BANTUAN
OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) DAN
AKSES
TERHADAP PENDIDIKAN DASAR BAGI
MASYARAKAT
MISKIN
Kemiskinan dan Ketimpangan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan
kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, masih banyak orang
miskin yang memiliki akses terbatas dalam memperoleh pendidikan bermutu, antara
lain karena mahalnya biaya pendidikan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), untuk kelompok 20% rumah tangga termiskin, misalnya,
persentase biaya pendidikan per anak terhadap total pengeluaran mencapai 10%
untuk murid SD, 18,5% untuk murid SMP, dan 28,4% untuk murid SMA (Bappenas
2005). Pemerintah dan berbagai pihak, termasuk masyarakat, telah memberikan
kontribusi bagi penyediaan fasilitas dan pembiayaan pendidikan, sehingga saat
ini lebih dari 90% anak usia 7–12 tahun sudah bersekolah. Namun, data Susenas
2004 menunjukkan bahwa proporsi anak dari keluarga miskin yang dapat menikmati
pendidikan masih lebih rendah dibandingkan anak dari keluarga mampu. Angka
Partisipasi Murni (APM) antargolongan ekonomi rumah tangga, khususnya untuk
anak usia SMP (13-15 tahun), yang disajikan pada Gambar 1 memperlihatkan
kesenjangan akses pada pendidikan tersebut. Anak usia SMP dari kelompok 20%
termiskin hanya 56,6% yang bersekolah, sedangkan anak dari kelompok 20% rumah
tangga terkaya 73,2%.
Menyadari pentingnya menjaga agar anak-anak dari keluarga miskin
dapat tetap bersekolah dan setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar sembilan
tahun, berbagai pihak, khususnya pemerintah, memberikan bantuan beasiswa
sekolah. Sejak Tahun Ajaran (TA) 1998/1999 hingga 2002/2003, pemerintah
memberikan beasiswa bagi murid miskin dalam jumlah cukup besar melalui Program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan. Program ini dirancang untuk
mengurangi dampak krisis ekonomi yang terjadi mulai 1997 yang mengancam
keberlanjutan pendidikan bagi anak-anak keluarga miskin dan keluarga yang jatuh
miskin akibat krisis tersebut.
Setelah
mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2001, pemerintah juga
memberikan beasiswa serupa melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM
(PKPS-BBM) Bidang Pendidikan, yang dikenal dengan sebutan Bantuan Khusus Murid
(BKM). Program beasiswa dari JPS dialokasikan untuk mencakup sekitar 6% murid
SD, 17% murid SMP, dan 9% murid SMA. Sedangkan BKM dialokasikan kepada sekitar
20% murid di tingkat SD, SMP, dan SMA. Berbeda dari cakupan alokasi tersebut,
data Susenas yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa persentase rumah tangga miskin yang anaknya mendapat beasiswa relatif
kecil, yaitu kurang dari 15% (lihat Gambar 2).
Program BOS
Menyusul pengurangan subsidi BBM secara drastis pada Maret
dan Oktober 2005, sejak TA 2005/2006 pemerintah melakukan perubahan konsep dan
rancangan PKPS-BBM Bidang Pendidikan untuk tingkat SD dan SMP secara mendasar.
Program BKM untuk tingkat SD dan SMP diubah menjadi Program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Berbeda dengan BKM yang langsung diberikan kepada murid miskin,
yang dipilih oleh sekolah sesuai alokasi yang diterimanya, BOS diberikan kepada
sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah
pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.
