Thursday, June 7, 2012

TATA KOTA MALANG SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN


TATA KOTA MALANG SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN
OLEH: MASRUROH, S.Pd

Kota Malang telah lama dikenal sebagai salah satu tujuan kota pendidikan. Banyak kalangan dari seluruh pelosok Indonesia menimba ilmu di kota Malang baik untuk tingkat pendidikan tinggi maupun menengah. Selain faktor iklim yang mendukung swasana belajar, kota malang merupakan salah satu kota/ kabupaten di Indonesia yang memiliki beberapa perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Kota Malang di kenal sebagai “satu-satunya kota di Indonesia” di luar ibu kota propinsi yang memiliki 4 perguruan tinggi negeri (UB, UIN, UM dan Poltek Negeri), 38 perguruan tinggi swasta, dimana 1/3 dari jumlah penduduknya () merupakan kalangan pelajar dan mahasiswa yang datang dari hampir seluruh penjuru Indonesia. Tidak heran jika ribuan pelajar dan mahasiswa berdatangan menyandarkan harapannya untuk mengenyam pendidikan di kota Malang.
Meski Malang dikenal sebagai kota yang mempelopori adanya Perda Pendidikan (Perda No. 13 Tahun 2001) yang mewajibkan pengalokasian minimum 10% APBD untuk anggaran sektor pendidikan, namun kewajiban pengalokasian anggaran itupun masih jauh dari keyataan. Anggaran pendidikan tersebut tentu sangat kecil. Apalagi jika dikaitkan dengan keharusan pengalokasian anggaran sebesar 20% dari APBD sesuai amanat UU Pendidikan. Tidak heran, dengan minimnya anggaran pendidikan banyak masyarakat mengeluh pada mahalnya biaya pendidikan, minimnya fasilitas dan prasarana pendukung pendidikan dan meningkatnya kesenjangan kualitas antar sekolah.
Pada konteks perencanaan pembangunan yang dimulai awal tahun 70, para “founding father” kota Malang meletakkan pendidikan sebagai salah satu pilar yang menopang kemajuan kota Malang. Pendidikan saat itu dijadikan sebagai salah satu tujuan rencana pembangunan kota Malang dengan slogan Tri Bina Cita-nya. Penegasan akan pentingnya sektor pendidikan inilah yang menjadi salah satu ciri kemajuan kota Malang yang dirasakan iklimnya sampai sekarang ini.
Meski jaman telah berubah, dan permasalahan kota Malang jauh lebih kompleks seiring pertumbuhan kota Malang dibanding tahun sebelumnya, namun konsistensi dan fokus pada permasalahan dasar kota tetap dijadikan sandaran pijakan bagi walikota.
Sejalan dengan perkembangan kota, sudah seharusnya arah gerak pembangunan kota Malang di tata kembali. Problem dasar menyangkut penataan prasarana dan sarana transportasi segera dipecahkan. Kepentingan yang terkait dengan permasalahan lingkungan berupa ketersediaan ruang terbuka hijau, rencana hijau kota, penambahan taman kota, penyediaan saran seni budaya dan olah raga tidak lagi sebagai “wacana” Walikota. Ini berarti, bahwa proses rencana tata kota tidak hanya ditekankan pada aspek penataan fisik dan fisual tetapi aspek yang terkait dengan perencanaan sosial budaya dan sumber daya juga memperoleh porsi perhatian Walikota.
Malang di masa yang akan datang akan banyak menemui persoalan kekurangan wilayah baru. Terpaksa demi mengejar kemajuan pembangunan fisik akan digenjot. Tapi sayangnya bukan untuk prasarana umum tapi untuk perumahan, perdagangan, dan industri. Karena keterbatasan dana, pembangunan akan banyak diserahkan investor. Biasanya investor hanya berfikir laba dan laba. Lingkungan akan terancam. Tata kota akan berubah. Institusi sosial keagamaan akan sedikit terlupakan. Sementara walikota harus melindungi investor.
Kebijakan pemerintah kota Malang saat ini ternyata lebih beroriantasi pada pembangunan fisik ekonomi. Belakangan ini, pemerintah kota malah lebih genjar mengundang para pemilik modal untuk membangun pusat perbelanjaan yang lebih menawarkan gaya hidup konsumerisme. Bahkan yang lebih tragis, pemerintah mengizinkan berdirinya sebuah hypermart (MATOS) berada di kawasan pendidikan. Selain itu, pemerintah juga melegalkan pembanguna hypermart baru (MOG) pada kawasan penunjang pendidikan (Stadion Gajayana Malang). Belum lagi rencana izin masuknya pusat perbelanjaan internasional Carreffour dan Giant.
