TATA KOTA MALANG SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN
OLEH: MASRUROH, S.Pd
Kota Malang telah lama dikenal sebagai
salah satu tujuan kota pendidikan. Banyak kalangan dari seluruh pelosok
Indonesia menimba ilmu di kota Malang baik untuk tingkat pendidikan tinggi
maupun menengah. Selain faktor iklim yang mendukung swasana belajar, kota
malang merupakan salah satu kota/ kabupaten di Indonesia yang memiliki beberapa
perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Kota Malang di kenal
sebagai “satu-satunya kota di Indonesia” di luar ibu kota propinsi yang
memiliki 4 perguruan tinggi negeri (UB, UIN, UM dan Poltek Negeri), 38
perguruan tinggi swasta, dimana 1/3 dari jumlah penduduknya () merupakan kalangan pelajar dan mahasiswa yang datang dari
hampir seluruh penjuru Indonesia. Tidak heran jika ribuan pelajar dan mahasiswa
berdatangan menyandarkan harapannya untuk mengenyam pendidikan di kota Malang.
Meski Malang dikenal sebagai kota yang
mempelopori adanya Perda Pendidikan (Perda No. 13 Tahun 2001) yang mewajibkan
pengalokasian minimum 10% APBD untuk anggaran sektor pendidikan, namun
kewajiban pengalokasian anggaran itupun masih jauh dari keyataan. Anggaran
pendidikan tersebut tentu sangat kecil. Apalagi jika dikaitkan dengan keharusan
pengalokasian anggaran sebesar 20% dari APBD sesuai amanat UU Pendidikan. Tidak
heran, dengan minimnya anggaran pendidikan banyak masyarakat mengeluh pada
mahalnya biaya pendidikan, minimnya fasilitas dan prasarana pendukung
pendidikan dan meningkatnya kesenjangan kualitas antar sekolah.
Pada konteks perencanaan pembangunan
yang dimulai awal tahun 70, para “founding father” kota Malang
meletakkan pendidikan sebagai salah satu pilar yang menopang kemajuan kota
Malang. Pendidikan saat itu dijadikan sebagai salah satu tujuan rencana pembangunan
kota Malang dengan slogan Tri Bina Cita-nya. Penegasan akan pentingnya
sektor pendidikan inilah yang menjadi salah satu ciri kemajuan kota Malang yang
dirasakan iklimnya sampai sekarang ini.
Meski jaman telah berubah, dan
permasalahan kota Malang jauh lebih kompleks seiring pertumbuhan kota Malang
dibanding tahun sebelumnya, namun konsistensi dan fokus pada permasalahan dasar
kota tetap dijadikan sandaran pijakan bagi walikota.
Sejalan dengan perkembangan kota, sudah
seharusnya arah gerak pembangunan kota Malang di tata kembali. Problem dasar
menyangkut penataan prasarana dan sarana transportasi segera dipecahkan.
Kepentingan yang terkait dengan permasalahan lingkungan berupa ketersediaan
ruang terbuka hijau, rencana hijau kota, penambahan taman kota, penyediaan
saran seni budaya dan olah raga tidak lagi sebagai “wacana” Walikota. Ini
berarti, bahwa proses rencana tata kota tidak hanya ditekankan pada aspek
penataan fisik dan fisual tetapi aspek yang terkait dengan perencanaan sosial
budaya dan sumber daya juga memperoleh porsi perhatian Walikota.
Malang di masa yang akan datang akan
banyak menemui persoalan kekurangan wilayah baru. Terpaksa demi mengejar
kemajuan pembangunan fisik akan digenjot. Tapi sayangnya bukan untuk prasarana
umum tapi untuk perumahan, perdagangan, dan industri. Karena keterbatasan dana,
pembangunan akan banyak diserahkan investor. Biasanya investor hanya berfikir
laba dan laba. Lingkungan akan terancam. Tata kota akan berubah. Institusi
sosial keagamaan akan sedikit terlupakan. Sementara walikota harus melindungi
investor.
Kebijakan pemerintah kota Malang saat
ini ternyata lebih beroriantasi pada pembangunan fisik ekonomi. Belakangan ini,
pemerintah kota malah lebih genjar mengundang para pemilik modal untuk
membangun pusat perbelanjaan yang lebih menawarkan gaya hidup konsumerisme.
Bahkan yang lebih tragis, pemerintah mengizinkan berdirinya sebuah hypermart
(MATOS) berada di kawasan pendidikan. Selain itu, pemerintah juga melegalkan
pembanguna hypermart baru (MOG) pada kawasan penunjang pendidikan
(Stadion Gajayana Malang). Belum lagi rencana izin masuknya pusat perbelanjaan
internasional Carreffour dan Giant.
Bagi pemerintah kota, permasalahan
perbaikan stadion Gajayana adalah keterbatasan anggaran. Dengan berbagai alasan
dan kepentingan di balik keterbatasan anggaran Pemkot, maka digandenglah
konsorsium beberapa pengusaha besar untuk memperbaiki stadion. Sebagai
kompensasinya para pengusaha diberikan hak membangun stadion luar sebagai
kawasan bisnis dengan tetap mempertahankan arena olah raga yang lebih modern.