Perbandingan nilai bantuan yang diberikan JPS, PKPS-BBM
Bidang Pendidikan, dan BOS dari 1998 hingga 2005 disajikan di Tabel 1.1 Semua
sekolah tingkat SD dan SMP, yang meliputi SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, baik
negeri, swasta, maupun salafiyah2 yang menyelenggarakan program wajib belajar
setara SD dan SMP, berhak menerima BOS. Namun, sekolah yang merasa mampu boleh
menolak Program BOS. Dengan adanya perubahan konsep dan rancangan tersebut, jumlah
siswa yang menjadi sasaran PKPS-BBM Bidang Pendidikan tingkat SD dan SMP
meningkat hampir lima kali lipat dan nilai anggarannya meningkat sekitar
delapan kali lipat pada Semester I TA 2005/2006, dibandingkan dengan Semester
II TA 2004/2005 (Tabel 2). Kehadiran Program BOS diharapkan akan mengurangi
biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid, dan bahkan agar murid miskin
dapat memperoleh pendidikan secara gratis. Walaupun tujuan program, sebagaimana
tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) BOS 2005 (lihat Boks 1), tidak
secara spesifik menekankan pendidikan gratis bagi siswa miskin, hal ini
ditekankan dalam aturan pelaksanaan program. Aturan pelaksanaan program
mengharuskan penghapusan iuran siswa bagi sekolah yang sebelum menerima BOS
memiliki iuran siswa lebih kecil dari dana BOS. Sedangkan sekolah yang sebelum
menerima BOS iuran siswanya lebih besar dari dana BOS masih boleh menarik iuran
siswa, tetapi harus membebaskan iuran bagi siswa miskin dan mengurangi iuran
siswa lainnya. Selain mengatur mengenai iuran siswa, dalam aturan penggunaan
dana juga disebutkan bahwa sekolah dapat menggunakan dana untuk memberikan
bantuan khusus berupa uang transpor kepada siswa miskin yang dianggap
membutuhkan.
Tabel 1.1
1. Pada Semester I TA 2005/2006, dana untuk satu semester diberikan
sekaligus, dan umumnya diterima sekolah sekitar Agustus–September 2005. Namun,
beberapa sekolah ada yang baru menerima dana BOS pada November atau Desember
2005.
2. Salafiyah adalah Pondok Pesantren yang masih tetap mempertahankan
sistem pendidikan khas Pondok Pesantren, baik kurikulum maupun metode
pendidikannya. Salafiyah Ula atau dasar adalah program pendidikan dasar pada
Pondok Pesantren yang setara dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah
Ibtidaiyah (MI), sedangkan Salafiyah Wustho atau lanjutan, setara dengan
pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasah Tsanawiyah
(MTs) (Departemen Agama2003).
Penerima Manfaat BOS
Dalam konsep dan desain penyelenggaraan program, tidak
secara tegas ditentukan apakah BOS merupakan subsidi umum atau subsidi khusus
yang diarahkan untuk siswa miskin. Hasil kajian cepat SMERU pada Februari-Maret
2006 (Suharyo et al 2006) memperlihatkan bahwa dalam pelaksanaannya Program BOS
cenderung diperlakukan sebagai subdisi umum untuk membiayai kegiatan
operasional sekolah. Sebagian besar murid SD dan SMP menerima manfaat Program
BOS karena hanya sedikit sekolahyang menolak BOS. Secara konseptual, sekolah
menempati posisi kunci dalam penentuan penggunaan dana BOS, termasuk dalam kebijakan
pemberian bantuan khusus untuk siswa miskin. Menurut ketentuan program, dana
BOS dikelola oleh kepala sekolah dan guru atau tenaga administrasi yang
ditunjuk sebagai bendahara, yang selanjutnya disebut Bendahara BOS. Uang
dikirimkan langsung ke rekening sekolah oleh lembaga penyalur yang ditentukan
oleh Tim PKPS-BBM (Satker) Provinsi. Sekolah boleh menggunakan dana tersebut
untuk beberapa jenis pengeluaran sesuai juklak program (lihat Boks 2) dan
berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang
disusun oleh sekolah dan komite sekolah. RAPBS, yang merupakan salah satu
persyaratan untuk menerima BOS, harus
mendapat
persetujuan ketua komite sekolah. Namun, hasil kajian cepat yang dilaksanakan
SMERU memperlihatkan dominasi kepala sekolah dalam penyusunan RAPBS maupun
dalam pengelolaan dana BOS di hampir semua sekolah. Guru dan orang tua murid
hampir tidak pernah diikutsertakan dalam proses penyusunan RAPBS tersebut,
sedangkan komite sekolah umumnya hanya ikut menandatangani RAPBS yang telah
disusun sekolah. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban dana BOS di 40 sekolah
sampel, sebagian besar dana BOS digunakan untuk pembayaran honor guru, kegiatan
belajar mengajar (KBM), pembelian alat tulis kantor (ATK), dan pembelian buku
pelajaran pokok.