Bagi pemerintah kota, permasalahan perbaikan stadion Gajayana adalah keterbatasan anggaran. Dengan berbagai alasan dan kepentingan di balik keterbatasan anggaran Pemkot, maka digandenglah konsorsium beberapa pengusaha besar untuk memperbaiki stadion. Sebagai kompensasinya para pengusaha diberikan hak membangun stadion luar sebagai kawasan bisnis dengan tetap mempertahankan arena olah raga yang lebih modern. Singkat cerita, bersama dengan pembangunan stadion Gajayana dimulai pula pembangunan sebuah kawasan bisnis baru dengan berdirinya MOG (Mall Olimpic Garden).
Sebaliknya, perhatian pemerintah kota untuk mempertahankan infrastruktur pendidikan relatif tertinggal. Perpustakaan kota memang ada, tetapi masih jauh dari harapan, sedangkan infrastruktur penunjang pendidikan seperti fasilitas seni dan budaya, gedung pertemuan pemuda, arena olah raga pelajar tidak banyak diperhatikan dan semakin menyusut jumlahnya.
Keadaan ini mengindikasikan, pemerintah kota kurang mampu menjaga simbol dan mempertahankan citra kota Malang sebagai kota pendidikan. Jika ini adanya, apa yang perlu dilakukan pemerintah agar predikat kota pendidikan tetap menjadi ikon kota Malang?.
Jawabannya satu, yaitu menjadikan pendidikan sebagai “arusutama” dalam kebijakan kepemerintahan. “Pengarusutamaan” kebijakan pendidikan dapat dilakukan melalui dua cara.
Pertama, membatasi atau mengurangi sama sekali pembangunan pusat perbelanjaan/mal/hypermart baru. Jikia tetap dibangun, hendaknya di atur secara konsisten sesuai dengan “rencana tata ruang kota” dan harus diletakkan pada daerah yang tidak bersinggungan dengan kawasan pendidikan. Ini penting dilakukan, karena munculnya hypermart/mall baru (kasus kota-kota besar) yang semula dianggap sebagai mesin peningkatan kesejahteraan dan pendapatan daerah belum terbukti kebenarannya. Yang pasti, pembangunan tersebut sebagai skenario pertumbuhan ekonomi daerah justru berlawanan dengan semangat dan visi sebagai kota pendidikan.
Kedua, menjadikan pendidikan sebagai dasar pengembangan budaya. Artinya, selain berkewajiban melakukan revitalisasi dan pengembangan infrastruktur pendidikan maka pemerintah kota harus juga bertanggung jawab untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif. Penciptaan iklim belajar dapat dilakukan dengan mendorong penuh kegiatan-kegiatan pendidikan dan budaya yang bernilai edukasi. Kegiatan tersebut didorong bukan semata-mata karena aspek hiburan namun yang jauh lebih penting bagaimana pemerintah mampu menghidupkan “semangat pendidikan” sebagai kota pendidikan.
Sebagai contoh, jika saat ini pemerintah kota mampu menggelar pesta budaya Festival Malang Kembali (FMK) sebagai agenda tahunan maka selayaknya pula jika suatu saat didorong event untuk menungkatkan semangat gemar belajar dan membaca dalam bentuk pesta buku akbar bulanan bahkan tahunan. Harus diakui, dalam “ dunia perbukuan dan baca membaca” kota Malang yang katanya kota pendidikan tertinggal jauh dibanding Jogja. Tidak heran jika daya baca, suasana dan semangat belajar kalangan terdidik di kota Malang  jauh tertinggal dibanding masyarakat Jogja (meski sekarang banyak orang meragukannya).
Terlepas dari dua cara di atas, menjaga citra sebagai kota pendidikan bukanlah hal yang gampang. Pembangunan yang cenderung fisik ekonomi bisa jadi akan melunturkan citra dan suasana kota pendidikan. Apalagi di tengah merosotnya jumlah siswa dan calom mahasiswa yang berkeinginan melanjutkan studi. Oleh karenanya, kecepatan pembanguna ekonomi harus diimbangi dengan keseriusan pemerintah kota membangun infrastruktur fisik dan budaya yang mampu menjaga citra kota pendidikan. Jika tidak, jangan heran suatu saat nanti pendidikan sebagai ikon kota Malang akan pudar adanya.
Memang benar kota Malang saat ini memiliki puluhan lembaga pendidikan dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi tetapi itu semua telah menjadi “industri mesin pendidikan” yang mulai kehilangan “ruh pendidikannya”. Agaknya upaya pemdrintah kota menjadikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan acapkali berhenti pada tingkat dokumen perencanaan dengan besar anggaran yang jauh dari kenyataan dan penerapan yang tidak optomal.
Tidak salah kiranya jika biaya pendidikanpun menjadi mahal sehingga tidak mampu menjamin semua orang memperoleh pendidikan. Jika demikian, bisa jadi sebutan kota Malang sebagai kota pendidikan tidak seluruhnya benar. Atau memang kota Malang belum selayaknya dan seharusnya menjadi kota pendidikan yang sebenarnya menjadi keinginan kita bersama.













DAFTAR PUSTAKA

Hidayat Riyanto, wahyu. 2007. Malang, Kota Kita: Catatan Problematika Kota Malang. UMM Pres.

No comments:

Post a Comment