Singkat cerita, bersama dengan pembangunan stadion Gajayana dimulai pula
pembangunan sebuah kawasan bisnis baru dengan berdirinya MOG (Mall Olimpic
Garden).
Sebaliknya, perhatian pemerintah kota
untuk mempertahankan infrastruktur pendidikan relatif tertinggal. Perpustakaan
kota memang ada, tetapi masih jauh dari harapan, sedangkan infrastruktur
penunjang pendidikan seperti fasilitas seni dan budaya, gedung pertemuan
pemuda, arena olah raga pelajar tidak banyak diperhatikan dan semakin menyusut
jumlahnya.
Keadaan ini mengindikasikan, pemerintah
kota kurang mampu menjaga simbol dan mempertahankan citra kota Malang sebagai
kota pendidikan. Jika ini adanya, apa yang perlu dilakukan pemerintah agar
predikat kota pendidikan tetap menjadi ikon kota Malang?.
Jawabannya satu, yaitu menjadikan
pendidikan sebagai “arusutama” dalam kebijakan kepemerintahan. “Pengarusutamaan”
kebijakan pendidikan dapat dilakukan melalui dua cara.
Pertama,
membatasi atau mengurangi sama sekali pembangunan pusat
perbelanjaan/mal/hypermart baru. Jikia tetap dibangun, hendaknya di atur secara
konsisten sesuai dengan “rencana tata ruang kota” dan harus diletakkan
pada daerah yang tidak bersinggungan dengan kawasan pendidikan. Ini penting
dilakukan, karena munculnya hypermart/mall baru (kasus kota-kota besar)
yang semula dianggap sebagai mesin peningkatan kesejahteraan dan pendapatan
daerah belum terbukti kebenarannya. Yang pasti, pembangunan tersebut sebagai
skenario pertumbuhan ekonomi daerah justru berlawanan dengan semangat dan visi
sebagai kota pendidikan.
Kedua, menjadikan pendidikan sebagai
dasar pengembangan budaya. Artinya, selain berkewajiban melakukan revitalisasi
dan pengembangan infrastruktur pendidikan maka pemerintah kota harus
juga bertanggung jawab untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Penciptaan iklim belajar dapat dilakukan dengan mendorong penuh
kegiatan-kegiatan pendidikan dan budaya yang bernilai edukasi. Kegiatan
tersebut didorong bukan semata-mata karena aspek hiburan namun yang jauh lebih
penting bagaimana pemerintah mampu menghidupkan “semangat pendidikan”
sebagai kota pendidikan.
Sebagai contoh, jika saat ini pemerintah
kota mampu menggelar pesta budaya Festival Malang Kembali (FMK) sebagai agenda
tahunan maka selayaknya pula jika suatu saat didorong event untuk menungkatkan
semangat gemar belajar dan membaca dalam bentuk pesta buku akbar bulanan bahkan
tahunan. Harus diakui, dalam “ dunia perbukuan dan baca membaca” kota
Malang yang katanya kota pendidikan tertinggal jauh dibanding Jogja. Tidak
heran jika daya baca, suasana dan semangat belajar kalangan terdidik di kota
Malang jauh tertinggal dibanding
masyarakat Jogja (meski sekarang banyak orang meragukannya).
Terlepas dari dua cara di atas, menjaga
citra sebagai kota pendidikan bukanlah hal yang gampang. Pembangunan yang
cenderung fisik ekonomi bisa jadi akan melunturkan citra dan suasana kota
pendidikan. Apalagi di tengah merosotnya jumlah siswa dan calom mahasiswa yang
berkeinginan melanjutkan studi. Oleh karenanya, kecepatan pembanguna ekonomi
harus diimbangi dengan keseriusan pemerintah kota membangun infrastruktur fisik
dan budaya yang mampu menjaga citra kota pendidikan. Jika tidak, jangan heran
suatu saat nanti pendidikan sebagai ikon kota Malang akan pudar adanya.
Memang benar kota Malang saat ini
memiliki puluhan lembaga pendidikan dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi
tetapi itu semua telah menjadi “industri mesin pendidikan” yang mulai
kehilangan “ruh pendidikannya”. Agaknya upaya pemdrintah kota menjadikan
pendidikan sebagai prioritas pembangunan acapkali berhenti pada tingkat dokumen
perencanaan dengan besar anggaran yang jauh dari kenyataan dan penerapan yang
tidak optomal.
Tidak salah kiranya jika biaya
pendidikanpun menjadi mahal sehingga tidak mampu menjamin semua orang
memperoleh pendidikan. Jika demikian, bisa jadi sebutan kota Malang sebagai
kota pendidikan tidak seluruhnya benar. Atau memang kota Malang belum
selayaknya dan seharusnya menjadi kota pendidikan yang sebenarnya menjadi
keinginan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Riyanto, wahyu. 2007. Malang, Kota Kita: Catatan
Problematika Kota Malang. UMM Pres.
No comments:
Post a Comment