Sekolah tidak selalu menggunakan dana BOS sesuai aturan dalam
juklak. Hal ini terjadi karena sebagian besar pelaksana program menilai
ketentuan penggunaan dana dalam juklak terlalu membatasi pemanfaatan dana BOS
dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah. Ada beberapa pengeluaran
sekolah yang harus dipenuhi dan biasa dibiayai dari iuran siswa, yang tidak
termasuk dalam ketentuan penggunaan dana BOS. Bagi sekolah yang memiliki sumber
penerimaan selain BOS, hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, tetapi hal
ini menimbulkan masalah di sekolah yang hanya mengandalkan BOS sebagai sumber
penerimaan. Karena sekolah penerima BOS menggunakan sebagian besar dana untuk
kegiatan operasional yang menunjang kegiatan belajar-mengajar, maka dana BOS dinikmati
oleh semua siswa, baik yang berasal dari keluarga mampu maupun dari keluarga
tidak mampu. Sebagian besar sekolah juga memutuskan untuk memberi perlakuan
yang sama kepada semua
siswa dalam
pembebanan biaya-biaya sekolah yang masih ditarik dari siswa.
Boks 1. Apa
Tujuan Program BOS?
Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
bertujuan untuk
memberikan bantuan kepada
sekolah dalam
rangka membebaskan iuran
siswa, tetapi
sekolah tetap dapat mempertahankan
mutu pelayanan
pendidikan kepada masyarakat.”
Buku Petunjuk
Pelaksanaan 2005)
Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
bertujuan untuk
membebaskan biaya pendidikan
bagi siswa tidak
mampu dan meringankan
bagi siswa yang
lain, agar mereka memperoleh
layanan
pendidikan dasar yang lebih bermutu
sampai tamat
dalam rangka penuntasan wajib
belajar 9
tahun.” (Buku Panduan 2006)
Bantuan Khusus bagi Siswa Miskin
Berdasarkan data yang disusun sekolah, jumlah siswa miskin di
sekolah sampel di masing-masing provinsi, berkisar antara 17%- 34% dari total
siswa. Dari total siswa miskin tersebut hanya sekitar 12%-33% yang mendapat
bantuan khusus. Di antara lima provinsi sampel kajian cepat SMERU, cakupan
pemberian manfaat tambahan bagi siswa miskin yang terendah adalah di Provinsi
Banten, sementara yang tertinggi di Provinsi Sumatera Utara. Secara total, dari
semua sekolah sampel yang tersedia datanya, siswa miskin yang mendapat bantuan
khusus hanya sekitar 22,6% dari jumlah siswa miskin (lihat Tabel 3).
Selain cakupan yang terhitung rendah, nilai bantuan khusus bagi
siswa miskin pun pada umumnya kecil. Sebagai contoh, uang transpor yang
diberikan kepada siswa miskin hanya berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000 per
siswa per bulan. Terdapat dua sekolah yang menyediakan biaya transpor sebesar
Rp50.000 per siswa per bulan, namun jumlah penerimanya sedikit, yaitu hanya
lima dan tujuh siswa di masing-masing sekolah.
