolah (20%) yang memberikan bantuan biaya transpor kepada siswa miskin. Bahkan, satu sekolah di antaranya menyediakan biaya transpor untuk semua siswa –tidak hanya siswa miskin- yang rumahnya agak jauh dari sekolah dan membutuhkan biaya transportasi. Sementara itu, dari 11 sekolah lain yang penerimaannya dari iuran sekolah lebih besar dari BOS dan seharusnya membebaskan siswa miskin dari iuran sekolah, hanya lima sekolah (45%) yang melakukannya. Adanya ketentuan dalam juklak untuk memberikan prioritas yang lebih besar kepada siswa miskin tetapi disertai pembatasan jenis bantuan, yaitu hanya berupa biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah, justru cenderung menyebabkan sekolah tidak memberikan bantuan khusus kepada siswa miskin. Banyak sekolah, khususnya tingkat SD, tidak memberikan bantuan kepada siswa miskin dengan alasan semua siswanya tinggal di sekitar sekolah sehingga tidak membutuhkan biaya transportasi. Beberapa sekolah lainnya beralasan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menentukan kriteria siswa miskin. Sementara, jika bantuan hanya diberikan kepada beberapa siswa miskin yang dipilih sekolah, dikhawatirkan akan terdapat banyak protes dari siswa atau orang tua siswa lainnya. Kecilnya alokasi dana dan jumlah siswa miskin yang memperoleh perlakuan khusus, serta adanya alasan-alasan tersebut di atas mengindikasikan masih rendahnya perhatian dan pemberian prioritas BOS bagi siswa miskin.

Potensi BOS dalam Meningkatkan Akses Pendidikan bagi Masyarakat Miskin
Meskipun hanya sebagian kecil siswa miskin yang mendapat bantuan khusus dari sekolah dengan adanya BOS, bisa dikatakan semua siswa, termasuk siswa miskin, mendapat manfaat dari program ini, di antaranya berupa pengurangan atau bahkan pembebasan iuran sekolah. Dari 43 sekolah penerima BOS yang menjadi sampel kajian ini, setidaknya 22 sekolah telah membebaskan iuran siswa, selebihnya
ada yang mengurangi iuran siswa, dan ada sejumlah kecil sekolah lainnya yang belum mengurangi iuran siswanya tetapi memberikan manfaat lain bagi siswa dalam bentuk penyediaan buku pelajaran pokok dan penunjang.
Dengan demikian, dibandingkan BKM, cakupan BOS lebih luas/merata, dan semua siswa, terutama yang miskin dapat dipastikan menerima manfaatnya. Dalam pelaksanaan Program BKM ditemukan banyak keluhan tentang kurangnya kuota jumlah siswa miskin penerima program dan kesalahan sasaran akibat kriteria siswa miskin yang kurang jelas. Karena besarnya cakupan sasaran Program BOS dan kecenderungan adanya kepastian bahwa semua siswa miskin akan mendapatkan manfaat berupa biaya sekolah yang menjadi lebih murah, para peserta diskusi kelompok dalam studi ini, baik di kota maupun di kabupaten, menilai bahwa Program BOS bermanfaat bagi masyarakat miskin.7 Penilaian tersebut juga diperkuat dengan pernyataan beberapa orang tua siswa yang anaknya pernah menerima BKM bahwa mereka cenderung lebih memilih BOS daripada BKM.
Walaupun dapat dipastikan bahwa semua siswa menerima manfaat Program BOS, akan lebih tepat jika sekolah memberikan manfaat tambahan bagi siswa miskin. Hal ini juga diakui oleh sebagian orang tua siswa yang tergolong mampu. Alasan yang dikemukakan antara lain untuk lebih membantu siswa miskin agar dapat terus bersekolah, atau setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar.
Alasan ini sejalan dengan tujuan program. Untuk itu, penyelenggara program semestinya lebih menekankan hal ini sejak penentuan konsep dan desain program hingga pelaksanaannya. Meskipun manfaat tambahan bagi siswa miskin belum ditekankan pada semester pertama pelaksanaan program, salah satu sekolah sampel telah menerapkannya, bahkan dilakukan dengan mekanisme penentuan siswa miskin yang cukup transparan dan bertanggung gugat. Penentuan diawali dengan pengisian data pekerjaan dan/atau penghasilan orang tua siswa serta penilaian wali kelas. Selanjutnya, dilakukan kunjungan ke rumah orang tua siswa yang diduga miskin (home visit) untuk verifikasi oleh tim kecil yang dibentuk sekolah. Hasilnya, ada tiga macam perlakuan/pemberian manfaat: iuran siswa yang tergolong miskin dibebaskan 100%, iuran siswa yang agak miskin dikurangi 50%, dan iuran siswa lainnya dikurangi Rp22.500.8 Mekanisme inilah yang sejalan dengan tujuan program, sehingga dapat dijadikan model bagi sekolah lain dalam menentukan kebijakan pemberian manfaat tambahan bagi siswa miskin, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan akses siswa miskin terhadap pendidikan bermutu.
Dari uraian di atas, terlihat adanya potensi BOS untuk meningkatkan akses pendidikan bagi siswa miskin atau bagi anak usia sekolah yang berasal dari rumah tangga miskin. Namun, dalam pelaksanaannya, hal tersebut masih belum dirumuskan secara tegas dalam tujuan program serta kurang ditekankan dalam kegiatan sosialisasi. Demikian pula halnya dengan pencegahan putus sekolah karena alasan ekonomi, yang sama sekali tidak dicantumkan dalam juklak program. Meskipun demikian, seiring dengan pelaksanaan program, tampaknya penyelenggara program telah mulai membenahi hal tersebut seperti terlihat dalam perumusan tujuan program dalam Juklak BOS 2006. Agar Program BOS betul-betul mampu meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dasar, perumusan tujuan yang lebih jelas ini tentunya masih perlu didukung dengan kegiatan sosialisasi, pendampingan dan pengawasan bagi sekolah dan masyarakat, serta iklan-iklan layanan masyarakat. Widjajanti I. Suharyo & Wenefrida Widyanti.












DAFTAR PUSTAKA

Bappenas–Komite Penanggulangan Kemiskinan (2005) ‘Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.’ Jakarta: Bappenas.
Departemen Agama RI - Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam (2003) Pedoman Pondok Pesantren. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional & Departemen Agama (2006) Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
---.(2005) Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Suharyo, Widjayanti I. et al (2006) ‘Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005.’ Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

No comments:

Post a Comment