Alokasi sekolah untuk bantuan khusus bagi siswa miskin pada umumnya
memang rendah. Dari 43 sekolah sampel penerima BOS, hanya empat sekolah yang
mengalokasikan dana BOS untuk bantuan khusus bagi siswa miskin dalam proporsi
cukup besar (9,2%- 19,8%). Sedangkan di 16 sekolah lain, yang juga memberikan
bantuan khusus untuk siswa miskin, pengeluaran untuk pos ini proporsinya
relatif kecil. Bentuk bantuan tambahan yang diberikan bervariasi antarsekolah
dan tidak selalu mengikuti juklak. Bantuan khusus tersebut di antaranya
diberikan dalam bentuk pemberian uang transpor, baju seragam, sepatu, tas, alat
tulis, atau membebaskan/ mengurangi iuran sekolah. Di sekolah yang memberikan
bantuan khusus bagi siswa miskin, jumlah siswa miskin yang memperoleh bantuan
pada umumnya berkisar antara 3%-25% dari jumlah siswa masing-masing sekolah.
Hanya ada satu sekolah yang memberikan bantuan khusus kepada 51% dari total
siswa, namun bantuan yang diberikan hanya berupa pemberian alat tulis.
Dari 32 sekolah yang penerimaan dari iuran bulanan siswanya tidak
termasuk penerimaan dari siswa baru) sebelumnya lebih kecil dari BOS, hanya
enam sekolah (20%) yang memberikan bantuan biaya transpor kepada siswa miskin.
Bahkan, satu sekolah di antaranya menyediakan biaya transpor untuk semua siswa
–tidak hanya siswa miskin- yang rumahnya agak jauh dari sekolah dan membutuhkan
biaya transportasi. Sementara itu, dari 11 sekolah lain yang penerimaannya dari
iuran sekolah lebih besar dari BOS dan seharusnya membebaskan siswa miskin dari
iuran sekolah, hanya lima sekolah (45%) yang melakukannya. Adanya ketentuan
dalam juklak untuk memberikan prioritas yang lebih besar kepada siswa miskin
tetapi disertai pembatasan jenis bantuan, yaitu hanya berupa biaya transportasi
siswa dari rumah ke sekolah, justru cenderung menyebabkan sekolah tidak
memberikan bantuan khusus kepada siswa miskin. Banyak sekolah, khususnya
tingkat SD, tidak memberikan bantuan kepada siswa miskin dengan alasan semua
siswanya tinggal di sekitar sekolah sehingga tidak membutuhkan biaya
transportasi. Beberapa sekolah lainnya beralasan bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam menentukan kriteria siswa miskin. Sementara, jika bantuan hanya
diberikan kepada beberapa siswa miskin yang dipilih sekolah, dikhawatirkan akan
terdapat banyak protes dari siswa atau orang tua siswa lainnya. Kecilnya
alokasi dana dan jumlah siswa miskin yang memperoleh perlakuan khusus, serta
adanya alasan-alasan tersebut di atas mengindikasikan masih rendahnya perhatian
dan pemberian prioritas BOS bagi siswa miskin.
Potensi BOS
dalam Meningkatkan Akses Pendidikan bagi Masyarakat Miskin
Meskipun hanya sebagian kecil siswa miskin yang mendapat bantuan
khusus dari sekolah dengan adanya BOS, bisa dikatakan semua siswa, termasuk
siswa miskin, mendapat manfaat dari program ini, di antaranya berupa
pengurangan atau bahkan pembebasan iuran sekolah. Dari 43 sekolah penerima BOS
yang menjadi sampel kajian ini, setidaknya 22 sekolah telah membebaskan iuran
siswa, selebihnya
ada yang
mengurangi iuran siswa, dan ada sejumlah kecil sekolah lainnya yang belum
mengurangi iuran siswanya tetapi memberikan manfaat lain bagi siswa dalam
bentuk penyediaan buku pelajaran pokok dan penunjang.
Dengan demikian, dibandingkan BKM, cakupan BOS lebih luas/merata,
dan semua siswa, terutama yang miskin dapat dipastikan menerima manfaatnya.
Dalam pelaksanaan Program BKM ditemukan banyak keluhan tentang kurangnya kuota
jumlah siswa miskin penerima program dan kesalahan sasaran akibat kriteria
siswa miskin yang kurang jelas. Karena besarnya cakupan sasaran Program BOS dan
kecenderungan adanya kepastian bahwa semua siswa miskin akan mendapatkan
manfaat berupa biaya sekolah yang menjadi lebih murah, para peserta diskusi
kelompok dalam studi ini, baik di kota maupun di kabupaten, menilai bahwa
Program BOS bermanfaat bagi masyarakat miskin.7 Penilaian tersebut juga
diperkuat dengan pernyataan beberapa orang tua siswa yang anaknya pernah
menerima BKM bahwa mereka cenderung lebih memilih BOS daripada BKM.
Walaupun dapat dipastikan bahwa semua siswa menerima manfaat Program
BOS, akan lebih tepat jika sekolah memberikan manfaat tambahan bagi siswa
miskin. Hal ini juga diakui oleh sebagian orang tua siswa yang tergolong mampu.
Alasan yang dikemukakan antara lain untuk lebih membantu siswa miskin agar
dapat terus bersekolah, atau setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar.
Alasan ini sejalan dengan tujuan program. Untuk itu, penyelenggara
program semestinya lebih menekankan hal ini sejak penentuan konsep dan desain
program hingga pelaksanaannya. Meskipun manfaat tambahan bagi siswa miskin
belum ditekankan pada semester pertama pelaksanaan program, salah satu sekolah
sampel telah menerapkannya, bahkan dilakukan dengan mekanisme penentuan siswa
miskin yang cukup transparan dan bertanggung gugat. Penentuan diawali dengan
pengisian data pekerjaan dan/atau penghasilan orang tua siswa serta penilaian
wali kelas. Selanjutnya, dilakukan kunjungan ke rumah orang tua siswa yang diduga
miskin (home visit) untuk verifikasi oleh tim kecil yang dibentuk
sekolah. Hasilnya, ada tiga macam perlakuan/pemberian manfaat: iuran siswa yang
tergolong miskin dibebaskan 100%, iuran siswa yang agak miskin dikurangi 50%,
dan iuran siswa lainnya dikurangi Rp22.500.8 Mekanisme inilah yang sejalan
dengan tujuan program, sehingga dapat dijadikan model bagi sekolah lain dalam
menentukan kebijakan pemberian manfaat tambahan bagi siswa miskin, yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan akses siswa miskin terhadap
pendidikan bermutu.
Dari uraian di
atas, terlihat adanya potensi BOS untuk meningkatkan akses pendidikan bagi
siswa miskin atau bagi anak usia sekolah yang berasal dari rumah tangga miskin.
Namun, dalam pelaksanaannya, hal tersebut masih belum dirumuskan secara tegas
dalam tujuan program serta kurang ditekankan dalam kegiatan sosialisasi.
Demikian pula halnya dengan pencegahan putus sekolah karena alasan ekonomi,
yang sama sekali tidak dicantumkan dalam juklak program. Meskipun demikian,
seiring dengan pelaksanaan program, tampaknya penyelenggara program telah mulai
membenahi hal tersebut seperti terlihat dalam perumusan tujuan program dalam
Juklak BOS 2006. Agar Program BOS betul-betul mampu meningkatkan akses
masyarakat miskin terhadap pendidikan dasar, perumusan tujuan yang lebih jelas
ini tentunya masih perlu didukung dengan kegiatan sosialisasi, pendampingan dan
pengawasan bagi sekolah dan masyarakat, serta iklan-iklan layanan masyarakat. Widjajanti
I. Suharyo & Wenefrida Widyanti.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas–Komite
Penanggulangan Kemiskinan (2005) ‘Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.’
Jakarta: Bappenas.
Departemen Agama RI - Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam (2003) Pedoman Pondok Pesantren.
Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional &
Departemen Agama (2006) Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta:
Depdiknas.
---.(2005) Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta:
Depdiknas.
Suharyo,
Widjayanti I. et al (2006) ‘Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) 2005.’ Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga
Penelitian SMERU.
No comments:
Post a Comment